Yasinan Bergilir Jumat Study Kasus Di Desa Wargomulyo RK 7



PROSES YASINAN

Yasinan bergilir. Sebenarnya istilah ini digunakan untuk mempermudah kegiatan yang berlangsung, yang didalamnya pastilah membaca Al-quran, yakni, suratan Yasin. Yang sebelumnya dibacakan, wasilah (perantara) atau silsilah (Arwah-arwah atau nama-nama yang disebutkan untuk wasilah: contoh: ila hadroti… Yang setelah itu, diteruskan membaca tahlil (yakni, bacaan-bacaan yang telah disusun; rangkaiannya: setelah selesai membaca surat yasin, lalu diteruskan membaca surat ikhlas 3 kali, surat falaq 1 kali dan surat an-nas 1 kali dilanjutkan dengan membaca surat al-fatihah, surat al-baqorah ayat 1 sampai 5. Dilanjutkan, surat al-baqoroh 284-286, dan mengulang-ulang pada ayat: wafu anna wagfirlana warhamna, lalu diteruskan ya arhamarohimin 33 kali (atau sesuai kondisi) kemudian, irhamna 33 kali (atau sesuai kondisi) selanjutnya—bisa berbeda-beda macamnya; namun penyertaan istigfar, shalawat nabi, syahadat, shalawat nabi itu tidak terlewatkan. Setelah itu, di desa wargomulyo, khususnya di RK 7, dibacakan shalawat nariyah, 40 kali. Ditutup dengan doa.

Setelah itu, istirahat, lalu pengumunan, dan kadangkala diteruskan pengajian, atua kajian sejenak tentang keislaman.

Begitulah proses yasinan.

LATAR BELAKANG

Desa wargomulyo, dikenal desa yang mayoritas beragama islam, yang jarang sekali orang beragama selain islam—mungkin saya tidak mengetahui data tentang agama selain islam—yang sejak awal berdirinya desa wargomulyo, yakni 1930 Masehi; ketua dari transmigran, H. Nawawi, adalah orang yang seperti mengerti tentang tujuan hidup yang itu tidak sekedar mencari makan di dunia, melainkan harus beribadah. Itulah sebabnya, beliau ‘menyetatuskan’ Mbah Ibnu Qosim, menjadi ‘Kiai’ Desa, yang harus bermukim di dekat masjid, yang tujuannya mengimami masjid dan mengajarkan agama islam di desa wargomulyo. Yang katanya—kata cucunya Mbah Sanusi (mbah sanusi adalah lurah kedua setelah mbah nawawi—mbah ibnu qosim adalah temannya mbah sanusi. Dan bahkan, saya diceritakan—saya lupa yang menceritakan, bahwa mbah ibnu qoism telah diicar oleh Mbah Nawawi untuk dijadikan ‘Kiai Desa’ karena sudah diketahui ‘kehebatan’ beliau dalam agama. Maka dijemputlah beliau dari Lampung, wargomulyo, ke Jawa; dan ternyata, Mbah Ibnu Qosim, sudah tidak ada dijawa, melainkan sudah transmigrasi ke lampung. Maka dicarilah beliau, dan disuruhlah beliau ke wargomulyo, untuk dijadikan ‘Kiai Desa’, yang itu pada masa lurah Mbah Sanusi.

Yang kemudian, pendidikan utama di desa wargomulyo adalah tentang madrasah, yang itu menitik-beratkan tentang agama, sekali pun sebelum itu, tidak ada pendidikan yang formal. Kenanglah tentang sejarah nusantara, yang mana disaat itu, di sekitar 1930 Masehi. Pendidikan di Nusantara, yang paling moncer atau terkenal adalah basic padepokan; yakni penerusan model pendidikan dari agama hindu-budha, yang kemudian padepokan itu berjalannya waktu, menjadi pesantren. Dan bahkan istilah ‘santri’ dari bahasa sangsekerta, yang berarti, orang yang mengkaji kitab agama hindu-budha. 

Karena orang-orang telah beragama islam, maka kajian kitab, tentu berganti menjadi kitab al-quran. Yang mana, ketentuan kitab al-quran adalah selalu berbahasa arab dan harus berbahasa arab.

Maka pendidikan yang diajarkan adalah pendidikan mengaji, yang mana dikenalkan tentang huruf hijaiah; dan anak-anak dikenalkan itu, dibanding dengan huruf capital, atau huruf abjad yang sekarang dipakai. 

Bersamaan dengan itu, keadaan keagamaan sosial di desa wargomulyo, menurut saya, mengikuti tradisi atau kebiasaan, islam yang ada di jawa, yakni saat ada yang meninggal, maka diadakan yasinan, kumpul-kumpul manusia untuk mengirimkan doa kepada orang yang telah meninggal, dengan harapan, sebagai amal atau bakti anak kepada orang tua, yang mampu mendoakan kepada orang-tuanya.

Bagaimana keadaan sosial di wargomulyo? Khususnya tentang yasinan, giliran itu?

KONFLIK PEMIKIRAN TERHADAP PENULISAN

Ah sebenarnya, saya masih kepayahan terhadap apa yang hendak saya tuju, padahal ini pembahasan tentang yasinan, mengapa sampai berkaitan dengan keadaan sosial dan sejarah desa. Mengapa harus tumpang-tindih informasi. Baiklah, saya akan meluruskan pemikiran saya. Memfokuskan kajian saya, yakni tentang yasinan. Yang itu berada di desa wargomulyo, khususnya di RK 7.

PEMBAHASAN

Yasinan giliran itu telah terjadi dan masih terjadi, saya pun sekarang menjadi anggota pada yasinan tersebut, yang mana setiap malam jum’at dilaksanakan Yasinan. yang tujuannya: pertama, mengirimkan kepada arwah-arwah yang telah mendahului, yakni sebagai anak mendoakan orang-orang yang telah mendahului. Kedua, silaturahim dengan warga sekitar. Yang secara otomatis, bersamaan dengan acara tersebut, maka akan ada pembicaraan kepada warga sekitar, atau lingkungan, yang tema pembicaraan adalah bebas. Tidak ada focus pembicaraan. Tidak ada batas-batas pembicaraan.

Pertemuan itu, menjadikan ajang untuk tukar pendapat, tukar informasi, dari individu ke individu lain. Untuk mengerti kabar tentang indivu ke individu lain. 

Yang tatkala selesai acara yasinan, maka jajan demi jajan, keluar, untuk menjadi teman dalam pembicaraan. Untuk menjadi teman untuk ngobrol, berbicara. Yang didahului dengan menyuguhkan air-minum, yang sering disuguhkan adalah air-minum teh hangat, atau teh panas. AtaU bisa yang lainnya, sesuai dengan kehendak pemilik rumah.

Saya pun tidak tahu, mengapa air-minum yang disuguhkan adalah teh, dan mengapa harus teh yang disuguhkan. Apalagi, di zaman seperti sekarang ini; teh laksana menjadi kebiasaan yang mulai kehilangan sesuatu yang istimewa. Mungkin, dulu, di desa wargomulyo, air minum teh adalah istimewa, karena orang di zaman dulu, wargomulyo, untuk membeli gula tidak mudah. Karena masih jarang orang jualan, masih jarang orang yang berdagang. Umumnya, orang-orang sibuk dengan pertanian; orang jarang sekali huru-hara yang itu berkaitan dengan makanan—hal-hal yang berkaitan dengan makanan; atua sesuatu yang itu dimakan--; orang lebih memilih menerima dengan makanan yang telah tersedia, karena memang, zaman belum menjadi zaman konsumeris, para pedagang tidak menjamur seperti sekarang ini, para pedagang tidak semblarah seperti sekarang ini; maka untuk minum satu gelas teh itu adalah sesuatu yang special, karena di sana ada gula. Menurut perkiraan saya, tatkala orang hendak belanja yang itu berhuru-hara tentang makanan, maka manusia wargomulyo harus belanja yang itu jaraknya jauh, mungkin pardasuka—jalan kaki, atua naik sepeda—atau di Sumber Agung, atau Ambarawa. Hingga akhirnya, teh menjadi kebiasaan suguhan orang-orang pada acara yasinan; padahal kalau diamati, desa wargomulyo, orang-orangnya lebih cenderung menyukai kopi—begitu juga dengan saya, saya lebih cenderung menyukai kopi dibanding teh; itu pun terjadi, saat saya mulai kebiasaan dengan mengopi. Awalnya, tatkala saya di Jawa, kebiasaan saya minum teh. Dan itu pun tidak setiap hari minum teh. Namun, minum kopi, menurut saya ada efek untuk kelanjutan untuk meminumnya; laksana mempunyai candu untuk sekali lagi, kalau sehari tidak minum kopi hitam, laksana ada yang kurang; itulah dalam benak saya— namun, pada kenyataannya, orang-orang lebih cenderung menyuguhkan air-minum teh dibanding kopi hitam.

Padahal, menurut saya, untuk lebih nyaman dalam pembicaraan atau pertemuan, alangkah baiknya jika air yang diberikan adlaah kopi hitam; yang tujuannya, orang-orang semakin ngobrol dengan manusia yang lain, atau setidaknya, tatkala minum tidak terburu-buru dan habis; sebab, tatkala saya mengamati, orang-orang yang disuguhi air minum teh, dengan ringkas atau mampu dengan cepat, sekali minum itu langsung habis. 

Selanjutnya, adakalanya orang-orang ‘terpayahkan’ dengan hal tersebut, terlebih khusus pada penyajian, atau sesaji, yang bertujuan untuk menjamu orang-orang, untuk menemani orang-orang dalam kegiatan tersebut.

Padahal, kalau dipikir sekali lagi, maka apa yang kita makan hari, kelak, saat giliran kita, itulah balasan dengan apa yang kita makan hari ini; bahasa ringkasnya, saat saya makan di rumah si a, kelak si a makan di rumah saya. Saat saya minum di rumah si a, kelak si a bakal minum di rumah saya. Soal sama dan tidak, itu menurut kesanggupan tuan rumah menyajikan apa-apa ang disajikan; tidak harus sama, tidak harus persis. Menurut kesangupan individu mampu menyajikan. 

Namun, seringkali saya mengamati, orang mulai kehilangan makna dengan perkumpulan makna tersebut; kehilangan ‘kepahaman’ dengan acara tersebut. maksud dari kehilangan makna adalah:

Manusia lalai dengan kesungguhan acara tersebut adalah bahwa:

Pertama, upaya doa bersama kepada orang tua, yang itu secara bergantian. Dengan kata lain, saya berkata: “Saya mempunyai hajat, yakni tolonglah bantu saya untuk mendoakan orang-orang yang mendahului saya sebagai berikut.” Sekali pun mereka menyadari bahwa mereka bakal mengirimkan doa kepada orang-orang yang mendahului.

Kedua, menjadi hidup yang realitas, yakni akur dengan tetangga, yang itu, mendoakan bersama; tentang kesejahteraan bersama, di dunia dan akhirat. Sebab, isi-isi tersebut adalah suguhan untuk menambahkan keimanan dan keislaman tiap-tiap individu. Alasannya, karena keadaan dunia mulai menjalin hiperrealitas; seakan mementingkan yang jauh dan mengabaikan yang dekat, begitu juga dengan yasianan; orang-orang yang yasianan. Bahwa mereka seakan-akan tidak mementingkan bagaimana yang dekat, dan tentang kedekatan orang-orang. Sayangnya, mereka menyadari bahwa mereka itu nyata dan teramat dekat. Hanya, kurang paham dengan apa yang terjadi.

Ketiga, saling menyaling tentang kemanusiaan; acara itu sesungguhnya adalah menyandarkan kuat pada hubungan manusia dengan manusia lainnya, terkhusus di lingkungan mereka, bahwa mereka jangan sampai lalai dengan lingkungan mereka, jangan sampai kehilangan makna dari lingkungan; yakni silaturahim dengan lingkungan. Wal-hasil, orang mengunggulkan kemalasan dan mementingkan kepentingan individu; padahal pada sejarah kemanusiaan, manusia itu, selain mahluk yang individu juga mahluk yang sosial. Namun seringkali orang menceraikan keduanya itu; seakan-akan manusia mampu berdiri sendiri pada lingkungan sosial. 

Keempat, saling mendukung tentang ‘semangat’ penghambaan atau keberibadahan. Menurut saya, banyak orang yang tidak memahami, bahwa dengan acara tersebut, maka terdapat tarikan ‘semangat’ tatkala bersama; yakni membaca surat al-quran, membaca tahlil, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Bukankah setiap apa yang dibacakan pada dasarnya dari individu, sekali pun tujuannya bukan untuk individu, melainkan buat orang-orang yang mendahului? Namun tetap saja, individu itulah yang menghamba, sekali pun tujuan individu itu untuk orang yang ditujukan. Walau pun, pada penyertaan maksud; individu pun didoakan. Artinya, saling menyaling mendukung dan mendoakan. 

Menurut saya, begitulah keindahan yang ditawarkan. Demikian.



2017

Belum ada Komentar untuk " Yasinan Bergilir Jumat Study Kasus Di Desa Wargomulyo RK 7"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel