Pemimpin Filsuf Menurut Al Farabi 1
Rabu, 28 Februari 2018
Tambah Komentar
Siapakah filsuf itu? sederhananya filsuf ialah individu yang mempelajari ilmu filsafat. Maka jadilah pelajar filsafat. Saat dia telah sempurna mengusai ilmu, jadilah ia sebutan filsuf. Mari kita terapkan pada ilmu-ilmu yang lain.
Saat ia menjadi pelajar tafsir al-quran, dan kau ia benar-benar memahami pelajaran tafsir quran: sudah ia disebut mufasir? Jawabnya, tentu belum kalau dia tidak mempunyai tafsir al-quran. Lalu bagaimana dengan pelajar filsafat, sehingga ia mencapai predikat filsuf yang sebenarnya.
Apakah kalau sudah membuat teks-teks filsafat, lalu dia dikatakan filsuf. Agaknya begitu. ketika dia telah membuat teks-teks yang itu memasuki syarat-syarat filsuf, maka layak mendapatkan gelar filsuf. Berarti di zaman seperti sekarnang ini, setiap siapa pun yang mendapatkan gelar: Phd. Gelar Profesor Philoshopy, maka dialah filsuf.
Kalau begitu, tentu saja dia layak menjadi pemimpin yang bakal menciptakan kesejahteraan dunia dan akhirat. Sebab syarat utamanya pemimpin adalah filsuf. Namun, al farabi ialah pemikir islam. maka harus ada juga ukuran dari keislaman. pemimpin yang itu dari islam. lantas bagaimana pemimpin menurut islam? sehingga mampu menciptakan cita-cita pemimpin filsuf yang mengantarkan bahagia sejahtera dunia dan akhirat.
Bersamaan dengan hal itu, maka besar kemungkinan pemimpin yang dipilih ialah gelar filsuf islam, itu sebabnya harus ada kajian tentang filsuf islam; maka untuk mencapati Negara yang bahagia dunia dan akhirat, mengambil orang-orang professor keislaman untuk diseleksi menjadi pemimpin. Sebab professor itu ialah seorang filsuf.
Agaknya, untuk melihat itu, kita penting mengerti situsi keadaan yang ada pada al-farabi, sesungguhnya filsuf yang dimaskud itu bagaimana; sebab, jika diukur di zaman sekarang, di zaman logosentrisme, maka ukuran filsuf islam adalah siapapun yang mendapatkan gelar professor, maka telah menjadi filsuf islam. dan harusnya ia menjadi agen untuk memimpin negeri yang bertujuan supaya rakyat sejahtera dunia dan akhirat.
Sayangnya di zaman ini, professor-profesor itu lebih banyak bersinggah mendukung orang-orang; atau lebih focus pada dunia pendidikan, konsentrasi keilmuan, sebab mendapatkan professor harus melalui system-sistem akedemik, termasuk mengadakan rangkaian penelitian.
Itu sebabnya, harus melihat bagaimana keadaan dimasa al-farabi, ketentuan filsuf di masa itu seperti apa: iyakah seorang yang mengkaji filsafat lalu dikatakan filsuf? Ataukah iya yang mempunyai karya yang menyeluruh dan totalitas pengkajian dan itu layak disebut filsuf? Lalu kemudian, si filsuf itu menawarkan diri untuk menjadi pemimpin Negara; yang mana Negara telah mempunyai aturan, lalu bagaimana si filsuf itu masuk ke dalam aturan bernegara, jika ‘sistem’ Negara dikuasai oleh orang-orang yang berambisi untuk mempunyai kuasa.
Artinya, bagaimana si filsuf itu kemudian mampu menjadi pemimpin, di saat orang-orang atau struktur kepemimpinan ada pada orang-orang yang bukan filsuf. Artinya, kedudukan filsuf, paling tidak hanya sebagai penasihat dari system-kenegaraan, atau kerajaan. Dan untuk mencapai cita-cita pemimpin, maka si filsuf itu harus memasuki system kenegaraan. Bila pun tidak, bila pun mengikuti gaya nabi muhamamad, maka: kepemimpinanya ialah secara perlahan dan membutuhkan waktu, artinya pemimpin tanpa gelar kehormatan kenegaraan, atau pemimpin tanpa mahkota, hal itu laksana tercermin pada nabi-nabi; yang mana status asalnya menggerakan manusia lewat jalur agama, namun ia juga mempunyai aturan hukum, taat kepada nabi dan taat kepada Tuhan.
Artinya lagi, bahwa kepemimpinan yang diarahkan al farabi, tentang filsuf, itu sulit dijangkau pada kesisteman. Dan bila pun tidak, maka ‘harusnya’ system itu membutuhkan sosok seperti filsuf itu memimpin. Mengangkat filsuf itu untuk memimpin. Jalannya begitu: caranya, maka harus adanya kesadaran umum untuk pengakatan filsuf itu sendiri. Dan saya berbicara ini berkaitan dengan kefaktaan: artinya di dalam pikiran saya begini, kalau pun sekelas di desa, jika orang-orang desa tidak mengharapkan pemimpin filsuf, maka pemimpin filsuf itu akan sulit masuk pada jangkauan keperdesaan. Bila pun masuk, maka pemimpin filsuf telah terdukung, dan tugasanya mengikuti system-sistem yang berlaku.
Bila pun pemimpin filsuf itu masuk, maka harus ada kelompok-partai yang mendaftarkan si filsuf untuk memimpin. Agaknya begitu. aturan mainnya. Agakanya begitu. agaknya begitu.
Saat ia menjadi pelajar tafsir al-quran, dan kau ia benar-benar memahami pelajaran tafsir quran: sudah ia disebut mufasir? Jawabnya, tentu belum kalau dia tidak mempunyai tafsir al-quran. Lalu bagaimana dengan pelajar filsafat, sehingga ia mencapai predikat filsuf yang sebenarnya.
Apakah kalau sudah membuat teks-teks filsafat, lalu dia dikatakan filsuf. Agaknya begitu. ketika dia telah membuat teks-teks yang itu memasuki syarat-syarat filsuf, maka layak mendapatkan gelar filsuf. Berarti di zaman seperti sekarnang ini, setiap siapa pun yang mendapatkan gelar: Phd. Gelar Profesor Philoshopy, maka dialah filsuf.
Kalau begitu, tentu saja dia layak menjadi pemimpin yang bakal menciptakan kesejahteraan dunia dan akhirat. Sebab syarat utamanya pemimpin adalah filsuf. Namun, al farabi ialah pemikir islam. maka harus ada juga ukuran dari keislaman. pemimpin yang itu dari islam. lantas bagaimana pemimpin menurut islam? sehingga mampu menciptakan cita-cita pemimpin filsuf yang mengantarkan bahagia sejahtera dunia dan akhirat.
Bersamaan dengan hal itu, maka besar kemungkinan pemimpin yang dipilih ialah gelar filsuf islam, itu sebabnya harus ada kajian tentang filsuf islam; maka untuk mencapati Negara yang bahagia dunia dan akhirat, mengambil orang-orang professor keislaman untuk diseleksi menjadi pemimpin. Sebab professor itu ialah seorang filsuf.
Agaknya, untuk melihat itu, kita penting mengerti situsi keadaan yang ada pada al-farabi, sesungguhnya filsuf yang dimaskud itu bagaimana; sebab, jika diukur di zaman sekarang, di zaman logosentrisme, maka ukuran filsuf islam adalah siapapun yang mendapatkan gelar professor, maka telah menjadi filsuf islam. dan harusnya ia menjadi agen untuk memimpin negeri yang bertujuan supaya rakyat sejahtera dunia dan akhirat.
Sayangnya di zaman ini, professor-profesor itu lebih banyak bersinggah mendukung orang-orang; atau lebih focus pada dunia pendidikan, konsentrasi keilmuan, sebab mendapatkan professor harus melalui system-sistem akedemik, termasuk mengadakan rangkaian penelitian.
Itu sebabnya, harus melihat bagaimana keadaan dimasa al-farabi, ketentuan filsuf di masa itu seperti apa: iyakah seorang yang mengkaji filsafat lalu dikatakan filsuf? Ataukah iya yang mempunyai karya yang menyeluruh dan totalitas pengkajian dan itu layak disebut filsuf? Lalu kemudian, si filsuf itu menawarkan diri untuk menjadi pemimpin Negara; yang mana Negara telah mempunyai aturan, lalu bagaimana si filsuf itu masuk ke dalam aturan bernegara, jika ‘sistem’ Negara dikuasai oleh orang-orang yang berambisi untuk mempunyai kuasa.
Artinya, bagaimana si filsuf itu kemudian mampu menjadi pemimpin, di saat orang-orang atau struktur kepemimpinan ada pada orang-orang yang bukan filsuf. Artinya, kedudukan filsuf, paling tidak hanya sebagai penasihat dari system-kenegaraan, atau kerajaan. Dan untuk mencapai cita-cita pemimpin, maka si filsuf itu harus memasuki system kenegaraan. Bila pun tidak, bila pun mengikuti gaya nabi muhamamad, maka: kepemimpinanya ialah secara perlahan dan membutuhkan waktu, artinya pemimpin tanpa gelar kehormatan kenegaraan, atau pemimpin tanpa mahkota, hal itu laksana tercermin pada nabi-nabi; yang mana status asalnya menggerakan manusia lewat jalur agama, namun ia juga mempunyai aturan hukum, taat kepada nabi dan taat kepada Tuhan.
Artinya lagi, bahwa kepemimpinan yang diarahkan al farabi, tentang filsuf, itu sulit dijangkau pada kesisteman. Dan bila pun tidak, maka ‘harusnya’ system itu membutuhkan sosok seperti filsuf itu memimpin. Mengangkat filsuf itu untuk memimpin. Jalannya begitu: caranya, maka harus adanya kesadaran umum untuk pengakatan filsuf itu sendiri. Dan saya berbicara ini berkaitan dengan kefaktaan: artinya di dalam pikiran saya begini, kalau pun sekelas di desa, jika orang-orang desa tidak mengharapkan pemimpin filsuf, maka pemimpin filsuf itu akan sulit masuk pada jangkauan keperdesaan. Bila pun masuk, maka pemimpin filsuf telah terdukung, dan tugasanya mengikuti system-sistem yang berlaku.
Bila pun pemimpin filsuf itu masuk, maka harus ada kelompok-partai yang mendaftarkan si filsuf untuk memimpin. Agaknya begitu. aturan mainnya. Agakanya begitu. agaknya begitu.
Belum ada Komentar untuk " Pemimpin Filsuf Menurut Al Farabi 1"
Posting Komentar