Plang-plang Atas Nama NU




Andaikata, plang-plang atas nama Nu itu aktif benar? Apa jadinya Negara Indonesia?

Tapi faktanya, dan sering, pengajian itu, laksana dimiliki oleh kaum hawa, atau kaum wanita, atau ibu-ibuk, dan laki-laki, laksana melempem dan tidak benar-benar merasakan tentang sesuatu yang seharusnya membutuhkan pengajian.

Andaikata, plang-plang atas nama NU itu aktif benar? Apa jadinya Kabupaten di Negara Indonesia?

Jadilah jalainan kemanusiaan yang itu beriman kepada Allah, dengan sungguh-sungguh beriman, dan hal itu di dukung oleh tuan rumah yang dikenai plang, yang biasanya tuan-tanah pemilik plang adalah ketuanya.

Andaikata, plang-plang atas nama Nu itu aktif benar? Apa jadinya desa-desa di Negara Indonesia?

Seperti halnya desaku, andaikata GP ansor itu aktif benar, maka jadilah pemuda-pemuda itu mempunyai semangat yang tinggi atas nama keislaman; islam model apa? Islam model Nu. NU seperti apa? Yang menghendaki bahagia dunia dan akhirat.

Bukankah inti besar dari NU itu adalah tentang bahagia dunia dan akhirat. Sayangnya, bagiku, realitas tidak seperti itu.

Realitas tidak semanis berita-berita yang ada.

Realitas tidak semulus teori-teori yang dikatakan.

Realitas tidak seindah plang-plang atas nama NU.

Saya melihat, system-system telah tertata rapi—tapi system itu adalah kata-kata. system itu, bentukan kata-kata—yang faktanya, ah sayang faktanya, tidak serapi system yang ada.

Kalau tujuan utama NU adalah manusianya bahagia dunia akhirat, maka tentu ada hubungan kerja dan ibadah.

Kalau tujuan utama NU dalah manusia bahagia dunia dan akhirat, maka tentu ada ikatan kuat antara ibadah dan kerja.

Tapi sayang, realitas atau kenyataan tidak semulus kata-kata; kata-kata tidak semudah berbicara. Banyak yang rapat tentang NU, banyak yang mendapat upah dari NU, tapi faktanya, dan sering, mereka sibuk dengan rapat-rapat, sibuk dengan pembicaraan demi pembicaraan.

Diskusi demi diskusi.

Tema demi tema.

Tapi lalai dengan mengaplikasan ilmu yang telah bersinggah ketat di dalam dirinya—ah aku memang bukanlah orang sekelas sarjana, belum lulus, tapi setidaknya saya mempunyai kaca-maca untuk melihat dan menilai—bahwa orang NU lalai dengan tujuan ke-Nu-an, dan sering mendangkalkan sejarah ke-Nu-an, sampai pada batas status ke-NU-an.

Sebab saya berpikir, sejarah ke-Nu-an, atau ulama-ulama awal yang menggagas oranganisasi NU itu, mengikuti ajaran para wali. Mengikuti bekas-bekas ajaran para wali di nusantara.

Karena situasi zaman yang mengharuskan mempunyai wadah, maka dibentuklah wadah yang itu adalah berprinsip tentang penerusan ajaran kewalian. Bukankah apa-apa (Atau seringnya; ataukah memang begitu?) yang dipertahankan ke-Nu-an adalah sesuatu yang itu adalah meneruskan para Wali?

Tentang tahlilan, tentang yasinan, tentang nujuh hari, tentang ziarah, tentang-tentang yang lain.

Namun sayang—ya! Saya menyayangkan—bahwa di zaman seperti sekarang ini, orang-orang sibuk dengan nama-nama atau plang-plang atua kebiasaan plang, atau kebiasaan-kebiasaan orang terdahulu namun lalai dengan isinya, lalai dengan tujuannya.

Senengnya dengan baju-bajunya.

Senengnya dengan penampakan-penampakannya.

Hingga hasilnya, umatnya, atau orang yang melihat bahwa, tuan tanah plang, menyukai penampakan; maka mengapa mereka pun tidak sekedar penampakan? Artinya lagi, saya mempertanyakan tentang peran-peran tuan tanah plang yang berstatus ke-Nu-an; kalau saya sih adalah umat yang agak mbeler, karena mempertanyakan tuan tanah plang.

Demikian.

Dan buat para pendahulu yang telah wafat. Alfatihah…

Belum ada Komentar untuk " Plang-plang Atas Nama NU "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel