Fokus Negara
Sabtu, 03 Februari 2018
Tambah Komentar
Saat saya mulai focus — gayane focus, padahal itulah kesungguhan yang saya alami — dengan kajian Negara (tentu, maksudnya dalam hal ini berkaitan tentang Kiai Sayyid Qutb. Sebuah tawaran dari Pak Haidar tatkala saya meminta judul kepadanya. Entah mengapa beliau memberikan judul itu kepada saya; yang jelas, ternyata, gaya-gayaku agaknya ‘meniru’ bukan meniru, agak bergaya seperti halnya Sayyid Qutb. Kurang tepat juga kalah dikatakan ‘seperti’ sebab melihat backgrone apa-apa yang melanda Sayyid Qutb, atua sejarah dirinya tatkala masih muda berbeda dengan saya.
Hal itu pun terjadi, karena saya berada di Negara Indonesia, sementara Sayyid Qutb berada di Mesir. Namun kategori atau kebermulaannya yang menyukai islam, atua berada pada lingkungan islam –ini kalau dicaplok secara garis besar—masa sama; kami sama-sama berada di lingkungan islam, perbedaannya, lingkungan keislaman Sayyid Qutb lebih kental, karena backgrone orang mesir, tentunya.
Lalu sama-sama menyukai al-quran, walau pun dalam taraf suka saya sangat tipis. Masih sangat tipis sekali. Sebab sekedar menyukai, hal itu pun terjadi karena terbiasa dengan membaca alip-bak-tak dan saya berada di pondok pesantren. Yang kemudian, sama-sama dari dunia sastra. Dari dunia sastra, maksudnya lebih cenderung dari sastra; setidanya saya mengalamilah proses bersasrtra, proses berakta-kata, sibuk dengan diksi-diksi dan sibuk didunia fantasi.
Walau pun sastra saya tidak pernah dipublikasikan kepada media; artinya, tidak layak jual pada media. Tidak terpampang di toko buku, mungkin belum. Tidak terpajang di Koran-koran atau majalah, mungkin juga belum. Namun keberbacgronanan sastra dan menyukai al-quran dan juga agama islam itulah yang setidaknya mempunyai kesamaan; walau puns ebenarnya banyak juga kaum muslimin yang statusnya berbackgrone sastra, menyukai al-quran dan berislam. Namun, agaknya dipilihkannya judul itu buatku ialah laksana membaca diri sendiri lebih kencang. Ya, agaknya begitu. saat saya membaca sayyid qutb, agaknya saya seakan membaca saya pada versi lain. penting diketahui, seakan. Ya, seakan.), yang terbesit malah sejarah Negara Indonesia. Negara Indonesia menjadi ukuran yang penting diketahui, dan akhirnya ditelusuri, yang lama-lama, dari sini, saya mulai mengenal tokoh-tokoh pemikir Negara di negeri Indonesia, seperti Nasir, ketua Partai Masyumi, Cokroaminoto, ketua partai Sarikat Islam, dan tentu saja, KH. Ahmad Dahlan, dan tidak ketinggalan juga dari kalangan Nahdatul Ulama.
Perlahan-lahan, saya persis di godog ketidak-tahuan yang dalam tentang semuanya itu. mendadak, terkesan terbodohkan dan saya tertuntut ‘keras’ untuk membaca. maksudnya tertuntut itu, sesekali saja pemikiranku tertuntut untuk membaca, karena pada dasarnya juga saya juga tidak hobi-hobi sangat dengan membaca; agaknya, kecenderunganku ialah tentang realitas dan sesuatu yang menampak secara fakta dan saya mengalami itu. Namun sesekali otak saya laksana menegang dan diajak untuk bergeliat pada suatu diksi yang itu di sebut: Negara.
Tentu dalam hal ini, kaitannya dengan Negara islam. sebab, tema yang bakal kuangkat ialah sosok yang dikenal dengan tema keislamannya. Kiai Sayyid Qutb. Maka secara otomatis bakal berkaitan erat dengan politik atau percaturan ‘pengurusan’ orang-orang banyak, yang terlibat dengan orang-orang yang terkesan besar, dan pemikiranku seakan-akan laksana keren.
Padahal, secara fakta; saya sekedar, ya, sekedar manusia yang tidak taat system, manusia yang gagal menuju tangga-tangga pengetahun, manusia yang sering dibayangi oleh impian-impian atau ide, atau lebih tepatnya, manusia yang suka beride. Menyukai berpikir.
Yang faktanya, secara fakta, kini harus terjun menjadi fakta-fakta, dimana keadaan fakta menuntutku untuk menjadi lebih fakta, tentu saja, alasannya karena ketidak-mapananku terhadap system, wal-hasil saya tidak termampankan soal kedudukan bagi dunia-fakta, kecuali sekedar mengikuti fakta-fakta yang terjadi.
Dan pada akhirnya, persis mengikuti system-sistem yang telah ada. Sekali pun, seringkali aku melihat system-sistem itu tidak tepat: ini bukan soal sistemnya yang buruk, melainkan pejalan sistemnya yang buruk. Artinya orang-orang yang menjalankan system. Pikirku, ketika orang mengetahui bahwa banyak orang yang tidak-tepat dengan system, mengapa juga system itu masih dipertahankan, atau setidaknya system itu mestinya diubah yang tujuannya sesuai dengan kapasitas orang-orang yang menjalankan.
Selain itu, sebenarnya (ah mohon maaf jika banyak sebenarnya. Karena itulah kekomplekan keadaan, yang laksana menganjurkan untuk membenarkan terus menerus; termasuk seting pemikiranku) focus Negara yang dimaksud ialah bayang-bayang tentang Negara yang itu pandangan Sayyid Qutb di dalam pemikiranku, alasannya; karena itu tugas fakta, tugas untuk mendapatkan gelar sarjana. Yang kemudian, berefek pada pemikiranku untuk memikirkan Negara. Negaranya siapa? Tentu saja, negaranya diriku; artinya, lha wong saya saja, mengatur diri sendiri saja masih kepayahan, begitu-begitu memikirkan Negara yang besar, apalagi memikirkan status keislaman yang total, apalagi dengan ide supra-nasional.
Bagiku, hal itu terkesan sangat ironis, gayanya memikirkan sekelas Negara, padahal memikirkan diri sendiri kepayahan, begitu saja mau memikirkan sekelas Negara; apalagi sekelas dunia.
Memang, pada dasarnya memikirkan tentang ‘gelarku’ namun pada akhirnya, bagiku, cara mudah untuk memahamkan apa yang dipahamkan harus memasuki apa yang disiratkan itu; artinya berimajenasi kehadiaran. Mengadakan diri (di tempat yang tidak ada; mungkin sekedar penonton, atua penyaksi) pada apa yang hendak dipahami. Itulah pemikiranku. Payahnya kadang harus seperti itu.
Demikian dulu, cerita tentang Negara.
Belum ada Komentar untuk " Fokus Negara"
Posting Komentar