Memikirkan Negara Indonesia, Memikirkan Diriku Sendiri

Saat saya diberi judul analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan sayyid qutb (maksudnya diberi itu, saya meminta, lalu dikasih. Dikasih Pak Haidar) malah-malah, saya persis mengaduk-aduk pembacaan acak-acakanku, yakni pembacaan ketotalan tentang pembacaanku: apa itu, tentu berkaitan dengan sejarah. Sejarah yang dalam, sejarah yang jeru (terkesan mikire jeru. Jawabku, wajar, karena saya pelajar filsafat. Tentu bakal disodori sejarah yang panjang, sejarah yang larut, yakni sebelum masehian. 

Lebih-lebih pertanyaan-pertanyaan filsafat itu sangat-sangat mendasar: 

  • dari mana ilmu itu berasal (epistemology)? 
  • Apa itu keberadaan yang sesungguhnya (ontology)? 
  • Lalu, untuk apa semua itu (tentang nilai: yaitu aksiology)? 


Bersamaan dengan tiga kata kunci itu, dan dikenalkan tokoh-tokoh klasik dan daerah-daerah klasik, seperti yunani kuno, india kuno, cina kuno, nusantara kuno. Maka sudah pasti pemikiranku jeru. Pemikiranku turut mendalam. Ahaha). Ketotalan pembacaanku ialah semuanya. Persisnya, pak haidar, sekali lagi, laksana menyentuh ‘pemikiran dasarku’ yang kemudian terfokus pada negaraku sendiri. Yaitu diriku sendiri. Lha wong, sekarang, diriku sendiri, secara fakta, masih ngap-ngapan untuk menerima realitas.

Renyeknya diriku terhadap realitas. porak-porandanya diriku secara realitas. ketidak-fokusanku terhadap pengetahuan. Kalau digamlangkan maka begini: diriku yang semakin dituntut untuk kerja secara realitas, diriku yang mulai dituntut untuk berkeluarga, diriku yang dituntut untuk menjalin kehidupan yang fakta (tidak melulu ide-ide) dan diriku yang hidup dengan ‘tanggung-jawab’ yang harus ‘ditanggung-jawabi’ artinya, menempatkan kedudukanku. Artinya, harus selesai kuliah dulu. Baru, terserah mau ngapain: menikah, mencari kerja, bekerja dan menjadi manusia seperti pada umumnya. Intinya lulus.

Malah-malah di suruh memikirkan Negara, lebih-lebih harus dianalis-kritis. Ditambah lagi, sebelum ini, pada jenjang perkuliahanku, analisis-kritis ini masih begitu asing bagi daya ingatku—ini kejujuran yang sangat, bahwasanya saya tidak tersistem terhadap pengetahuanku; artinya sesuatu yang terbaca sekedar lintasan dan tidak tertanam dibenak pemikiranku—namun apalah daya, karena terasa asing, dan dilalah juga, pemikiranku laksana penasaran: maka saya mencarinya. Dan ternyata, semakin mencari, semakin membaca, lho kok jadinya semakin asyik. Pemikiranku mendadak terkesan tersistematiskan. Thank you yo, Pak Haidar. Hehe

Bersamaan saya mulai ‘menyentuh’ kenegaraan pandangan Sayyid Qutb, maka saya mulai membaca tentang sejarah Nusatara. Bersamaan dengan itu, maka pemikiranku mulai membaca asal-usul Negara: Negara yang itu secara total yang ada di Dunia, tepatnya: bagaimana peralihan dari era kerajaan-kerajaan menuju Negara-negara. 

Lalu mengerucut lagi, pada sejarah Negara Indonesia. karena terpayahkan untuk ‘memahamkan’ sejarah Indonesia pada pemikiranku, maka saya memulainya dari desaku, sebab desaku itu ada 15 tahun sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1930 Masehi, artinya saya mulai mengenang kenang tentang mbah-mbah buyutku dan perjalanan waktunya. Lalu kembali lagi pada diriku, diriku selaku individu sebagai pelaku terkecil pelaksana dari Negara, lalu pada keluargaku, dan kerabat-kerabatku. 

Lalu merujuk kepada keislaman (sebab pemibacaan ini berkaitan dengan keislaman: kehendak yang ditawarkan Sayyid Qutb yaitu tentang Negara Islam): keislaman yang menjadi ukuranku ialah keislaman di era Kanjeng Nabi Muhammad, lalu saya padukan dengan keislaman yang saya jalani. Dan ditautkan dengan keislaman yang ada di Nusantara: lalu hubungannya dengan kepesantrenanku. Maka jadilah, pemikiranku mbulet. Muter. Mubeng. Dan intinya: tentang Negara.

Tentang Negara yang perlu dikritisi. Dan alat untuk mengkritisi tersebut ialah diriku. Diriku yang berlaku sebagai pelaku Negara, dan berada di Negara yang itu ada keislaman; dan mengikuti kegiatan-kegiataan keislaman, dan tentu saja mengacu pada kemanusiaan dan daya pikir kemanusiaan, yakni kemanusiaanku: lebih-lebih mengukur tentang ‘dari’ lingkungan apa aku berada: pengetahuan apa aku tercipta. Yakni, pengetahuan yang itu sudah berbaur dengan sekolahan dan sore, magrib mengaji. setelah itu, tentu saja saya melihat Negara Indonesia: alih-alih gayanya, mengkritisi Indonesia, yang itu dengan gaya demokrasinya: 

apa yang kurang? apa yang tidak tepat? 

Pikirku:

Andai setiap pemimpin menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, tidak mencuri uang rakyat. Dan benar-benar mau mengurusi rakyat. Di tambah lagi, dengan perannya para Kiai yang itu menasihati dan terus mengajari ilmu agama: apa salahnya dengan demokrasi. Akhirnya, demokrasi itu baik kok. Demokrasi itu bagus kok. Maksudnya, jika para Kiai itu mempunyai pengaruh yang besar, maka tentu saja, mampu menjadi teo-demokrasi. Lebih-lebih, landasan Indonesia itu ialah manusia beragama. oh tentu saja, kalau ‘keagamaannya’ itu berlaku kuat-kuat, maka yang terjadi tentu saja bisa baik-baik saja. namun fakta yang terjadi, seringkali manusia Indonesia, mendapatkan berita yang itu pemimpinnya kurang baik. Pemimpin itu kurang baik. Mungkin tergoda akan keduniaan, tergoda akan ‘kekuasaan’, tergoda akan ‘uang’, tergoda akan hawa nafsu, maka jadilah seperti yang tersiar di media-media itu. itulah pembacaanku: sekian.

Belum ada Komentar untuk " Memikirkan Negara Indonesia, Memikirkan Diriku Sendiri "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel