Kata-Kata Filasafat
Minggu, 04 Februari 2018
Tambah Komentar
Sekali pun sekarang, kesibukanku ialah masih menjadi pelajar yang itu belum selesai tingkat awal, dan berkesibukan di sawah, tandur, ndaud, namping, mompon, nempah, dan kemudian aktifitas harian menjalani ibadah di masjid atau mushola yang itu sekelas desa, namun tetap saja, saya ini pelajar filsafat. Pelajar filsafat yang lintas pembacaannya, mulai dari era klasik, yakni era kuno, era sebelum tahun masehi di adakan—sekarang kan, tahun Masehi, nah kajianku sebelum masehi itu ada-- bahasa lainnya, pelajarannya itu lintas pembacaan yang jauh, jauh sekali ke belakang, malah-malah, mampu lebih jauh era era yunani klasik, bahkan mempertanyakan tentang asal-usul keberadaan; dan mengapa semua ini menjadi ada. bagi ranah filsafat, itu disebut kajian ontology. Artinya, ketika mulai memasuki ranah-ranah ontology, maka disitulah membicarakan (membayangkan, mengangankan, merenungkan) tentang sesuatu yang itu ada.
Ya, sekali pun sekarang, kesibukanku ialah menjadi pelajar mahasiswa yang itu belum selesai tingkat awal, dan berkesibukan di sawah. Namun, saya ini pelajar filsafat. Yang mana kajiannya, jauh sebelum keberadaan agama hindu-budha di nusantara, sebab keberadaan hindu-budha di nusantara kalau diamat-amati (bacalah buku sejarha tentang itu) maka itu terjadi sekitaran 200 Masehi. Nusantara masih berpola kerajaan-kerajaan sebagaimana keumumanan di daerah-daerah yang lain, yakni daerah-daerah selain nusantara.
Masih berpola-pola kerajaan. Sebab, ketika memasuki era 200 masehi, maka di saat itulah mulai terjadi efek-efek dari gerakan Nabi Isa as, yang itu berada di eropa. Eropa, sejauh ini menjadi ukuran untuk ketotalan, sebab dengan keberadaan eropa, dengan pengetahuan yang diusung eropa, hingga pada akhirnya, orang-orang dari Eropa sampai juga di Nusantara. Era itu disebut era kolonisasi. Tepatnya, manusia eropa mulai bangkit dari peradaban, yang sebelum itu laksana ditekan kuat-kuat oleh zaman teosentris.
Penting diingatkan, bahwa totalitas pergerakan pemikiran dibagi menjadi empat: pertama, era kosmosentris. Yakni model-model manusia berpikir yang itu berisbuk ketat tentang keberadaan semesta, dan lain-lain.
kedua, era teosentris, yakni model pemikiran manusia tersibukkan atau memfokuskan pada era ketuhanan. Hal itu, tentu saja, keterpengaruhan besar Nabi Isa as yang ada di eropa. Setelah itu, di tahun 600 Masehi, Nabi Muhammad Saw, hadir, dan bahkan gerakan keislaman itu sampai juga menyentuh eropa, maka semakin bertambahlah era teosentris. Hanya saja, keberadaan agama islam itu menyukai pengetahuan, maka selain kekuasaan di sana juga ada tawaran tentang pengetahuan. Bersamaan dengan itu, di era kerajaan Bani Abbasiah, tepatnya di masa Khalifah Al-Makmun, di sana ada proses penerjemahan karya-karya Yunani; bersamaan dengan itu, orang-orang eropa mulai terbangunkan dari ‘ketiduran-pengetahuan’, maka dari masa itulah orang-orang eropa mulai bangkit, itulah yang disebut kebangkitan kembali tentang sains (renaisanse), yang bersamaan dengan itu, akhirnya mengalahkan teosentris. Perlahan-lahan, kebangkitan itu, menjadikan gerakan-gerakan yang kemudian menyerang teosentris. Jadilah pemikiran mereka mulai berfokus pada yang ketiga,
yakni antroposentris, yakni model pemikiran manusia yang menyibukkan tentang kemanusiaannya. Sangking sibuknya dengan kemanusiaan, bangsa-bangsa eropa, yang kemudian melahirkan produk-produk baru, seperti produk technology (itu tentu berasal dari gerakan sains), maka jadilah orang-orang mulai bergeser menjadi manusia-manusia yang semakin maju dengan keperteknologiannya. Bersamaan dengan itu, orang-orang eropa, mulai ‘agak’ menjelajah tempat-tempat yang layak dijelajah; pejelajahan tentu awalnya menggunakan kapal demi kapal. Yang bersamaan dengan itu, tentu saja pola kehidupan semakin berubah; yakni keberadaan bos-bos yang mengatur tentang kemanusiaan, mengatur tentang keteknologian dan memproduksi hal-hal yang berkaitan dengan technology. Dalam perspektif sociology, maka ini menjadi pergesaran manusia: yakni menjadi manusia produski industry. Sebelumnya, pola manusia yang sibuk dengan manual, di saat inilah, manusia mulai sibuk dengan mesin. Inilah masa-masa keberadaan mesin demi mesin, alasannya; karena pengetahuan sudah sangat postivistik dan sangat rasional. Bersamaan dengan itu, para pemikiran eropa lainnya ada yang memprotes. Bahwa manusia sudah semakin sangat-sangat manusiawi, sangking manusiawinya manusia lalai dengan tuhan. Lalai dengan teology menuju technology.
Dan keadaan dunia, semakin ramai dan sibuk dengan arah-arah technology, itulah zaman sekarang, zaman dimana sekarang kita berada; dan orang-orang barat, telah mengetahui itu dan telah memprediksi tentang keadaan yang bakal tersibukkan, yakni pada tataran:
Logosentris, yakni sibuk pada logo, pada kata, pada bahasa. Itu sebabnya, pada masa ini, ada juga aliran yang kencang-kencang memfokuskan diri, yakni pada bahasa. Dan hal-hal yang menampakan lainnya, tentang logo, tentang merk, tentang tanda demi tanda. Bersamaan dengan itu, alur-alur sejarah keberadaan tetap saja terjadi dan bersamaan dengan itu, maka terjadilah era sekarang ialah era totalitas dan umpuk-umpukan perihal keperdataan.
Dan ketika Indonesia mulai ada, yakni tahun 1945 Masehi, yang pada waktu itu memproklamirkan kemerdekaan, telah memasuki era logosentrisme juga. Perbedaannya, Indonesia itu penduduknya tidak sepadat penduduk yang ada di eropa. Penduduknya belum seramai seperti seakrang ini; sebabnya, tentu tentang situasi zaman yang dulu, era kerjaaan, masih ada peperangan, yang dengan itu, maka populasi pengurangan manusia bakal terjadi secara masal dan besar-besar, sementara di saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, di saat itu, ketotalan dunia telah menjadi Negara demi Negara. Satu persatu kerajaan mulai tergusur. Bahkan kerajaan-kerajaan islam pun mulai sirna; pikirnya, eranya ialah era kedamaian. Era perdamaian. Maka seluruh keberadaan menjadi pola-pola kedamaian.
Namun bersamaan itu, maka musuh terbesar di era sekarang ialah tentang diri sendiri. Sebab keadaan telah damai. Sekali pun masih juga ada politik dan gelegat gerakan yang menawarkan untuk senantiasa mengajak peperangan, missal di Palestina, konflik yang berkepanjangan. Era kedamaian, maka musuh utama ialah diri sendiri; diri sendiri yang ditawari oleh keberlimpahan materi, dan tawaran tentang penampakan, tawaran tentang keduniaan, dan tawaran tentang kepenjajalan atau jalan-jalan, itulah zaman sekarang terjadi. dan begitu juga, yang terjadi pada Indonesia di masa kini.
Indonesia yang dulunya ketertinggalan, di zaman internetan begini, di zaman keterbukaan, maka Indonesia berupaya untuk mengikuti gerakan zaman, tentu saja ukuran di sini ialah bangsa eropa. Sebab, sejak keruntuhan teosentris, maka kemenangan ada pada logika atau rasio, sementara tawaran agama ialah rasa atau berketuhanan, dan tawaran rasio senantiasa mengarahkan untuk sesuaut yang itu sangat-sangat bernalar dan sesuai dengan pemikiran. Itulah tawaran rasio.
Ya. Ya! Ya! Sekali pun hari-hariku lebih banyak sibuk di desa, dan status utama menjadi mahasiswa tingkat awal, itu pun belum selesai, namun saya itu pelajar filafat. Pelajar yang membaca sejarah yang jauh, sejarah yang tua. Memang, aktifitasku laksana sibuk pada keluarga, desa, dan sekelas perdesaan, dan paling banter mempunyai teman. Namun saya mampu menulis, saya mampu meracik kata, sekali pun racikan kata-kata lebih cenderung tentang curhat, lebih cenderung subjektif, tetap saja, saya dikaruni kekuatan, yakni berkata-kata. demikianlah, si petani mulai menuangkan renungannya. Renungan yang dibatasi tentang filsafat. Dan kapan-kapan, mungkin, akan lebih kompleks dan lebih total. Pikirku, inilah yang upyek di dalam pemikiranku, dan saya menuangkan itu menjadi kata-kata.
Jika ditanyakan, mengapa kau sertakan realitasmu pada lintasan sejarah, sejarah filsafat misalnya?
Jawabku, karena aku pun bakal menjadi yang bersejarah. Lebih-lebih, saya pun merasa bosan dengan ‘logosentris’ dan berpikir, bagaimana keluarnya? Jawabku, cara keluar ialah menjadikan logosentris ke ara aksinya logosentris. Lagi-lagi, ternyata untuk aksi di zaman logosentris, teramat payah, sebab zamannya telah menjadi ketotalan.
Namun, saya menyapakati Prof. Ahmad Tafsir, bahwa dunia itu diwarnai dua hal, yakni agama dan filsafat. Dan secara fakta, saya berada pada kedua hal tersebut. sekali pun sama-sama tidak fokusnya pada dua tersebut, tetap saja, saya berada pada kedua hal tersebut. demikian.
Belum ada Komentar untuk " Kata-Kata Filasafat"
Posting Komentar