Bergeser Menjadi Sekedar Pandangan Kenegaraan

Saya sebenarnya berkehendak untuk menyetujui apa yang diperintahkankan Pak Haidar secara mutlak, yakni analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan sayyiq qutb; sayangnya, waktu itu, awalnya saya sendiri belum benar-benar memhami pemikiran sayyid qutb, sekedar membaca sekilas tentang tafsirnya sayyid qutb, itu pun pembacaannya secara acak, tidak menyeluruh; sekedarnya saja, namun ternyata saya kepayahan untuk hal metode menganalisis terhadap pandangan kenegaraan sayyid qutb tersebut, dan caranya untuk menganalisis pandangan kenegaraan sayyid qutb. Bersamaan dengan itu, saya mulai agak rajin membaca, yang itu difokuskan terhadap pemikiran sayyid qutb, atau membaca yang berdasarkan tema sayyid qutb. Membaca yang itu berkata kunci, Sayyid Qutb.

Selain membaca, tentu saja, saya juga masih menjalani realitas kehidupan, yakni sebagai muslim; selain itu menerkaitakna tentang pembacaan diri saya sendiri, dan pengaruh-pengaruh yang meyertaiku, termasuk pemikiran NU, karena saya lahir dari keluarga NU, sekali pun tidak kental-kental amat terhadap ‘pemikiran’ NU; namun orang-orang kami senanitasa berhaluan kepada tradisi-tradisi Nu, menjalankan rutinitas NU. Artinya saya juga menjalankan realitas keislaman yang disisi lain saya membaca tentang pemikiran Sayyid Qutb, sekurang-kurangnya tentu saja mulai mengerti kata kunci yang digunakan Sayyid Qubt, yakni manusia islam dan manusia jahiliyah; masyarakat islam dan masyarakat jahiliyah.

Perlahan-lahan, dengan membaca sayyid qutb, saya laksana diarahkan untuk membaca nusantara sekali lagi, membaca Indonesia sekali lagi, membaca tokoh-tokoh NU sekali lagi, dan membaca keislamanan di Indonesia sekali lagi (artinya sekali lagi ialah bahwa dulu-dulu pun saya sering membaca keislaman di Indonesia, membaca tentang sejarah nusantara, membaca tentang tokoh-tokoh islam di Indonesia; hanya saja, pembacaan waktu itu sekedar acak-acakan belaka, sekedaran belaka; dan kali ini membacanya lebih-lebih menautkan dengan pemikiran sayyid qutb dan menautkan islam secara total) dan juga membaca diriku sekali lagi, dan membaca ulang tentang dasar-dasar arahan keterpengaruhanku terhadap filsafat, artinya membaca Nietzche serta Ibnu Khaldun sekali lagi: seenggak-enggaknya kedua tokoh tersebut, besar pengaruhnya buatku.

Nietzche alih-alih menjadi diriku, menjadi mind-set awal pemikiranku untuk saat ini, dan Ibnu Khaldun sebagai pembacaan sejarah untuk menjalankan realitasku. Sependek kata, nietzche bagiku itu seperti ‘begitulah’ kira-kira yang saya pikirkan; bahwa orang-orang atau realitas yang menghampiriku, kabur dari kebenaran dan membaur antara kebaikan dan keburukan. (dan pada waktu itu, saya belum bertemu dengan orang-orang alim, atau setidaknya kiai-kiai; realitas saya lebih-lebih membaur kepada rakyat-rakyat biasa, dan yang kebetulan saya temui, laksana seperti itu.) dan untuk ibnu khaldun, ialah pedoman untuk menjalankan realitas, yang intinya, penangkapanku, begini: manusia itu harus berkeahlian yang kemudian dari keahliannya dibatasi oleh agama. Seringkas itu. dibatasi agama ialah, manusia itu kan beragama, maka agama menjadi batas dari keahliannya. Keahlian yang dimaksud, tentu saja, tawaran keahlian demi keahlian yang berkaitan dengan kehidupan; hal-hal itu banyak dipaparkan ibnu khldun pada bab-bab terakhir.

Soal agamanya apa? Dan bagaimana cara kerjanya agama membatasi keahlian?

Jawabku, yang pasti agama. Apa pun itu agamanya, yang pasti agama menjadi batas dari keahlian. Artinya, saya tidak mengklaim bahwasanya agamanya ‘harus’ islam, karena pembacaan saya berkaitan dengan indoensia, yang mana ada agama-agama yang lain selain islam; tentu harus adil menyikapi itu. intinya, manusia itu harus dibatasi oleh agama, dan manusia, tiap-tiap individu harus mempunyai keahlian, yang tujuannya supaya mengerti bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain (pembicaraan manusia saling membutuhkan satu sama lain ialah hal-hal manusiawi, dan itu pun diungkapkan oleh ibnu khaldun pada bab-bab pertama; zoo politik)

Keterkaitan dengan Nietzche, saya juga ‘agak’ menyepakati (saya buat agak, dengan alasan: agar saya tidak begitu dituding mengikuti gaya nietzche) bahwa manusia sekarang, termasuk saya sendiri, laksana membunuh tuhan, artinya laksana tidak takut lagi dengan aturan-aturan tuhan. Sehingga perbuataannya laksana tidak ada pembatasan dan bahkan melampaui kemanusiaannya: hingga pada akhirnya, keputusan Nietzche itu menjadikan ‘dirinya’ berupaya menjadi nabi pada teksnya, pada tulisannya, pada dunia imajenasinya, pada dunia fantasinya: bahwa dia menjadi nabi yang bersabda, maka ditulislah Sabda Zarathustra. Bagiku, sabda Zarathustra itu ialah diri nietzche yang gagal pada realitasnya, sehingga dia menciptakan realitas yang lain, yakni realitas kata-kata; seperti halnya awal, nietzche pengkaji filology (teks-teks klasik yunani) hingga kemudian jadilah nietzche menjadi sekedar teks yang perlu dikaji. Nieztche menjelma teks. bagiku, ia menjelma teks, laiknya menjelma filolog.

Bersamaan dengan itu, saya juga menangkap isu yang digarapkan nietzche, atau bahasa yang sering didengungkan, yakni kehendak berkuasa.

Maka, sejauh pembacaan saya, atau imajenasi saya, yang itu berkaitan dengan Sayyid Qutb pun, laksana disusupi kehendak berkuasa, yang kemudian mengatas namakan islam. sebabnya lagi, dengan membaca sayyid qutb, saya pun membaca islam-islam yang lain, yakni islam radikal. Sebuah julukan yang menurut saya menegatifkan istilah radikal, sebabnya saya pelajar filsafat, tentu pemikirnanya bakal sering menemukan kata radikal. Namun maksud dari islam radikal ialah islam yang itu kembali kepada sejarah nabi Muhammad yang dititik fokuskan pada peperangan.

Namun sebagai seorang yang juga menyelami sastra, saya, berusaha mengambil jernih pemikiran sayyid qutb, berusaha lebih jeli dari pemikiran sayyid qutb. Dan saya berpikir, walau pun pemikiran ini sekedar dugaan, atau sekedar pemikiranku, yang mungkin sekedar dialasi dengan pandangan subjektif, maka:

Pemikiran sayyid qutb itu mulai ‘terpengaruh’ akan masa yang ada di depan mata, masa yang banyak, dan bagaimana seharusnya cara kerjanya. Cara pelaksanaanya. Cara mengerjakannya, maka tiada cara yang lain kecuali menjadikan fakta. Gerakan fakta. Maka arah-arahan yang disampaikan Sayyid Qubt senantiasa mengarahkan pada arah kefaktaan, yakni cara kerja memfaktakan. Lebih-lebih, konon, masuknya sayyid qutb itu ke organisasi islam itu, karena kritikan yang diberikan oleh pemimpin organisasi islam, yakni Hasan al-bana.

Sebenarnya posisi saya disini, berusaha melihat Sayyid Qutb sebagai seorang sastrawan. Yang mana, tentu saja seorang sastrawan bakal berimajenasi, berkontekstual, dan berfantasi; dan itu tentu saja pengalaman saya sendiri, sebagai seorang yang suka mengarang, dan berimajenasi, dan berfantasi. Yang tujuannya, agar setiap muslim merasakan kelezatan al-quran, syaratnya setiap diri muslim berperan menjadi sosok kanjeng nabi Muhammad, maka dengan itu, tiap-tiap muslim bakal merasakan bagaimana ayat-ayat al-quran itu turun. Sayangnya, dengan hal itu, maka besar kemungkinan, tiap-tiap individu bakal terkena hawa untuk berkehendak berkuasa, karena seakan-akan mendapatkan wahyu. Sehingga ketika ada yang menentangnya, laksana dialah lawannya. Bahkan keluarganya sendiri, seakan dianggap lawan. Sebab, islam secara dasar, tidak mengenal tentang perkeluargaan; islam itu tanggung jawab individu-individu. Hal itu dilihat dari kanjeng nabi Muhammad, yang sejak kecil telah yatim-piatu.

Sementara itu, realitas itu, tidaklah setiap manusia itu lahir secara yatim-piatu. Lebih-lebih, sayyid qutb tidak menjalani soal pernikahan; padahal dengan menikah, pemikiran itu bakal mengalami tautan realitas yang pasti, terikat-ikat oleh keadaan sosial, terikat-ikat oleh tradisi sosial. Dan dengan menikah, maka manusia bakal berusaha mengharapkan anak-anaknya untuk lebih baik, lebih baik, orang yang beragama, dan baik dengan sesamanya; intinya, berharap anaknya bahagia.

Tentu saja, ketidak-menikahnya Sayyid Qutb, menjadikan pemikirannya bisa focus kepada hal-hal idealismenya; sebab tidak menjalani keterikatan sosial yang fakta, yang besar kemungkinan tatkala memmpunyai anak, maka pastilah orang tua bakal memeberikan sesuatu untuk mencukupi anak; dan agaknya kalau dituliskan, atau diteorikan, tentang pernikahan, laksana mudah dan ringkas, padahal kehidupan-fakta tidak seringkas itu; kehidupan fakta mempunyai daya tarik tersendiri: perbedaan jenis antara laki-laki dan wanita yang menyatu dan diikat pada keluarga, suami-isteri, tentu saja berbeda dengan saudara sedarah, sebagaimana saudara-saudara Sayyid Qutb. Dan kalau sekedar melihat orang tua, maka itu sekedar penglihatan, sekedar melihat, padahal pada prosesnya ada rasa-rasa, ada interaksi, ada konflik, ada pertikaian, ada perbedaan, dan lebih-lebih ada musyawarah di antara suami dan isteri. Sekali pun dalam hal ini, suami menjadi kepala rumah tangga, namun pada faktanya, keputusan yang dilakukan suami tidak serta keputusan suami, di sana juga ada peran dari obrolan isteri. Sebab isteri itu bukanlah patung, atau bukanlah robot, atau bukanlah benda, melainkan manusia yang di sana ditaruk juga kemampuan untuk berpikir dan kemampuan untuk memutuskan.

Memang, agaknya ada ‘benarnya’ Pak Haidar memberikanku tugas ‘analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan Sayyid Qutb’ artinya tentu saja menganlisis secara kritis pandangan kenegaraan sayyid qutb, sebab saya pasti berkecenderung melihat secara kritis pandangan kenegaraan sayyid qutb, yang itu dengan sudut pandang filsafat, sastra, al-quran, dan manusia-muslim khas Indonesia: karena saya juga sibuk dengan realitasku, aktifitas realitasku. Sementara kehendak pemikiranku, laksana upyek pada hal-hal ide, atau idelisme. Maka sepertinya agak pas jika saya menganalisis. Harusnya sih saya bisa, mestinya, tapi faktanya, agaknya saya memilih dulu untuk mengajukan: Pandangan Sayyid Qutb tentang Negara.

Padahal, di satu sisi, saya berkata, tentu pada diriku, “Alah Taufik… Taufik… realitasmu saja porak-poranda, apalagi membicarakan sekelas Negara. Bahkan membicarakan desa saja, mungkin masih kelabekan, malah membicarakan sekelas Negara. Membicarakan saja sekelas RT, mungkin masih kepayahan, kok ya membicarakan sekelas Negara. Membicarakan Agama sekelas desa saja kepayahan, apalagi membicarakannya sekelas Negara. Taufik… Taufik…”

Belum ada Komentar untuk " Bergeser Menjadi Sekedar Pandangan Kenegaraan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel