Sibuk Keakuan

Padahal pelajaran yang lain, juga telah menyelesaikan studynya, maka kau kepayahan terhadap studymu; apa jangan-jangan kau merasa terbebankan akan ‘pengetahuan’ yang ada di cangkang pemikiranmu? artinya terbebankan ialah bahwa kau harus menangung pengetahuanmu yang telah berlalu, yakni nilai-nilai yang telah berlalu dan kau harus benar-benar memahami secara menyeluruh terhadap apa-apa yang telah menjadi nilaimu. Artinya kau terbebankan terhadap nilai yang pernah engkau capai.

Padahal, senyatanya, kau tidak menjalani system secara sempurna. Andai kau menjalani system secara sempurna, pastilah system itu tidak akan sekaku seperti apa yang pikirkan, ini sebenarnya berkaitan dengan masalahmu sendiri, bahwa kau mempayahkan dirimu sendiri dengan alih-alih, ketika kau keluar, maka kau telah hebat dan cerlang. Dan kau lalai, bahwa ada tangga pengetahuan, atau jenjang pengetahuan yang itu lebih serius dan sangat dipertahankan, yakni sekelas professor. Memangnya kau sekelas professor? Atau kau menyamai dirimu ialah sebagaimana para professor itu? 

Kenalilah, yang disebut para professor itu, mereka mengiktui jenjang-jenjang system yang terjadi. mereka mengikuti prosedur system yang ditawarkan, dan bersamaan dengan itu, kebutuhan dirinya utnuk meneliti, dan mereka telah terbiasa dengan meniliti dan tugas mereka itu pada akhirnya meneliti, yang lintasannya, tentu saja lintasan yang besar dan lebih-lebih; mereka itu rajin dalam membaca, dan mengamati teks-teks yang ada. pemikirannya telah diasupi data-data teks dan itu menjadi kebutuhannya. Lha dirimu? Membaca saja, masih kadang-kadang. Menulis saja, begaya sastra, malah-malah, lebih jelas, menulis yang itu bergenre diary. Diary yang tujuannya untuk memahami diri, lebih-lebih memahami pemikiranmu.

Kenalilah, pemikiranmu itu pemikiran khas kampung. Yang agak kolot terhadap pengetahuan. Seakan, kebenaran itu sekedar lintas keluarga, dan lintas rt. Atau pemikiranmu itu laksana berada di goa, sementara itu, di zaman sekarang; orang-orang telah berjalan-jalan dengan data demi data, teks demi teks. begitulah zaman sekarang: sebagaimana telah kau ketahui tentang konsentrasi pemikiran manusia, yang kini mulai bersibuk pada logosentrisme.

Hal itu terjadi, karena terjadi ‘kemajuan’ data pengetahuan, yang menganjurkan manusia untuk saling sibuk terhadap ‘wacana’ demi ‘wacana’; teks demi teks, data demi data, aksi itu bagi para ‘pemikir’ kontemporer laksana sesuatu yang ‘aneh’ karena keramaian ialah milik kesibukan teks. inilah zamannya, begitulah zamannya.

Sayangnya, pemikiranmu khas pemikiran kampung, karena kau juga berasal dari orang kampung. Berasal dari tempat tinggal yang itu ‘agak’ telat proses interaksi pengetahuan, lebih-lebih dirimu tidak mempunyai target yang cerlang pada hal pengetahuan: sekali pun sejak kecil kau berada pada atap pengetahuan, atau atap pendidikan, atau atap lembaga pendidikan.

Bahasa lainnya, kau menjalani proses waktu laksana mengalir tapi sebenarnya kau tidak mengalir. Karena kau terkesan agak berbeda dengan yang lain; yakni kau laksana sibuk pada pemikiranmu sendiri, pada duniamu idemu sendiri, yang tujuannya mencari dirimu sendiri.

Di zaman yang serba sarat identitas, kau malah sibuk mencari dirimu sendiri, mencari kesenangan atas dirimu sendiri; dan bahkan malah-malah mengorek tentang perjalanan waktu yang itu menghampiri dirimu sendiri.

Ketika sudah ketemu. Lalu kau merasa tertinggal, super tertinggal.

Padahal mahasiswa yang lain telah selesai dengan skrispinya. Padahal yang lain telah selesai dengan kuliah. Padahal yang lain telah menjalani kehidupan yang normal selayaknya manusia, telah menjalin pernikahan, mempunyai anak dan mempunyai tanggung jawab sosial, sementara dirimu:

Masih sibuk dengan pemikiranmu, masih sibuk pada keakuanmu. Masih sibuk di atap pengetahuan, dan itu pun masih sekelas sarjana tingkat awal.

Padahal yang lain telah menjalani kehidupan dan mempunyai tanggung jawab; mempunyai pekerjaaan dan mengalami roda-roda kehidupan sebagaimana tanggung jawabnya, dank au; masih sibuk dengan pemikiranmu, dan sekarang, kau merasa keluar.

Akhirnya, kau merasa tertinggal, jauh tertinggal. Ketinggalan jauh, sangat jauh. Padahal, kalau dipikir-pikir ulang, kau tidak jauh tertinggal, tidak jauh tertinggal.

Ingatlah, isu di zaman modernitas ini, filsuf yang kesohor pun mengkaji tentang keberadaan. Tentang filsafat manusia. Tentang ontology keberadaan. Dan kau, kau memilih realitas sebagai jalan untuk bertanggung jawab dan menjalani kehidupan yang wajar, dan cara menjalani sebagaimana peran-peran kiai yang telah berlalu; menikmati alur waktu dan tetap menjaga tentang moral dan berdaya diri untuk bertahan di era serbuan zaman.

Dan kau memilih realitas desamu sebagai sesuatu yang itu faktamu. Alih-alih, biarlah para pemikir itu memikirkan sesuatu yang bertemakan besar, dan aku memikirkan diriku dan keluargaku dan menjalani hidup bersama dengan tetangga dan menjadi petani yang damai pemikirannya. Hanya saja, tidak terpatokkan materi. Tidak kalah soal materi. Soal hidup, tetap biasa saja; hanya saja, pemikirannya lebih tenang menjalani realitas yang kecil dan masalah yang kecil. Masalah yang besar, biarlah orang-orang yang dikenai pemikiran untuk mengkaji tema besar, dan aku menjalani hidup yang sederhana; berdaya diri menjadi lebih baik yang beraklak yang baik, dan tidak lupa bahwa allah itu ada. 

Belum ada Komentar untuk " Sibuk Keakuan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel