Wargomulyo Pun Mendapatkan Bantuan Beras Miskin (RASKIN): Bisa jadi Wargomulyo Itu Bagian Dari Miskin?






Pertanyaan dasar saya: apakah wargomulyo termasuk golongan orang-orang miskin? Apalagi miskin terhadap beras? Miskin terhadap Gabah! Miskin terhadap padi. Tapi realitasnya, Wargomulyo mendapatkan jatah beras miskin.

Mungkin ini persoalan sekelas nasional, bahwa kita kelas nasional pun berstatuskan miskin, sekali pun kita mengetahui bahwa Indonesia, negeri agraris itu, negeri yang kaya alam itu, ealah, ternyata malah mendapatkan bantuan beras miskin. Apalagi bantuan beras. Bukankah ini masalah miris dan tragisnya tentang bangsa Indonesia. Ah tapi saya kurang perduli tentang hal itu.

Faktanya, apakah orang-orang wargomulyo makan menggunakan beras-miskin itu? Atau yang disebut dengan beras dolog. Jawabannya, sejauh saya tahu—ya, sejauh saya tahu—wargomulyo memang menerima itu, tapi tidak memakan dengan makanan itu. karena wargomulyo itu, status padinya—saya pikir—banyak dan orang-orang kalau derep mampu mencukupi untuk makan dalam jangka waktu satu tahun.

Terlebih lagi, seringkali yang terjadi, beras raskin tersebut, sekedar di alur putarkan pada perdagangan demi perdangan yang diputar-putar. Wal-hasil, beras raskin difungsikan sebagai bantuan dana atau bantuan uang yang berupa beras dan orang-orang wargomulyo –bahkan nasional mengabarkan dan memberikan itu, bahwa orang-orang Indonesia masuk dalam jajaran miskin, khususnya beras—menerima itu.

Setidaknya, syukurlah ada bantuan berupa miskin.

Bisa untuk tambahan duit.

Bisa untuk tambahan keuangan.

Bisa untuk tambahan beli permen.

Bisa untuk tambahan sangu sekolah.

Maksud saya, beginilah zaman sekarang, memang seakan manusia sibuk dengan keuangan, dan sibuk dengan kemataduitan. Mata-duitan, tapi tidak mau kerja. Mau kerja tapi seakan inginnya yang praktis belaka. Mau kaya seakan mengharapkan hujan dari langit secara tiba-tiba. Maunya kaya, tapi tidak berusaha. Maunya kaya raya, mampu membeli ini-itu dan seterusnya. Dan itu tidak mengukur dengan realitasnya. Tidak mengukur dengan siapa-dirinya. Tidak melihat siapa dirinya-sebenarnya. memang telah melihat, tapi tidak mengamati benar-benar mengapati siapa dirinya. Memang telah mengukur, tapi tidak benar-benar mengukur siapa-dirinya.

Maunya menjadi manusia barat, laksana menjadi adat-adat atau kebiasaan barat, dan lupa status dirinya; siapa dirinya sebenarnya. Karena kita bukan barat, kita juga bukan sepenuhnya ketimuran: kita adalah Indonesia. Indonesia itu bukan ketimuran yang tulen, bukan juga kebaratan yang tulen. Tapi kita itu Indonesia. Hehe ah saya orang wargomulyo. Hehe ah saya itu Taufik.

Dan, Ah tujuan saya menulis ini sebenarnya saya belajar tentang bagaimana membaca hidup yang sebenarnya; belajar hidup tentang sesungguhnya, yang mana saya masuk pada bagiannya.

Saya adalah manusia yang hidup pada bagian seperti itu, dan lingkungan saya mendapatkan semprotan hal-hal tersebut. Bersama dengan menulis ini, maka saya belajar tentang makna hidup.

Sebab, bagiku, sekarang: makna hidup adalah tentang realitas yang sesungguhnya, bukan dunia-maya, bukan dunia-jaringan-jaringan. Bahasa sosiologinya, Hiperrealitas, yakni melampaui realitas; melampaui realitas itu ditandai dengan gejala keberadaan:

Telekomunikasi.

Transportasi.

Dan dunia-mesin; atau informasi atau internet.

Bersamaan dengan itu, maka sesuatu yang nyata pada zaman sekarang adalah era-era transparan dan jalin-menjalin. Kenyataan tidak bisa dikatakan, bahwa inilah sebenarnya, melainkan jalin-menjalin bersama dunia-ide.

Dunia ide adalah sesuatu yang berada di dalam pikiran, yang kemudian ditautkan dengan pemahaman dan kepemahaman. Begitulah jalurnya.

Namun sebagaimana tawaran masalah seperti dikatakan filsuf modern—atau lebih tepatnya, filsuf postmodern—bahwa masalah zaman sekarang adalah sibuk dengan penampakan demi penampakan, namun lalai dengan esensi kehidupan.

Saya berpikir, bahwa masyakarat pada umumnya terkena arus global tersebut, sibuk dengan dunia penampakan demi penampakan lalai dengan esesensi dari kehidupan. Maka bersamaan itu, saya menyatakan bahwa saya bertanya: apa makna hidup di zaman seperti sekarang ini?

Ah kembali ke masalah, wargomulyo mendapatkan jatah Raskin yakni Beras Miskin.

Statusnya memang mendapatkan beras miskin, tapi faktanya, beras itu tidak sepenuhnya di makan, atau kalaulah dimakan, maka tidak sepenuhnya di makan, melainkan dijual lagi, dan makan dengan makan yang itu adalah beras bagus.

Sebab, agaknya, seharusnya—lagi-lagi, kalau desa-desa kelas nasional mendapatkan jatah, masak wargomulyo tidak, tentu tidak adil bukan? Hehe-- wargomulyo itu tidak mendapatkan jatah beras miskin, karena orang-orangnya mampu untuk makan, karena lahan di wargomulyo, saya berpikir, mencukupi untuk makan manusia seukuran wargomulyo.

Tapi zaman sekarang bukanlah zaman wargomulyo tempo dulu; zaman dimana wargomulyo itu masih dalam proses menjadi desa, yang mana sawah itu mblarah, dan tidak banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya. Zaman sekarang, zaman serba kebutahan, dan uniknya, kadang—mungkin—kita lupa bahwa kekuatan terbesar kita alam. Mungkin kita lupa itu. Mungkin.

Dan saya, sebenarnya—lagi-lagi yang menggunakan diksi itu—kurang perduli akan hal tersebut, yang saya perdulikan itu tentang: kuliah saya, tentang persawahan saya; ya! Sebentar lagi musim tandur. Besok ke sawah ah…

Selamat datang kenyataan.

Demikian.

Belum ada Komentar untuk " Wargomulyo Pun Mendapatkan Bantuan Beras Miskin (RASKIN): Bisa jadi Wargomulyo Itu Bagian Dari Miskin? "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel