Status Orang Jawa; Apa Makna ‘orang jawa’ di Zaman Modern? Study Kasus Di Desa Wargomulyo







Status Orang Jawa; Apa Makna ‘orang jawa’ di Zaman Modern? Study Kasus Di Desa Wargomulyo

Saya membahas ini—atau sebenanrya, penelitian ini adalah sekedar penelitian yang bersifat subjektif dan disertai pengalaman saya sendiri sebagai orang jawa— dan metode yang saya gunakan adalah analisis sosiologis-filosofis, yakni secara mendalam, universal, menyeluruh.

Sejarah Singkat Desa Wargomulyo

Desa wargomulyo tersebentuk sekitar tahun 1930 masehi, yang luas wilayah (tidak ada bukti, atau gambar: dan saya akan menguraikan lewat teks, bahwa luas desa wargomulyo,) perbatasan-perbatasan awal desa wargomulyo: kerbang, bulak gunung sari, sukodadi, sukorejo. Yang kemudian, saya ringkaskan kajiannya pada sekitar daerah desa wargomulyo. Yang sekarang, telah dibagi menjadi tiga kampung, pujodadi, sukorejo dan wargomulyo.

Pada era kolonial, sekitar 1930 masehi, serombongan Mbah Nawawi, pindah dari jawa tengah (desa walet, kutoarjo, purworejo) ke kecamatan pardasuka, lalu menebang pohon demi pohon, dan belukar-belukar pepohanan guna dijadikan lahan untuk diolah (karena memang status kekuatan umum Indonesia atau nusantara pada waktu itu, adalah tanah sebagai ajang utama manusia nusantara) maka bersamaan dengan proses-kehidupan mereka, terbentuklah ikatan sosial, yang pada awalnya masih agak kental dengan nuansa jawa. Karena mereka berasal dari jawa.

Kehidupan mereka, masih sarat dengan pendidikan yang ada pada era mereka di jawa, paling mentok sekolah rakyat, itu pun kalau mereka berstatuskan atau mempunyai status kraton atau orang besar dalam arti pemerintahan. Jika pun mereka tidak mempunyai status bagus dari asalnya, maka pendidikan yang mereka terima adalah pendidikan agama islam.

Sebab pendidikan agama islam berbeda dengan pendidikan yang telah mboming bagi kalangan yang berkelas.

Sebagaimana kita ketahui sejarah-pendidikan, maka pendidikan formal (yang sekarang dikatakan formal adalah jika mereka melalukan hari-hari pada lembaga pendidikan untuk mengethaui hal-hal umum;) gaya pendidikan barat, yakni ilmiah. Khususnya gaya pendidikan orang eropa.

Sementara mereka, para kaum transmigran berpendidikan non formal, yang diajarkan pada mushola-mushola atau langgar-langgar, atau pun kalaulah diberikan pendidikan layaknya aksara jawa, maka itu pun sebagian saja yang menerima hal tersebut.

Ringkas kata, pendidikan yang mereka terima adalah pendidikan sosial, atau realitas yang terjadi bagi masyakat jawa pada umumnya, yakni mendengar dongengan dan pelaku hidup, yang diajari oleh orang-orang tua, yang mana orang tua tersebut diajari dari masjid atau langgar. Kemudian menularkan kepada putera-puterinya.

Yang kemudian, dapat diperkirakan bahwa ajaran yang ditawarkan manusia-jawa adalah ajaran tentang islam, yang kemudian dikomunikasikan secara realitas kepada keluarganya, yang itu bersumber dari agama islam, yakni para ulama yang menyampaikan ilmu-islam.

Tatkala para ulama menyampaikan ilmu-islam, maka si individu tersebut menerima, lalu mempraktekan, kepada dirinya, keluarganya.

Sementara si individu, kemudian mendengarkan lagi ceramah atau pengajian dari kiai. Begitulah aturan yang ada pada struktur keilmuan manusia jawa pada umumnya. Dan orang-orang desa wargomulyo pada umumnya.

STATUS ORANG JAWA

Status mereka, kami, memang orang jawa; yang mana paling banter masih menggunakan bahasa jawa, begitulah yang masih menandakan bahwa kami orang jawa, itu pun masih terjadi karena memang keturunan orang jawa, keturanan dari tanah yang disebut sebagai tanah orang jawa.

Yakni pulau yang membujur dari pulau nusantara yang telah dikenal dengan status pulau jawa. Maka disitulah diperakukan bahwa kami orang jawa. Lebih-lebih orang-orang masih banyak yang menggunakan bahasa jawa, juga masih sebagian yang menggunakan ‘tradisi’ jawa (apa itu tradisi jawa: bagi saya mulai agak kacau apa yang disebut dengan tradisi jawa, yakni kebiasaan yang turun temurun, namun faktanya, sebagian mulai sirna. Karena tidak ada yang mematenkan, apa yang disebut dengan tradisi jawa. Sudah dulu, saya enggan berpikiran tentang hal tersebut), yang seringkali diwujudkan adalah perilaku. Perilaku itulah yang menjadi rujukan bahwa begitulah tradisi jawa:

Seperti mendahulukan yang tua.

Tatkala berbicara, yang mudah lebih sopan kepada yang tua dengan bahasa boso, yakni bahasa jawa alus.

Namun, sekarang, zaman sekarang ini, bersamaan dengan keberadaan sekolah lintas nasional, yang mana menasionalkan bahasa sebagai alat pemersatu budaya, menjadi tanda-tanda keruntuhan bahasa terjadi.

Dahulunya, yang mana realitas itu sejalan dengan apa yang terjadi, sekarang, realitas mulai menggunakan bahasa Indonesia; tujuannya tekanan ‘pengetahuan’ yang itu bisa, maka caranya adalah mempraktekkan kebiasaan anak-anak, maka setiap hari anak-anak mendengar teks-teks bahasa Indonesia, sementara realitas masih menuntut untuk bahasa.

Dalam hal ini, saya sering dikatakan untuk sopan menggunakan boso, karena saya, dilalah, kurang lanyah menggunakan boso? Alasan saya, karena dalam pendidikan; yang lebih ditekankan adalah bahasa Indonesia, bahasa inggris dan bahasa arab. Sementara bahasa jowo, tidak berlaku dan itu tidak ada gunanya.

Kecuali realitas, atau kenyataan yang sebenarnya. Yang menuntut untuk menggunakan bahasa boso.

Akhirnya, saat saya menyentuh realitas atau kenyataan yang sesungguhnya: saya kelabekan karena tidak siap dengan kenyataan yang sebenarnya, terlebih lagi, karena saya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan asyik menggukan bahasa-bahasa yang itu bukan bahasa boso.

Namun sekali pun hal itu begitu, tetap saja masih dikatakan orang jawa. Karena memang, nenek moyang atau pendahulu kami dari pulau jawa, dan sejak kecil kami diajari untuk berbicara jawa. Yang sekarang, anak-anak mulai terbelah antara jawa dan bahasa Indonesia. Karena anak-anak mulai berbicara dengan bahasa Indonesia yang seringkali menggunakan bahasa jawa.



Di Provinsi Lampung, Namun Berstatus Jawa



Inilah yang lebih menjadi unik, kami berada di tanah provinsi lampung, tapi kami hampir menyeluruh orang jawa, karena kami adalah rumpun keluarga besar orang jawa, keluarga dalam arti ikatan darah; namun jarang sekali mempunyai acara-acara kejawaan, malah cenderung menggunakan tradisi keislaman; bukankah harusnya kalau kami adalah suku jawa, maka kami menggunakan acara-acara jawa, namun ternyata: teramat sulit dan payah jika mencari acara yang itu adalah acara khas jawa; bisa jadi, tidak ada acara khas suku jawa, melainkan telah membaur bersama islam. telah membaur bersama acara-acara islami, dan hal itu yang paling mencorong di desa wargomulyo—sebenarnya tatkala saya di jawa tengah pun, teramat jarang mempunyai acara yang itu terkhusus acara kejawaan. Kecuali pembauran acara islam—(bandingkan dengan suku lampung atau suku semendo: yang mempunyai balai adat) dan jawa, tidak mempunyai mempunyai balai adat, melainkan langsung menggunakan balai desa atau pemerintahan.

Sejarah Manusia Jawa

Jika kita meninjau ulang, manusia jawa, maka itu adalah manusia yang berada di pulau jawa. Seringkas itu, yang kemudian, di pulau jawa, terdapat kurun waktu sejarah bahwa orang-orang di pulau jawa pada dasarnya adalah orang-orang yang bekerja secara agraris yang termotivasi hal-hal mistis, dan orang-orang antropolog menyebutnya, agama orang-orang nusantara, yang ada di jawa adalah animism dan dinamisme; yang kemudian, saat kedatangan agama hindu-budha, maka mulai terjadi pergesaran keyakinan mistis—artinya keyakinan mistis tersebut mulai membentuk agama—menjadi hindu-budha yang kemudian menjadi kerajaan demi kerajaan.

Gaya-gaya atau pola-pola kerajaan itulah yang diterapkan, yang mana, pola kerajaan diadobsi dari adab-adab orang-orang hindu-budha, artinya, kalau hendak menelusuri tentang ‘manusia-jawa’ maka penting menelusuri tentang adab-adab hindu-budha. Yang kemudian, berjalannya waktu, agama islam datang; dan islam yang masuk ke nusantara, sebagaimana dikabarkan bahwa yang menyebarkan agama islam cenderung para wali, yang itu secara damai, tanpa ada peperangan atau korban jiwa. Atau lebih tepatnya, menyebarkan agama melalui perdamaian. Hingga kemudian diterima, dan bekas-bekas dari kerajaan itu, terpadu dalam islam; karena islam pun masih berstatuskan pada kerajaan-kerajaan. Ya, kemudian agama islam itu ada dan membanyak bersamaan dengan kerajaan demi kerajaan. Yang kemudian bersamaan dengan kerajaan itu, maka terjalinlah bekas hindu-budha yang dipadu dengan islam. dan itu terjadi, bagi orang-orang yang berada di pulau jawa. Yang awalnya menggunakan bahasa jawa.

Makna orang jawa di zaman modern

Berdasarkan data-data tersebut, maka makna jawa di zaman modern adalah mengikuti gerak-gerik zaman, yang tidak mengokohkan tentang kejawaannya melainkan menuruti apa-apa yang diperintahkan yang ditawarkan oleh orang-orang; orientasinya utama, tetap memegang tentang keagamaan-mistis, yang turun temurun, mulai dari animism-dinamisme ke hindu-budha ke islam, dan tidak menentang dengan kemajuan zaman. Begitulah orang jawa menjalani kehidupannya.

Dan sekarang, isu menggunakan basaha Indonesia, inilah isu yang besar bagi kalangan orang jawa, karena isu bahasa, yang kemudian bisa jadi, merontokkan tentang ‘tradisi’ kejawaan, melainkan menjadi keindonesiaan.

Begitulah uraianku, maka orang jawa, menjadi status kepulauan, yang kemudian menjadi nama: orang Indonesia. Demikianlah.


Belum ada Komentar untuk " Status Orang Jawa; Apa Makna ‘orang jawa’ di Zaman Modern? Study Kasus Di Desa Wargomulyo "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel