Pendahuluan Masuknya Modernitas Wargomulyo



Sejak kapan wargomulyo, mulai mengenal budaya-budaya yang itu pembaruan terhadap modernitas? Sejak kapan Wargomulyo berhubungan dengan hal-hal modernitas? 



Tujuan penulisan ini sederhana, saya berusaha mempertahankan-keakuan saya, sebab mau tidak mau, orang-orang psikologi menyatakan, bahwa manusia itu terpengaruh dengan lingkungannya, setelah saya memetani diri lebih jauh, maka mau tidak mau saya terpengaruh dengan lingkungan yang ada di wargomulyo: mungkin lingkungan kecil dari keluarga, namun keluarga itu juga masuk dalam cakupan struktur kemasyarakatan bersama. Tinjauan ini, kalau berbicara seluruh totalitas desa Wargomulyo, maka itu tidak benar. Yang benar, ialah pembicaraan yang merujuk pada pusat wargomulyo, yakni pasar, dan tokoh-tokoh utama desa wargomulyo, yakni Pak Lurah pertama, dan Pak Lurah kedua: Mbah Kaji Nawawi dan Mbah Kaji Sanusi. 



Kedua tokoh utama Wargomulyo itu menjadi sudut pandang (perspektif) untuk memahami gelegat manusia-manusia Wargomulyo pada umumnya. Sekali pun tulisan ini subjektif, dan tidak tersistematis (Namun pemikiranku begini: kalau kita terlalu sistematis dan begitu objektif. Hasilnya data sekedar menjadi data. Data sekedar menjadi bacaan. Bacaan sekedar bacaan. Tidak ada efek, kecuali efek-efek kecil terhadap apa yang dibaca. Sekedar menjadi bacaan yang berlalu. Atau, bila pun hendak menemukan data objektifitas, maka harus masuk pada tataran objektifitas: dan siapa pelakunya? Tentu yang mempunyai ‘kepentingan’ mengurus desa wargomulyo, dalam hal ini pemerintahan. Atau para peneliti sejarah, yang penelitiannya mempunyai nilai struktural. Dan saya, dengan tulisan ini, tentu saja mengungkapkan yang itu perspektif saya; dan khususnya kepentingan saya, dan umumnya pengabaran untuk menjadikan ‘kabar’ pembacaan, untuk mengingat ulang tentang pemaaman manusia. kalau payah, dipahami. Kataku, jangan dipahami.) namun mengarahkan untuk ‘dibicarakan’ ulang apa yang saya ungkapkan:



Memahami karakter dasar manusia-wargomulyo, itulah kepentingan awal, dengan memahami hal tersebut, maka bakal ditemukan hal-hal yang itu sebagai pelengkap dari kemanusiaannya itu sendiri. Manusia wargomulyo, secara garis besar ialah masyarakat pertanian, yang ada, sejak tahun 1930 Masehi (Iya. Sejak 1930 Masehi. 15 tahun menjelang Indonesia merdeka. Tahun di mana status Indonesia masih ada pada penjajahan, di era-eranya Jepang dan Belanda menguasai pasar-pasar Indonesia. disekitar itulah, orang-orang dari jawa Tengah, berpindah ke Lampung, tepatnya di Pardasuka), pertanian adalah halyang utama dari manusia wargomulyo. Dan sebelum melakukan aktivitas pertanian, maka harus tebang. Tebang ialah penebasan pohon demi pohon. Penebasan hutan yang dijadikan tempat pemukiman. Tempat bermukim. Tempat untuk ditinggali. Menjadi keluarga demi keluarga. Mempunyai pola sosial. Menjalani pola budaya. Menjalani ritual keagamaan. Begitulah manusia secara umum. Menurut teori sosial (nah ini dia, saya mulai menyumber pada ilmiah): manusia itu mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Bersamaan dengan itu, maka terbentuklah tatanan kemanusiaan, dan berjalannya waktu, pembentukan itu menjadi-jadi, artinya model meneruskan dan katanya ‘membudayakan’, katanya ‘melestarikan’ leluluhur. Sampai akhirnya, jadilah nilai sejarah, yang diteliti orang-orang yang menyukai sejarah, lalu kata si peneliti sejarah, itulah hal yang baik; padahal tugasnya meneliti ialah memahami masa yang berlalu untuk dijadikan pijakan masa yang berlaku.



Masyarakat pertanian ialah masyarakat yang nilai pokok kehidupannya ada pada pertanian, itulah kata kuncinya. Begitulah masyarakat awal, umum Wargomulyo. Apa itu pertanian? Mengolah tanah: menanam dan mengendalikan tanam-tanaman. Yang semula liar, maka dijadikan tananam yang dapat dikelola. Gunung-gunung dikelola, tanah-tanah yang datar ditanami padi, jagung, cabai, rempai, terong, kacang-kacangan dan lain sebagainnya. Dan proses-proses itu tidak sebentar, tidak seperti membalikkan tepalak tangan: berwaktu-waktu. karena perwaktuan itulah, disana menjalankan aktivitas ‘keagamaan’.



Dikabar-kabarkan, bahwa masyarakat Wargomulyo, khususnya pemimpin-pemimpin awalnya, menyukai agama. Saya katakan, menyukai agama. Seringkas menyukai. Hal itu juga tercermin dari keumumanan manusia nusantara, yang sejak awal ‘rakyat’ biasa memang menjalankan rutinitas ‘keagamaan’: seperti halnya hindu, budha atau pun islam. Kalian bisa membaca pada tabel-tabel sejarah manusia nusantara: lho kok bisa sampai menuju manusia nusantara? Jawabku, lha embah kita itu dari Jawa. Dan Jawa itu ditahun 1926 Masehi, atau ditahun 1900 Masehi itu sudah ramai pertikaian. Pertikaian dengan penjajah. Yang dimaksud penjajah ialah penjajah dari negeri asing, yakni eropa: eropa pada waktu itu, besar-besaran mengelilingi dunia, ‘menguasai’ dunia dengan pola perpasarannya, pola perdagangannya. Tujuan dari perdagangan ialah kekayaan, dan tujuan dari kekayaan ialah kesenangan bertahan di dunia. Lebih-lebih, di tahun 1900 Masehi, masih gencar-gencarnya filsafat materialisme (paham yang mementingkan nilai materi) yang dipelopori oleh Karl Mark, yang kemudian dikenal dengan Kapitalisme. Yakni upaya kaum buruh untuk memperjuangkan hak-hak sosialnya (hal ini tentu saja, potret keadaan eropa di waktu itu. yang gerak jalannya, di abad pertengahan: orang-orang eropa dicengkram oleh agama nasrani, kekuasaan dipatok pada agama. Sehingga orang eropa, mengalami masa ‘kegelapan pengetahuan’, dan hingga pada akhirnya, agam islam sampai di eropa: dan berjalannya waktu, orang-orang eropa kembali bangkit. Bersamaan dengan kebangkitan ‘pengetahuan’, manusia eropa semakin menjulang dengan pengetahuannya. Bersamaan dengan itu, keadaan sosial manusia semakin ‘tidak terkendali’.), hak-hak sosial yang itu mempertahankan ‘kehidupan’ yang fakta ini, kehidupan di dunia ini: yang tidak lain, demi terciptanya bahagia-dunia; yang diutamakan ialah bahagia-dunia, caranya: ya bagaimana bertahan di dunia. Malah bahkan, pemikiran ini, paham ini, sampai-sampai mengklaim: agama sebagai candu masyarakat (untuk lebih detail dan jelasnya: baca saja tentang karl mark. Buka-buka, searching, tentang Karl Mark; tentu saja Presiden Soekarno juga membaca itu, sebab gurunya, Corkroaminoto juga membaca itu. sebab, pada waktu itu, pemikiran Karl Mark, yang populer di dunia). 



Sementara itu pada umumnya, manusia nusantara, terkhusus di Jawa, sudah terkuasai oleh kerajaan keislaman. Tentu saja, ajaran-ajaran yang ditanamkan tentang keagamaan dan sarat nilai-nilai agama: lebih-lebih, dahulu kala nusantara berdarah-darah tentang agama hindu-budha, sebagaimana sering kita ketahui, apa reaksi dari hindu-budha secara fakta? Yakni mementingkan tentang Nirwana, adanya Surga dan Akhirat juga. Ingatlah film-film yang berkaitan dengan film-film yang beralaskan agama hindu budha: seperti Angling Darma, Tutur Tinular, Saur Sepuh, atau bahkan film-film India klasik: lihatlah bagaimana potret manusia yang di dalam hati dan pemikirannya disertai agama hindu-budha.



Dan kehidupannya menerima apa adanya tentang kehidupan-dunia, bahkan, kalau kita melihat ajaran-ajaran budha, yang mana tokoh utamanya, menjauhi dari keglamoran dunia, tujuannya mendapatkan pencerahan. Pencerahan batin, pencerahan di dalam diri. 



Berabad-abad manusia-nusantara menjalani tradisi agama hindu-budha, yang kemudian, masuklah Para Wali, dengan titik utama ajarannya lewat jalur tasawuf, bukan jalur fikih, melainkan jalur tasawuf. Apa itu tasawuf? Yakni yang mengutamakan di dalam diri. Jika fikih itu, mengutamakan yang ada di luar. Sekalipun lewat jalur tasawuf, para wali itu: tidak memaksa murid-muridnya untuk menjadi dirinya, atau bahkan mempayah-payahkan si murid untuk seperti gurunya. Ingatlah, baju-baju yang dikenakan para wali itu, bukankah sejak dulu tetap seperti itu, namun tidak memaksakan orang-orang nusantara, yang harus menjadi seperti itu. Ingatlah film (walau sebagai film, yang itu untuk pembanding. Sekedar pembanding.) wali songo, saat sunan kali jogo disahkan menjadi murid, barulah diberi pakaian jubah. Artinya pakaian jubah itu, di jaman wali itu, kira-kira tidak serta-merta didahulukan bahwa dipaksakan untuk menggunakan, hal itu melihat keadaan seorang santri, baru ketika sudah siap ditawarkan untuk menggunakan. Dan orang-orang lain, si murid-murid itu, tidak dipaksakan untuk menggunakan pakaian-pakaian yang sarat menutup aurat. Setidaknya, menutupi aurat. Sebab menutup aurat itu menggunakan pakaian-pakaian, sementara manusia nusantara di kala itu, belum benar-benar siap berkaitan dengan pergerakan baju-baju (ingatlah film-film kerajaan semacam Saur Sepuh, atau bahkan film-film pendekar-pendekar yang lain; lihatlah bagaimana pakaian-pakaiannya). Lama-lama, islam ‘berkuasa di nusantara’. 



Saat islam berkuasa di nusantara, maka kehidupan manusia nusantara tentu saja, banyak yang beragama islam. sebab agama islam berkuasa di nusantara. Bersamaan dengan itu, pondok-pondok pesantren pun berdiri, dibangun, dan santri-santri pun mondok di pesantren, termasuk juga Mbah Kaji Nawawi (agaknya mbah nawawi itu juga adalah seorang santri. Agaknya begitu. saya pernah mendengar, tapi lupa dari mana. Kalaulah bukan, harap maklum. Artinya, kalau bukan santri tidak mengapa. Kalau santri, tentu saja ya tidak mengapa.) dan yang pasti, Mbah Kiai Benu Kosim ialah nyantri. Nyantri di Pondok Termas, Jawa Timur (itu kata cucunya.). yang kemudian menjadi ‘Kiai Pokok’ di desa wargomulyo, saya suka sekali menyebutnya ialah kiai desa wargomulyo, sebab kedatangannya ialah berkat upaya masyarakat wargomulyo yang ‘berkendak’ untuk mendatangkannya lalu ditempatkan di Masjid desa Wargomulyo: siapa masyarakatnya? Utamanya, tentu lurahnya: Mbah Kaji Nawawi.



Saat Indonesia merdeka, tepatnya saat 1945 Masehi, tentu hal itu mempengaruhi pola-pola kehidupan masyarakat Wargomulyo (Bagaimana? Begini: sebelumnya, kekuasaan di Nusantara tidak diikat oleh kekuasaan Negara. Saat ini, sejak merdeka, dikuasai oleh atas nama Negara. Bersamaan dengan itu, tentu rakyat-rakyat bawah kena imbasnya, tentu saja berkaitan dengan proyek-proyek skala nasional: proyek demokrasi dan proyek kemajuan untuk Negara Indonesia. yang dimaksud kemajuan ialah kemajuan secara materi disertai ruhani. Namun titik fokusnya ialah kemajuan materi, kemajuan benda-benda. Dan syarat utamnya, tentang pendidikan, dan tukar-tukar informasi dan upaya pemerataan sosial), di saat itulah upaya-upaya pemerintahan pusat menekankan untuk pentingnya, kemajuan. Untuk modernisasi. 



Modernitas Wargomulyo

Sebelum lebih jauh, apa itu modern? Jawabku, pada kajian filsafat, di era orang-orang eropa mulai bangkit dari ‘tidur’ pengetahuan yang dicengkram oleh agama. Di saat itulah, era modern disebutkan. Arti dari modern iala keadaan saat ini. itulah modern. Bahkan di eropa, tahun 1500 Masehi sudah dikatakan modern. Bayangkan saja, ditahun 1500 Masehi sudah dikatakan modern, dan nusantara? Hehe. Dan modern itu, ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi. Itulah tanda utamanya. Kemajuan pengetahuan dan technology, itulah yang ditandai dengan modern. 

Nah, yang hendak saya bahas di sini ialah tentang modernitas yang ada di desa wargomulyo, mengapa demikian? Mengapa sekecil atau sekelas desa Wargomulyo: sebagaimana awalnya, tujuanku ialah pemahaman diri terhadap keadaan diri, yang itu diukur dari lingkungan kecil terlebih dulu, yakni keakuan, keluarga, dan desa. Sebab, menurut saya, juga menurut psikolog, manusia itu terpengaruh oleh hal-hal begituan: keluarga dan lingkungan. 

Lebih-lebih, mengapa harus desa wargomulyo? Sebab, desa itu ialah tempat tinggalku, dan sekurang-kurangnya saya mengerti, menjalani.


Saat kita melihat fakta-fakta yang terjadi di desa wargomulyo saat ini, yang mana saat ini mulai banyak warung-warung, kendaran, sekolahan, dan pola-pola desa wargomulyo, pola-pola masyarakatnya, maka inilah zaman sekarang, dan itu pun terjadi karena didahului oleh jaman sebelumnya. 


Sebelumnya, zaman dimana technology di Wargomulyo masih teramat langka. Langka sekali. Di nusantara memang telah ada, namun di desa Wargomulyo, masih teramat langka. Entah, apakah ada yang punya radio di Wargomulyo pada waktu itu, pada awal-awalnya dibuka desa wargomulyo. Yakni apakah mbah nawawi dahulu kala sudah punya radio? Apakah mbah kaji sanusi mempunyai radio? Jawaban sementara saya—atau spekulasi saya—mereka belum mempunyai radio. Sekali pun sudah mengerti, bahwa di jawa, radio telah ada. televise telah ada. maklum, mereka telah berpindah di tahun, 1930 Masehi, berarti keadaan dimana bahkan mobil-mobil telah banyak. Hanya saja, manusia-nusantara belum banyak yang punya. Yang punya itu sebagian saja. lihatlah sekali lagi, film-film zaman dulu itu, yang diukur sebelum era kemerdekaan. Apakah Nusantara telah melek terhadap teknologi? Jawabnya, tidak. Nusantara tidak melek terhadap technology, selain itu, memang bukan itu orientasi dari manusia nusantara: orientasi dari manusia-nusantara pada umumnya berkaitan dengan kehidupan yang ala kadarnya, kehidupan yang mampu bertahan. Kalau ditinjau pada sejarahnya: Manusia nusantara ‘agak’ terkena efek-efek filsafat timur (mana itu filsafat timur: yakni cina dan sebagainya? Apa itu efeknya, sarat dengan nilai-nilai alam. Hingga kemudian, filsafat ketimuran sering diartikan timur-tengah, yakni arab) Namun, efek yang utama ialah filsafat india, yang kemudian merujuk pada hindu-budha. Itulah keumuman manusia nusantara, juga manusia jawa, sebab populasi yang besar dari nusantara ialah pulau jawa. pulau jawa jadi andalan manusia nusantara, itulah faktanya. 


2018

Belum ada Komentar untuk "Pendahuluan Masuknya Modernitas Wargomulyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel