Belajar Ahli ‘Jamaah’, belum Ahli Sunah
Sabtu, 10 Juni 2017
Tambah Komentar
Pak Haidar, apakah engkau sudah menjaga shalat wajib berjamaah? Kepada siapa pun itu, yang pasti shalat wajib itu, berjamaah; apakah sudah dijalankan? Atau engkau ingin beralasan; bahwa shalat jamaah itu hukumnya fardu kifayah. Atau tekanan yang dianjurkan itu adalah yang pasti shalat wajib jangan ditinggalkan.
ahai.. saya berani menyampaikan begitu, karena saya tidak pandai-pandai amat. Andaikata saya pandai amat, maka saya akan memilih diam. Apalagi bertanya seperti itu kepadamu? Nantinya lagi, saya akan dikatakan: dasar, murid tidak sopan. Tapi fakta lho, Pak Haidar. Sekarang saya mulai didengungkan dengan dikis tidak sopan. Apakah engkau ingin mendengarnya? –seperti biasa, akulah yang lebih dulu menyampaikan dan engkau mendengar dengan sabar. Hehe. Tapi ini diksi kata-kata, maka engkau tidak mampu mencegahku dengan berkata: saya lagi sibuk, besok-besok ya.
Karena shalat jamaah
Sejak saya mulai aktif shalat jamaah di desa, maka jadilah kebiasaan shalat jamaah itu, menghadirkan rindu kepada para jamaah.
Ahai… diksi rindu itu mengalir begitu ringan dariku. Karena memang begitulah yang kurasakan. Tatkala aku tidak melihat si dia, yang agak berjamaah, maka aku mendatangi dengan berkata: aku datang karena aku rindu kepadamu. Sekali pun rinduku gajil. Dengan alasan, karena kita sering bertemu. Walau pun tidak berkata-kata, tapi kita bertemu. Yakni di masjid.
Dan anehnya, rindu itu pun tidak terbatas usia. Inilah yang menjadikan aneh; dan ternyata, islam pun bagiku, juga seperti itu, tidak ada pembicaraan tentang usia, yang ada ukurannya takwa.
Seperti halnya tokoh-tokoh dalam al-quran, bukankah tidak ada diksi-diksi tentang usia?
Karena shalat jamaah, muncullah rindu pada diriku. Bersama munculnya rinduku, maka jadilah interaksi dengan orang-orang yang rajin jamaah. Maka jadilah klaim pembicaraan tentang diriku; tentang ketidak sopananku. Ukuran sopan, adalah kata-kata.
Kata-kata menjadi sangat penting untuk ukuran sopan. Alasannya, boso. Yakni berbahasa jawa. Dilalah juga, aku enggan berboso jowo, alasannya, karena aku melihat:
Payahnya atau rusaknya generasi muda itu karena orang tua yang tidak melatih anak-anaknya untuk berboso sejak kecil, wal-hasil, anak-anak jarang mengenal diksi boso. Payahnya, zaman sekarang menuntut anak-anak untuk boso, sementara kenyataan, anak-anak jarang menggunakan diski boso. Dimana coba bahasa boso itu digunakan? Di sekolahan, tidak ada. Yang ada bahasa yang digunakan, adalah bahasa Indonesia, bahasa inggris, dan bahasa arab. Boso itu tidak payu. Apalagi bagi kalangan akademisi. Tapi orang-orang masih menuntut untuk sopan. Parahnya lagi, ukuran sopan adalah kata-kata.
Terlebih lagi, di zaman yang global, di zaman yang nasional ini, bagiku, budaya hampir punah, bahkan budaya jawa hampir punah; alasannya, karena bahasa yang digunakan sebagai tandanya. Terlebih lagi, dimana bahasa daerah di gunakan? Sementara tuntutan sekolahan atau lembaga pendidikan, inginnya internasioanal. Ah kok sampai ke situ.
Dari jamaah, yang berefek pada pertemuan realitas. jadilah dialog. Dan karena dialog, jadilah pembicaraan.
Karena jaamaah, jadilah rindu.
Tatkala rindu, maka jadilah cinta.
Tatkala cinta, maka jadilah saling pengertian.
Sering kukatakan, “Kalau engkau repot, dan engkau kepayahan mencari orang; katakan kepadaku, akan aku bantu. Tapi upahlah aku sesuai dengan harga yang semetinya, dan aku bekerja karena kamu, karena kamu taat kepada Allah. begitu ya…”
Karena jamaah, maka tatkala di sawah, atau bertemu di jalan, kami pun berteguran, kami pun sapa menyapa.
Begitulah keringkasan dari jamaahku, Pak. Apakah engkau sudah menunaikan shalat wajib berjamaah?
Jika engkau bertanya kepadaku, bagaimana dengan sunah-sunahmu, Fik?
Jawabku, engkau melihat bagaimana karakterku; yang bertujuan, aku menyampaikan islam, yang itu tidak memberatkan orang-orang yang melihat diriku sebagai cerminnya. Dan aku akan mensupport orang-orang yang tua, untuk lebih kencang menjaga sunahnya. Begitulah tugasku, Pak. Mendukung atau mengabarkan yang tua-tua untuk menunaikan sunah-sunah. Terlebih lagi yang berpengetahuan tentang keislaman.
Dan engkau, mendapatkan kataku: ayo jaga shalat wajib jamaahmu, Pak. Jangan lupa tentang sunah-sunahnya? Bukankah engkau berpengetahuan agama?
--aih dan kata-kata itu pun mantul kepada diriku. Tapi kataku, aku hendak mengabarkan kepada orang-orang supaya mereka tidak keberatan terhadap agama.
Jika engkau menjawab, ‘aku juga sama, Fik.’
Jawabku, akhirnya terserah padamu lah, Pak. Aku memang selalu kalah kepadamu. Huff… hehehe
Belum ada Komentar untuk "Belajar Ahli ‘Jamaah’, belum Ahli Sunah"
Posting Komentar