Antara Islam di Indonesia dan Islam di Mesir

Saat saya sekali lagi membaca tentang Ikhwanul Muslimin (Ini karena rencana skripsi saya berkaitan dengan analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan Sayyid Qutb: maka ‘pola’ pemikiran saya, seakan-akan kok ingin tahu asal-usul pembentukan pemikiran dari Sayyid Qutb, artinya, pemikiran saya seperti menghendaki dan berkata: kalau kau ingin mengetahui Sayyid Qutb, tentu saja kau harus tahu tentang organisasi yang dibawa Sayyid Qutb. Kalau kau secara tiba-tiba memandang Sayyid Qutb, tanpa harus mengerti latar belakang yang membentuknya, maka tangkapanmu tentu saja kurang sempurna, artinya kurang menyeluruh. Dan ketika tangkapanmu telah menyeluruh, maka kau akan mampu menilai pemikiran Sayyid Qutb itu dengan bijak. Intinya, saya laksana terdorong untuk mengetahui itu secara detail dan teliti. Sekali pun ini masih tahap skripsi, hawanya kok seakan-akan penelitian ini kayaknya bukan sekelas skiripsi. Nasib-nasib), tepatnya saya membaca buku tentang Ikhwanul Muslimin, yang dikarang oleh Dr. Ali Abdul Halim Mahmud. Dengan sub judul ‘konsep gerakan terpadu’. Lagi-lagi, apa yang ada di dalam pemikiran saya. Begini:

Saya itu manusia Indonesia (manusia nusantara) yang hidup di kalangan Nahdatul Ulama (modelnya begitulah) yang sejak kecil sudah berinteraksi dengan islam khas nahdatul ulama, dan itu pun terjadi karena orang tuaku ialah orang tua yang mengikuti itu. orang tua yang biasa saja, sekedar menjalani apa yang dianjurkan kiai kampung. Kiai kampung, yang kemudian di saat adanya islam yang berlambang: maka lambangnya ialah Islam NU, karena pada saat itu ada yang lainnya, yakni Islam Muhammadiyah. Intinya, saya dari islam NU: yang kemudian, mondok di pesantren yang itu sarat dengan NU dan tradisi NU.

Payahnya, saya tidak gemar membaca yang sangat. Dan sekarang, karena saya dituntut untuk skirpsi, yang itu judulnya selalu menempel (analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan Sayyid Qutb) maka saya mulai rajin membaca –membaca yang itu lebih rajin dari biasanya, dan itu lebih terfokuskan pada sekitaran tema: sebab, biasanya saya membaca yang itu agak teracak. Acak-acakan—lebih-lebih sekarang: membaca Ikhwanul Muslimin. Melihat Anggaran Dasar, beserta konsep-konsepnya. Seketika itu saya merasa terbelalak: wah saya agak payah ini, lha saya ternyata belum membaca tentang NU secara total. Belum membaca konsep-konsep NU secara total. Belum membaca buku panduan NU secara total. Kok sekarang malah saya membaca Ikhwanul Muslim secara total (sekali pun belum total, masih acak-acakan juga).

Artinya, dalam pembacaanku ini, tertempel: Nusantara.

Saat organisasi Ikhwanul Muslim itu berdiri (atau ada) di Nusantara pun telah ada: jika saya berusaha untuk menganalisis pandangan kenegaraan Sayyid Qubt, yang itu dari organisasi Ikhwanul Muslim, agaknya di tubuh oraganisasi NU atau Muhammadiyah, pastilah ada yang berkaitan dengan kenegaraan. Atau malah sebelum itu, yakni organisasi Sarekat Islam. Atau organisasi islam-islam yang lain yang ada di Nusantara.

Malah seketika terlintas begini, perbandingan (komparasi) antara mesir dan Nusantara, antara Islam di Timur Tengah dan Nusantara:

Di Nusantara, saat di Timur Tengah mengadakan (atau teradakan) Khilafah, maka di Nusantara, tahun itu, juga ada kerajaan-kerajaan Nusantara. Namun agaknya, sejauh pembacaan acak-acakanku, Nusantara tidak turut serta pada kekhalifahan yang terpusat di Timur tengah, kesannya, kerajaan yang ada di Nusantara itu berdiri sendiri, hal itu terjadi karena mengikuti pola kerajaan sebelumnya, yakni Hindu-Budha. Bila pun ada, yang agak kenceng (Atau dapat dikatakan manteb) maka yaitu berada di Aceh Darussalam: yang bahkan dikenal dengan Serambi Mekkah. Sebab, konon, tentu saja menurut pembacaan acak-acakanku, di Mekkah terdapat system kerajaan yang sangat kuat dan ketat dengan syariat islam. hal itu diperkuat dengan banyaknya ulama-ulama yang ada di aceh, termasuk ulama-ulama ahli tasawuf (yang dikaji pada kelas-kelas tasawuf seperi Hamzah Fansuri) yang itu turut serta pada kerajaan. Sementara di Jawa, itu didekengi kuat oleh para wali (dengan sebutan wali songo: yang itu juga, keturunan Para Nabi) namun di jawa, sejauh pembacaan saya (tentu pembacaan acak-acakan: atau saya menulis ini, tidak teringat pada memori saya terhadap apa-apa yang telah saya pelajari dan saya baca) tidak se-sariat yang ada di Aceh. Di Jawa lebih lentur di banding di Aceh.

Sekali pun begitu, di Nusantara, terdapat pondok-pondok pesantren. Dan saya malah tidak mengingat, sejarah keberadaan pondok pesantren itu sejak kapan: atau jangan-jangan, keberadaan pesantren itu meneruskan ‘pesantren’ atau padepokan yang diajarkan oleh ‘pendeta’ atau ahli-ahli agama dari bekas kerajaan hindu-budha, sebab, agaknya, asal-usul pesantren itu dari kata santri. Yang berarti, orang yang mengkaji kitab suci. Dan saya di sini juga akan menambahi, sekali pun agaknya orang-orang dulu ‘laksana’ meneruskan ‘ahli-ahli’ agama orang hindu-budha, namun ternyata, pada potret kanjeng nabi juga persis ‘pesantren’ yang mana: di dekat Rumah Nabi, Masjid, dan tempat para pencari ilmu (Ahli Suffah). Bukankah begitu, potret dari pesantren yang ada sejauh ini: ada rumah kiai (ndalem), masjid, lalu tempat tidur para santri.

Dan bersamaan dengan keberadaan kolonialisme yang menyebar di tanah Nusantara, bersamaan dengan itu kerajaan-kerjaan islam di Nusantara mulai melemah, maka orang-orang Islam di Jawa, mulai membicarakan keadaan tempatnya, yang kini mulai terjajah, maka membentuklah organisasi-organisasi. Termasuk keberadaan organisasi-organisasi keislaman, seperti Sarikat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan juga NU. Yang mana, tentu saja, saat mendirikan organisasi, di situ mempunyai aturan-aturan dan rencana-recana, atau pembuatan konsep-konsep. Artinya, membuat lingkaran-lingkaran untuk keselamatan.

Lalu hal itu terjadi juga di Mesir dan Timur Tengah. (Sebenarnya saya hendak menyampaikan begini: saat posisi dunia keislaman, mulai disentuh eropa atau kolonialisme, yang kemudian, berserta runtuhnya Khalifah Usmaniah di Turki. Maka disitu, bangsa islam mulai geger: khususnya Jazirah Arab. perlahan-lahan, Jazirah Arab mulai membicarakan tentang keislaman; maka diadakanlah perkumpulan-perkumpulan keislaman. liga islam, dan liga arab) lebih-lebih, di jazirah arab ‘persisnya’ (tentu ini penangkapan saya) terdapat upaya untuk kekuasaan islam, yang perlahan-lahan di kuasai oleh kolonialisasi. Dan di sanalah, organisasi Ikhwanul Muslimin mempunyai kekuatan, yakni kekuatan semacam politik. Sebab, lamat-lamat, yang awalnya gerakan ikhwanul muslimin itu berkaitan dengan pengajian, atau pengajaran, lamat-lamat turut serta pada ‘gerakan perpolitikan’: temannya siapa? (maksud teman ialah jika di Nusantara ada Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU: dan entah apa lagi) Perguruan tinggi al-Azhar. Kira-kira begitu, itu pun pengakapan saya. (Lagi-lagi, arah tulisan saya ini sebenarnya berkaitan dengan analisis kritis terhadap pandangan kenegaraan Sayyid Qutb, dan untuk mengetahui secara ‘sempurna’, maka saya harus melihat dari tujuan dan organisasi yang menampung itu). perbedaan antara Al-Azhar dengan Ikhwanul Muslimin, begini:

Jika Al-azhar itu ialah perguruan tinggi, yang bahasanya formal. Sementara gerakan Ikhwanul Muslimin itu, ialah organisasi kemasyarakatan, atau pengajian. Yang kemudian, membuka cabang demi cabang. Kalau di Nusantara maka, sebagai contoh, Muhammadiyah, yang mempunyai cabang demi cabang.

Ringkasnya, organisasi ikhwanul muslim mempunyai keputusan sendiri terhadap perpolitakannya pada jazirah arab, sebab organisasi ikhwanul muslimin itu telah banyak pengikutnya, telah banyak jamaahnya.

Sementara itu, di nusantara. Saya sebutkan di sini, tiga: karena yang lain, belum tercantol benar, atau belum tersimpan pada memori penangkapan saya (tentu saja, kalau di nilai: ilmu sejarah kebudayaan islam yang ada di Nunsantara. Nilai saya buruk. Mungkin dapat, 3. Ah nilai yang kecil.) ada kelompok Sarekat Islam (yang ini berorientasi pada kaum pedagang yang ada di Nusantara. Mengapa demikian? Karena manusia nusantara di ‘serang’ oleh kuasa-uang, maka lawannya ialah ‘penguasaan-uang’. maka dalam ini, ialah perkumpulan orang-orang dagang muslim yang ada di nusantara), kemudian organisasi Muhammadiyah (yakni organisasi yang orientasi utamanya tentang gerakan pendidikan, yang itu ‘pendidikan’ menyesuaikan ‘orang-orang barat’: artinya bergerak pada pendidikan dan modernisasi manusia. mengapa? Sebab, orang-orang kita ‘diserang’ karena ketidak-tahuan. Maka jawabnya: kita harus tahu. Dan model pendidikannya, ialah pendidikan modern. Sekolahan.), lalu NU (basic dari NU ini ialah perkumpulan kiai-kiai dari pondok pesantren yang khas desa-desa. Kaum-kaum tradisonal. Yang tentu, menyesuaikan dengan alam nusantara. Maka cangkupannya, ialah orang-orang desa atau pelosok-pelosok; dan itu, tentu saja, dipimpin-pimpin oleh kiai-kiai dari pondok pesantren) artinya, awalnya di Nusantara, gerakan dari ‘terkaman’ kolonialisasi, di hadapi dengan cara lembut, atau berusaha ‘mempertahankan diri’ bahwa kita ialah pemilik tahan ini: Nusantara.

jika diberi tahun, maka keberadaan (kemunculan) organisasi-organisasi itu begini:

Sarekat Islam (1905 Masehi)

Muhammadiyah (1912 Masehi)

NU (1926 Masehi)

IM (1928 Masehi)


Demikianlah, curhatan saya.

Belum ada Komentar untuk " Antara Islam di Indonesia dan Islam di Mesir "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel