Wargo Mulyo dan Islam

foto dari tribratanews.polri.go.id


Untuk lebih mempersingkat pembicaraan, akan dilangsungkan pembicaraan tentang wargo mulyo dan islam. Taufik berkata:

Sejauh kita ketahui, bahwa kata kunci dari agama islam adalah rukun iman serta rukun islam, yang sumber utama dari kajian islam adalah Al-Quran dan Hadist. Tatkala dibicarakan pada desa wargomulyo, maka mau tidak mau akan bertemu pada rukun islam, rukun iman, serta al-quran dan hadist.

Namun tidak seringkas itu; tidak segampang itu, menjalankan sebuah kata-kata. kenyataan tidak semulus kata-kata. kenyataan tidak selanyah teori. Kenyataan tidak serapi kata-kata. Kenyataan tidak sesingkat orang bercerita. Kenyataan tidak seringan orang-orang berkata-kata. 

Dan saya mulai bahwasanya:

Tatkala orang-orang transmigrasi (Dari jawa ke Lampung, ke Wargomulyo), mereka telah berstatuskan agama islam. Telah berstatuskan agama islam –saya ulangi, karena mereka telah mempunyai agama, yakni agama islam. Tujuannya, supaya disadari bahwa mereka itu telah mengenal gerak-gerik islam, telah mengenal tentang ‘pengetahuan’ islam. entah itu sedikit atau banyak, namun telah mengenal; sekali pun telah mengenal sedikit, tetaplah orang bakal mengenal banyak tentang islam: sebab kata kunci dari islam adalah rukun iman dan rukun islam, yang mana mereka pun telah mengetahui hal tersebut. telah mengetahui tuntutan-tuntutan menjadi muslim. telah mengetahui acara-acara kemusliman—apalagi mereka transmigrasi di tahun 1930 Masehi, yang mana telah kita ketahui bahwa organisasi-organisasi islam di Indonesia mulai marak, mulai bermunculan, yang sebelumnya belum bermunculan; NU lahir di tahun 1926, Muhammadiyah lebih dulu dibanding NU, selain itu, memang Indonesia masih gencar-gencarnya di jajah oleh belanda; yang mana status Nusantara, belum benar-benar mulus untuk dikatakan Negara republic Indonesia; namun status keislaman manusia Indonesia tetaplah kokoh, karena dahulu kala, sejak eranya para wali, sekitara tahun 1200 Masehi-an, sudah marak gerakan para wali, yang telah mengakar-akar poada diri manusia nusantara. Artinya, islam pun berdiri sendiri, dan kesatuan Negara atau tentang sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan itu lain, sekali pun pemerintahan mengatur tentang jalannya kemanusiaan. Namun, agama mempunyai jalur sendiri; yakni keimanan, yang orientasi dan arahnya kepada Tuhan semesta Alam, atau Allah. 

Dan islam di desa wargomulyo, selanjutnya, sebagaimana kita ketahui, mereka mengambil ‘tokoh’ untuk ditokohkan menjadi Kiai desa; yakni Mbah Ibnu Qosim—itulah status kiai yang ditokohkan oleh orang-orang, yang katanya, Pak Nur Salim: Mbah Ibnu Qosim dengan rela meninggalkan kemapanannya untuk menyetujui permintaan Mbah Nawawi, menjadi Kiai Desa.

Mbah Ibnu Qosim, statusnya adalah Kiai desa, yang dikiaikan oleh orang-orang desa, menjadi pusat untuk kekiaian Desa. Jika diukurkan orang-orang pandai, tentu, kalau dipikir ulang, maka Mbah Nawawi pun termasuk orang yang pandai, hanya saja beliau tertakdirkan untuk menjadi ketua; dan bukti—saya menyatakan, mbah nawawi adalah pandai—melihat siapa mantu-mantu dari Mbah Nawawi. Seringkas itu, karena faktanya, saya pun tidak mengetahui bagaimana kepengetahuan Mbah Nawawi; atau lantas, ukuran apa untuk dikatakan bahwasanya beliau pandai atau tidaknya. Yang pasti, beliau adalah pendiri utama desa wargomulyo. 

Selanjutnya, ketika Kiai telah ada, maka dididiklah manusia-manusia wargomulyo, yang itu sarat dengan nilai-nilai keislamian; artinya, agak ‘kuat’ untuk dikatakan sarat dengan nilai islami, karena sejauh kita ketahui, kita mempunyai acara-acara yang agak ramai yang itu berkaitan dengan islam. yang berkaitan atas nama: Islam. Bandingkan dengan yang lain:

Apakah di tempat yang lain, masih mengadakan khataman-khataman al-quran, walau pun statusnya para santri, hapal ‘deres’ atau membaca al-quran yang disimak oleh gurunya. Maka di wargomulyo, sarat dengan hal-hal tersebut. 

Terlebih lagi, murid-murid atau manusia generasi kedua dari mbah nawawi, banyak orang-orang yang pergi mencari ilmu keislaman di Jawa, atau mondok. Hal itu tentu didorong oleh peran orang tua, atau dukungan dari realitas yang ada; entah itu tunttannya untuk kekebalan (aji-aji) atau menjadi juru dakwah, atau apa-pun itu, yang kemudian, untuk sekarang, orang-orang tersebut membawa aura keislaman ke wargomulyo. Dan salah satu diantara mereka adalah puteranya Mbah Ibnu Qosim, yakni Pak Muhdi. Yang pada masanya, kemudian berdirilah pondok pesantren Darussalam, yang mana beliau menjadi pengasuhnya.

Sekali pun pondoknya seperti itu—dan kita ketahui seperti itu—tetap saja, desa wargomulyo, mempunyai status kenamaan yakni pondok pesantren. Yang tentunya, ada tawaran pengetahuan dari pondok pesantren. Sekali pun, di wargomulyo, banyak guru mengaji-mengaji, namun zaman membuktikan bahwa ‘nama’ kadang lebih diunggulakan, sekali pun kadang yang tidak bernama itu adakalanya juga sama statusnya, namun zaman menyatakan bahwa nama lebih diunggulkan dibanding yang tidak mempunyai kenamaan.

Selain itu, tawaran keislaman yang mencolok di desa wargo mulyo dengan keberadaan Tariqoh, yakni jalan untuk lebih dekat kepada Allah, yang mana tariqoh itu berorientasi pada nilai-nilai tasawuf, yangmana orientasi kuat berkaitan dengan ‘rasa’ dan hati; dan itu ada di desa wargomulyo, yang mana mursyid atau ketua tariqah ada di desa wargomulyo, yang pertama, tentunya dialah adalah Mbah Ibnu Qosim.

Yang selanjutnya, tatkala mbah Ibnu Qosim wafat, diteruskan oleh Mbah Parno, dan Mbah Parno itu adalah murid dari Mbah Ibnu Qosim; yang tatkala mbah Parno itu wafat, diteruskan oleh muridnya, yakni Pak Sya’ban. Yang sekarang, mulai tambah banyak orang yang mengikuti tariqah, yang itu pun mempengaruhi ‘agak’ kuat tetang keislaman dan realitas di wargomulyo.

Belum lagi, tempat-tempat ibadah yang ada di desa wargomulyo, pada setiap rukun keluarga (RK) mempunyai tempat ibadah; tidakkah itu menjadi sebagian tanda bahwa di wargomulyo, agak unik, bagi beragamanya, artinya agak hidup untuk keagamaan; apalagi status mayoritas orang di wargomulyo adalah ikatan keluarga dan itu beragama islam. tidakkah itu menjadi sebagian tandan bahwa di wargomulyo, sarat dengan nilai keislaman.

Belum lagi, gerak-gerik zaman, sekarang, orang-orang mulai ‘mengeluh’ dengan gerakan globalisasi dan moderinasasi, yang mana akhlak atau moral semakin amburadul yang tidak-karu-karuan; hal itu salah siapa? Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, kita hanya penting intropeksi diri, mawas diri, mengapa hal itu bisa terjadi; termasuk kita, termasuk kedirian kita. Sebab, setelah pembacaan saya, karena kita mulai:

Kurang mempercayai apa yang kita percayai.

Kurang meyakini apa-apa yang kita yakni.

Kehilangan roh-keyakinan dalam diri kita.

Agama menjadi tradisi dan kebiasaan, dan kita lalai dengan hal-hal itu; gerak-gerik agama memang banyak dan terbiasa, tapi karena sangking biasanya, kita lalai bahwa gerak-gerik agama harus disertai dengan isi-isi keagamaan; bukan tentang penampakan demi penampakan.

Alasannya lagi, karena zaman sekarang, telah terbukanya-ilmu-pengetahuan, orang-orang mulai lalai percaya kepada guru, dan parahnya lagi, guru tidak menjadi peran sebagai guru.

Namun terlepas dari segala masalah yang terjadi, desa wargomulyo, masih memegang keagamaan, yang itu agak kuat—walau sebenarnya belum-belum kuat, karena orang-orang yang berpengetahuan agama pun laksana kehilangan roh-keyakinannya; tidak menjadikan teladan yang baik buat zaman seperti sekarang ini, agak kurang membaca tentang gerak-gerik zaman yang seperti sekarang ini—dengan alasan:

Banyak orang berpengetahuan islam di desa wargomulyo

Banyak orang jebolan pondok pesantren di desa wargomulyo.

Banyak aktifitas keislaman di desa wargomulyo.

Sarat dengan nilai kekeluargaan di desa wargomulyo.

Mudah-mudahan, kita bisa bersama-sama menjalani keislaman karena Allah, dan hidup yang bertujuan lillahita’ala, kita bisa hidup bersama-sama dan saling merasakan tentang kemanusiaan yang bersama-sama. Mudah-mudahan kita, tidak sekedar menyandang dan bangga dengan status bersama tapi lalai apa makna dari ‘bersama’. 

Mudah-mudahan kita, tidak sekedar pamer dengan diksi ‘bahwa’ kita pandai beragama, tapi kita menjalankan keagamaan menurut kemampuan kita. 

Lebih lagi, mudah-mudahan kita menjalani kehidupan, yang itu sesuai dengan nama yang menempel pada berkas-pengalaman dan pengetahuan kita: mulyo. 

Mudah-mudahan kita bisa menjalani kebersamaan lewat gerakan keislaman dan menjalani satu kesatuan atas nama wargomulyo. Sebab di era yang semakin terbuka, zaman menjadi tidak karu-karuan dan kita penting saling-menyaling, dukung mendukung atas nama kemanusiaan yang itu lewat tali agama.

Dan kepada guru-guru kita, mari kita hadiahi mereka dengan suratan:



Al fatihah…

Belum ada Komentar untuk " Wargo Mulyo dan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel