Pemimpin Filsuf Menurut Al Farabi

(Telaah kitab ara ahl madinah al fadilah)

Al Farabi ialah pemikir islam, filsuf dalam pengertian Al Farabi ialah filsuf islam. hal itu disejajarkan dengan semisal para nabi. Sementara itu nabi itu sendiri berbeda dengan julukan filsuf. Filsuf ada pada jalurnya sendiri (ada pada bangungan epistemologis tersendiri, yang merujuk pada barat) dan Nabi juga mempunyai jalurnya sendiri (ada pada bangunan epistemologis tersendiri, yang merujuk pada timur). Yang pasti, saran itu merujuk pada kedua hal tersebut yang kemudian dipadukan. 

Telah disepakati bahwa nabi Muhammad ialah nabi terakhir. Maka sesudah beliau tidak ada nabi, dan al farabi mengetahui itu. itu sebabnya tawarannya mengarah pada filsuf. Filsuf orientasi pemikirannya ialah bijaksana, yang seringkali dikedepankan perihal materi, sebab filsuf atau perkara filsuf merujuk pada barat, yang menundukung tentang kemajuan zaman dan mengutamakan tentang kematerian, lebih-lebih daya yang digunakan (epistemologis) menitik kuatkan pada ukuran rasio, ukuran akal. Sementara ukuran kenabian, merujuk pada hal-hal wahyu, yang itu bersumber dari Allah. 

Namun di zaman al farabi hidup; telah terjadi bentuk kekuasaan, yang itu turun-temurun dan bersifat meneruskan kekuasaan yang berlaku, bersamaan dengan itu al-farabi membuat konsep tentang Negara utama, yang mana pemimpinnya harus seperti filsuf atau kenabian. Setidaknya pengungkapan filsuf, jatuhnya pilihan filsuf karena ia bijaksana, dan fase kenabian telah punah; bila pun ada, maka itu generasi setelah nabi, wali, ulama. Namun jika diukur tentang ‘ulama’ maka ulama yang mengerti sungguh tentang keadaan rakyatnya, tentang situasi pergerakan dunia; sementara itu, ulama itu identitik membatasi ‘pengetahuan’ pada agama, sementara tugas pemimpin mencakup seluruh elemen tentang manusia. ada yang kaya, miskin. Ada yang rakus, ada yang tertindas. Ada yang lemah, ada yang kuat. Dan puspa ragam lainnya watak-watak dari manusia. itu sebabnya, anjurannya ialah filsuf. 

Filsuf itu, merujuk pada barat, yang berukuran kuat pada rasio, namun jika dipadukan dengan wahyu, maka tentu saja, masih ada hubungannya. Artinya manusia secara alamiah bakal menggunakan akalnya, namun jika akal digunakan terus menerus maka yang terjadi manusia malah mendewakan system. Mendewakan keperakalan. Itu sebabnya, al farabi selalu merujuk Kanjeng Nabi Muhammad menjadi figure untuk percontohan: bahwa dengan keberadaan sosok semacam kanjeng nabi Muhammad Muhammad, maka ada hubungan yang rekat antara akal dan wahyu. Sebab kanjeng nabi Muhammad itu juga manusia seperti yang lainnya. Ia adalah sama-sama manusia, perbedaannya, manusia yang diberi wahyu. Sekali pun begitu, tetap saja nabi Muhammad ialah manusia, bukan malaikat. Yang tentu, bersama dengan tabiat kemanusiaannya, mempunyai nafsu, namun bersamaan dengan adanya wahyu maka tertahanlah nafsu-tabiat kemanusiaannya. Tertahan bukan berarti sepenuhnya ditahan: artinya, apakah kanjeng nabi Muhammad tidka pernah marah? Apakah kanjeng nabi Muhammad tidak pernah sedih? Apakah kanjeng nabi Muhammad tidka pernah tertawa? Apakah kanjeng nabi Muhammad tidka pernah becanda? Sifat-sifat itu menjadi darah-daging bagi manusia; karena memang begitulah watak dari kemanusiaan secara umum. 

Dengan begitu, maka wahyu menjadi batas dari penggunaan rasio. Dan manusia yang diharapkan ialah dari sosok filsuf yang beragama, filsuf yang menyandarkan juga pada wahyu. Menyandarkan, berarti ada kesempatan untuk tidak bersandar. Ada waktu yang itu tidak harus bersandar. Bukan berarti melepaskan sandaran dari wahyu, melainkan adanya keseimbangan penggunaan nalar dan wahyu. Wahyu tetap saja diutamakan, karena wahyu sebagai dasar utama; hanya saja, untuk kehidupan di dunia, bagaimana menempatkan wahyu yang tepat di era yang telah menjadi kekomplekan durasi-waktu kanjeng nabi Muhammad? Bersamaan dengan itu, itulah tugas filsuf, menempatkan sesuatu yang sesuai dengan keberadaannya. begitu juga dengan karakter nabi Muhammad, yang menempatkan sesuatu sesuai dengan keberadaannya; sesuai dengan kaumnya, sehingga kaumnya mampu menjadi penganut setia sebagaimana era kanjeng nabi Muhammad. Lagi-lagi, di saat seperti ini: pemimpin itu menjadi sosok utama pada ara ahl madinah al fadilah, hal itu juga menyepakati dengan gaya kepemimpinan kanjeng nabi Muhammad: bahwa kepemimpinan itu menjadi sosok utama terhadap apa yang dipimpin.

Belum ada Komentar untuk " Pemimpin Filsuf Menurut Al Farabi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel