Wargo Mulyo; Aforisme


wargo mulyo





Aku dan Pengetahuan Keakuan




1



kita penting mengingat tentang: siapa aku, kemana tujuan aku, mengapa aku mengarah ke itu, mengapa aku diadakan, untuk apa aku teradakan. Karena kita sering lalai (malah bahkan lupa; atau melupakan, atau pura-pura lupa) dengan apa tujuan kita.





2.



kita penting mengingat, dari mana kita berada, di lingkungan apa kita berada, dan apa sesungguhnya yang kita kejar, apa yang sesungguhnya hendak di capai; karena kita sering terjebak pada aku-yang-lain dibanding aku sendiri.



3.



kita sering memikirkan aku-yang-lain, tapi lalai memikirkan aku-sendiri, tujuan aku-sendiri, yang ternyata, tujuan itu telah 'terbiasa' dan kita anggap itu menjadi biasa. Padahal kita benar-benar punya tujuan berada di dunia.



4.



kita penting menanamkan (tidak sekedar menanam, karena itu telah tertanam) tentang tujuan kita, yang perlu disiram dan dipupuk guna mencapai apa yang kita tujukan; karena terkadang kita menuju kepada suatu tujuan yang sebenarnya kita enggan menuju ke tempat yang kita tujukan.



5.



kita terlalu euforio dengan gegap-gempita perkembangan zaman, dan kita lalai lalai bahwa hidup sarat dengan nilai keakuan; karena kita sering berpedoam sarat dengan nilai-nilai keakuan, tapi lalai membutuhkan aku-yang-lain.



6.



kita terlalu euforia dengan 'tekanan' zaman yang serba uang, seakan hidup itu benar-benar tentang pekerjaan, dan kita lalai bahwa hidup tentang pergaulan dan saling membutuhkan, yang bertujuan kebahagiaan; bukan tentang memuaskan hawa tabiat manusia yang memang disertai nafsu kebinatangan.



7.



kita terlalu euforia tentang penampakan, dan kita lalai tentang isi, yang harusnya keduanya seimbang; atau bisa jadi, isi lebih utama dibanding penampakan. tapi kita terlalu euforia terhadap penampakan dan sering lalai akan tujuan kemanusiaan.



8.



kita terlalu sibuk memikirkan aku-yang-lain, tapi kurang sibuk memikirkan aku-sendiri. Atau bahkan terlalu gegabah dan galak tatkala ada aku-yang-lain masuk ke aku-sendiri, padahal telah diyakini aku-sendiri teramat sukar untuk dipetani.



9.



kita telalu lalai untuk membaca sejarah kita sendiri, dan menyukai sejarah kelas nasional atau internasioanal, tapi ternyata kita kosong pada pengetahuan diri, sejarah diri. Demikianlah, zaman telah menjadi sejarah; dan hidup laksana sekedar kata-kata. padahal kita telah menyakini bahwa hidup tidak sekedar kata-kata.



10.



kita terlalu euforia pada kenangan-kenangan, dan lalai bahwa itu adalah realitas yang sesungguhnya, bahwa hidup bukanlah kenangan. Hidup bukanlah sekedar khayalan atau menjadi kesan untuk menjadi pembicaraan.



11.



Kita terlalu angkuh untuk bertanya, atau mengaku merasa kuat, padahal kita lembek dan sedikit pengetahuan tentang kehidupan yang realitas adanya.



12.



kita terlalu sibuk dengan data-data dan lupa bahwa kita menjalani hidup realitas adanya. bahwa kenyataan tidak seringkas atau semulus data-data.



13.



kita terlalu sibuk dengan objektifitas dan lalai bahwa kehidupan itu sarat dengan nilai subjektifitas.



14.



kita terlalu sibuk dengan ide-ide tapi lalai memuwujdkan ide-ide, dan kita sering sibuk dengan ilmu-ilmu tapi lalai bahwa ilmu bertujuan untuk bahagia.



15.



kita lalai bahwa rumus bahagia itu simpel: menerima takdir bahwa kita memang beginilah takdirnya, dan segala jalan atau upaya bersebut: usaha.



16.



dan kita terlalu sibuk-sibuk dengan rencana-rencana, kita agak lalai bahwa itu adalah sekedar rencana, dan hidup itu pun bermakna: saat ini juga.



17.



bisa jadi kita lupa, bahwa kekuatan terbesar kita adalah alam dan kita penting mengolah yang bertujuan bahagia-bersama, menjalin kemanusiaan; bukan tentang pamer-pameran harta, bangga status, bangga peran, dan bangga-bangga lainnya; dan terkadang kita lalai bahwa kita adalah manusia, yang saling membutuhkan satu sama lainnya.



18.



bisa jadi kita lupa, bahwa landasan terbesar kita adalah tentang keyakinan--yakin; yakni sesuatu yang ada di dalam diri kita-- yang penting ditautkan bersama bahwa kita berkeyakinan yang sama.



19.



dan kita sering lalai, bahwa kita adalah aku-individu, bukan aku-yang-lainnya, yang membutuhkan aku-yang-lainnya guna melengkapi aku-individunya berada di hamparan dunia.

Belum ada Komentar untuk "Wargo Mulyo; Aforisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel