Wargomulyo dan Ikatan Keluarga





Saya menulis ini, sebagai refleksi dari pemikiran saya—sebenarnya saya juga bertanya-tanya; mengapa juga saya harus menulis ini, namun pikiranku, ini tentang realitas yang sebenarnya, karena zaman sekarang, kita sering melihat pada realitas (kenyataan) yang itu bukanlah pada realitas yang sesungguhnya; melainkan tawaran realitas yang lain, karena zaman mengajak itu seperti itu. Kita melihat realitas yang lain, lewat media-media, lewat berita-berita, atau apa-pun itu; kita sering melihat sesuatu yang itu bukan tentang kenyataan yang sesungguhnya, tapi lalai dengan realitas yang sesungguhnya; yakni berada pada desa kita sendiri, wargomulyo—atas apa-apa yang bersinggah dalam pemikiran saya, dan ini pada bentuk kata-kata; dan Taufik berkata:

Sejak era transmigrasi, sekitar tahun 1930 Masehi—sekarang tahun 2017 Masehi; dan desa wargomulyo masih berusia; 87 tahun setelah adanya desa wargomulyo—sampai sekarang, menurutku ada yang unik dari desa wargo mulyo (yang mungkin, bagi desa yang lain juga unik, namun karena desa yang lain tidak benar-benar saya amati, tentunya saya kurang mengerti) yakni ikatan keluarga.

Apa yang dimaksud dengan keluarga? Yakni, ikatan darah-darah yang membaur dari satu rahim atau karena adanya istri yang kesekian dari suaminya (Dan saya sering mendengar, bahwa orang dulu, menikah sering tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali). Yang memang, pada masa itu, belum terjadi masa ilmiah (yakni, pengetahuan ilmiah: layaknya bidan, dokter) terlebih lagi, dominasi manusia wargo mulyo adalah manusia jawa, yang mana itu beragama islam; yang mana anjurannya adalah untuk memperbanyak keturunan. Maka terjadilah anak-anak yang banyak tersebut; yang kemudian, pindah dari jawa ke lampung, yang kini mendiami desa yang disebut wargomulyo.

Mari kita kenang, tentang sejarah awal orang-orang yang bersinggah di desa yang dijuluki wargo mulyo itu, Mbah Nawawi Cs. Tidak begitu banyak orang yang datang ke wargomulyo, namun saat mulai menjadi, maka mereka menarik kerabatnya untuk hidup di lampung, atau tepatnya hidup di wargomulyo.

Tujuan awalnya, untuk mempertahankan kehidupan.

Untuk menjalani proses kehidupan.

Karena dilalah juga, di tahun 1930 Masehi (Indonesia belum merdeka; sekali pun di tahun 1945 Masehi Indonesia merdeka, daerah seluruh nusantara belum sepenuhnya ‘merdeka’, dalam artian, para penjajah atau negeri belanda masih mempunyai kuasa; karena penjajahan utama dari belanda tentang penguasaan ekonomi, atau penguasaan perdagangan; yang mana, basic pemikiran dari belanda adalah tentang materi, dan orang-orang nusantara, kurang begitu ‘memikirkan tentang materi’ karena basic orang-orang nusantara adalah keagamaan; yang mana, titik tekan agama bukan tentang materinya, tapi materi adalah alat untuk kehidupan kelanjutan, yakni akhirat), bangsa belanda mengirimkan atau membagi-bagikan manusia ke daerah-daerah yang lain (Yang mana, sebelum tahun 1930 Masehi pun, telah ada orang-orang yang transmigrasi ke lampung; hal itu bisa dilacak dengan melihat museum transmigrasi. Artinya, orang wargomulyo bukanlah orang yang pertama transmigrasi dari jawa ke lampung), dan mbah nawawi cs, terbawa arus untuk transmigrasi, yang tujuannya:

Untuk kesejahteraan kemanusiaan.

Untuk kecukupan kemanusiaan.

Maka, saat mereka mulai merasa cukup, mereka memanggil kerabat-kerabatnya; dan sejak saat itu, maka mulailah kehidupan baru di desa wargomulyo. Sampai sekarang, beranak-pinak, menjadi banyak, namun, kalaulah ditelusuri lebih lanjut: maka akan ketemu, bahwa desa wargomulyo, khususnya di desa yang sekarang berstatuskan wargo mulyo (bukan pujodadi, kampung tengah atau bahkan sukorejo) adalah sarat dengan kekeluargaan. 

Siapa Buyutmu? Disitulah kita akan bertemu. Mungkin begitu. atau kalau tidak bertemu, maka buyut kita adalah teman. 

Namun saya menggaris bawahi, bahwa keunikannya tentang ikatan keluarga yang itu ada di desa wargo mulyo. Mengapa saya katakan unik? Karena hal itu, masih terlacak! Karena hal itu terbatasi oleh status desa. 

Jika pun kita, sekarang, membaca sejarah nusantara tentang siapa asal-usul manusianya? Maka kita akan kerepotan serta kepayahan. Namun kalau kita membaca asal-usul manusia wargomulyo: maka ketemulah jawabnya: yakni Jawa. Berasal dari Pulau Jawa. 

Jika saya ditanya, berapa jumlah keluarga besar di wargomulyo?

Jawabku, secara pasti saya belum tahu. Demikian.



2017

1 Komentar untuk " Wargomulyo dan Ikatan Keluarga"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel