Pengaruh Zaman Postmodern Terhadap Pemikiran Petani Yang Itu Berasaskan Islam STUDY KASUS DI DESA WARGO MULYO




Hipotesis awal: tatkala para petani telah sempurna dengan kepertaniannya, maka telah tercukupi tentang kehidupannya; maka terjadilah manusia yang makmur dengan kecukupan-syarat kemanusiaan; sebab manusia pada dasarnya membutuhkan kebutuhan pangan. Dengan menitik beratkan pada kekuatan pangan, maka telah terselesaikan kebutuhan manusiawi. Namun, tawaran zaman, atau kemajuan zaman dan syarat untuk menguatkan itu, maka pentingnya pemikiran yang kokoh, pemikiran sebagai pondasi untuk menguatkan hal-hal materi, apalagi di zaman seperti sekarang ini, filsafat menyebutkan, zaman postmodern, yakni berlangsungan zaman yang bertautan antara modern, keberlanjutan dari zaman pencerahan; yang tawaran pengetahuan telah menjadi dan lebat bukti-bukt pengetahuan, hal itu ditandai dengan maraknya alat-alat mesin yang itu mendukung untuk perlajuan kemudahan manusia. Maka, mau tidak mau; manusia, sebagai watak alami, yang menghendaki kemudahan-dalam-hidup, mengikuti gerak-gerik zaman yang seperti itu; jika tidak mengikuti, maka si para ‘ambisius’ atau orang-orang yang membiarkan nafsunya, akan membawa kemudahan-kemudahan itu, untuk melancarkan ‘kemudahan-hidupnya’ dengan cara, berdagang; itu sebabnya orang-orang nusantara (Atau Indonesia) layaknya, mengembalikan status pada nusantara, yang itu menjadi manusia emporium, yakni keberdagangan; hanya saja, sekarang, lebih condong untuk mengosumsi hal-hal yang berbaur dengan kemajuan zaman, dan orang-orang lebih memilih untuk ‘kebermudahan-hidup’ dengan menjual technology dan malalikan kebutuhan dasar manusia; sebab, sekarang, kebutuhan dasar manusia, bukan hanya: sandang, pangan dan papan, melainkan tertambahkan, yakni kebutuhan hiburan.

Kebutuhan hiburan menjadi tambahan yang kuat bagi manusia, terkhusus untuk manusia Indonesia, lebih khusus kepada desa wargo mulyo yang terkena bias dari Negara pusatnya, Indonesia.

LATAR BELAKANG

Wargo mulyo, adalah desa yang mengikuti pergerakan zaman, walau perlahan, walau pelan-pelan, namun turut serta mengikutii gelombang tawaran zaman, yang bahkan mengikuti gelombang internasional, yang itu secara agama maupun moral tidak melanggar, atau tidak ada langgaran, dan tetap melanggar sesuatu yang itu bertentangan dengan pelanggaran moral. Namun, mau tidak mau, desa wargo mulyo, mengerti atau mengetahui cara bagaimana pelanggaran moral itu tercipta, bagaimana pelanggaran moral itu teradakan; maka dengan memiliki ‘alat-alat’ teknologi, atau jalinan komunikasi, keterbukanya ilmu pengetahuan, manusia wargo mulyo pun turut serta meraimakan gelombang zaman, turut serta menjadi ‘arus’ yang global tawarkan itu. Begitu juga, dengan mind-set yang tertanam dalam diri petani, mind-set, pemikiran menjadikan orang-orang turut serta mengikuti gerak-gerik zaman, yang mengharuskan—walau sebenarnya tidak juga diharuskan—untuk menstandarisasikan kehidupan. Pertanyaan dasar, bagaimana upaya menjadikan manusia untuk manusiawi di desa wargo mulyo, yang itu bahagia di dunia serta di akhirat?

Sebab, backgrone atau karakter manusia di desa wargo mulyo itu adalah manusia yang beragama, yang mempunyai prinsip tentang agama, yang mana tawaran agama adalah mendapatkan kebahagiaan di akhirat; akhirat adalah negeri atau tempat yang harus dipercayai untuk kelak, namun, dengan tekanan zaman, menjadikan manusia gegap-gempita menjalankan agama. Agama menjadi seakan kaku, dan seakan mempunyai jalur tersendiri pada alur-kehidupan; seakan, agama itu adalah keterpisahan dan keberstatusan manusia dari kehidupan. Agama seakan petal dengan kehidupan. Agama seakan pisah dari realitas yang ada. 

PEMBAHASAN

Realitas petani, di zaman sekarang, tidak bisa difokuskan menjadi petani, sekali pun kebutuhan dasar manusia adalah sandang, pangan dan papan; namun seiring diterimanya zaman, kebutuhan menjadi berbaur dengan kebutuhan hiburan. Maka pertambahan kata-kunci untuk hiburan menjadi teramat penting, karena memang zaman yang begitu menekan tentang kesibukan dan serba sibuk; atau sebenarnya, zaman menuntut untuk percepatan sehingga teradakan waktu yang luang, sementara zaman menuntut lebih untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, yang tujuan utamanya; untuk mendapatkan ‘kestandaran’ yang orang-orang telah garapkan. Yakni, keterikutan oleh pendahulunya. 

Di zaman yang serba cepat, tani, yang awalnya adalah proses penanaman untuk kebertahanan hidup, menjadi pola, hidup yang dipertahankan. Suatu kebalikan dari kalimat adalah sebuah prinsip yang berbeda; tani untuk bertahan hidup, maka kesahajaan atau kesederhanaan itulah yang dijadikan patok petani. Namun, jika, tani untuk hidup yang dipertahankan, maka kemewahan atau kesenangan itulah yang dipatokkan untuk petani.

Orang-orang berharap menjadi hidup yang bersahaja dan sederhana, namun, pergerakan zaman menuntuk orang untuk bermewah dan senang-senang, dan itu kebersahajaan lagi kesederhanaan sulit tercipta, karena zaman menuntut untuk percepatan. Zaman menuntut untuk bergerak cepat dan padat; yang itu pun didukung dengan alat-alat atau media-media untuk mempercepat.

Dahulu, tatkala ‘hewan’ atau binatangan yang dijadikan alat untuk penggiling tanah, atau penghancur tanah, maka kecepatan waktu itu sedikit berkurang. Sebelum itu, saat hewan belum digunakan, maka manusia hanya menggunakan alat manual untuk penghancur tanah, sebagi penggilingan: sebgai efeknya, zaman masih lambat, dan pergerakan yang lain pun masih lambat; namun karena keterlambatan itu, orang-orang menjadi semakin berkumpul untuk mempercepat kelambatan; maka jadilah guyup diantara manusia lainnya, yang itu saling membantu. Namun, karena hal itu, sebagian orang berpikir untuk mempercepat keadaan; di situlah mesin mulai bekerja. Sejak itu, dikatakan revolusi tani.

Yang bersamaan dengan itu, mesin demi mesin yang lain tercipta. Zaman menjadi serba cepat, zaman menjadi serba instan; para pekerja, yang awalnya tidak terkontrol kini menjadi terkontrol dan teratur, menjadi terikat dan mengikat pada suatu lembaga atau usaha-usaha; maka sejak itu, dikatakan revoulusi industry.

Yang bersamaan dengan itu juga, jadilah orang-orang semakin tertekan dengan keadaan, namun tidka mampu mengembalikan kepada masa sebelum itu, karena memang zaman telah terjadi seperti itu, dan watak alami manusia enggan mengalami kesusahan, selalu berdaya diri mengalami kemudahan. Maka bersamaan dengan itu, terjadilah mind-set pemikiran; manusia kehilangan ‘watak’ alami kemanusiaan. manusia membutuhkan hiburan, itulah manusia-manusia sekarang. Maka terjadilah revolusi hiburan.

Hiburan menjadi dan semakin menjadi; hiburan menjadi semakin meraja lela dan itu dinikmati, karena terjalin tekanan itu. tertekan oleh keadaan-keadaan itu; dan upaya pengubahannya, maka harus mengendalikan lewat kecukupan yang itu lintas bawah, yakni pertanian;

Yang itu tidak harus ‘bersumberkan’ pada kecepatan, melainkan ‘penerimaan’ akan pekerjaan, penikmataan akan proses bekerja, yang dialasi oleh agama; yakni, agama sebagai patok untuk pengendalian keakuan, yang itu berproses pada pemikiran, penanaman pada pikiran; bahwa dunia adalah sesuatu yang sebentar, adalah sesuatu yang itu tidak kekal.

Dengan mengikatkan diri pada tali agama, maka orang-orang akan tetap bekerja, dan menjalin kehidupan berkelas petani, yang itu sibuk dengan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian; yakni menanam, mengawasi, mengecek, dan memanen hasil tani. Yang bersaman dengan itu, keterikatan dengan keluarga dan tetangga masih terjalin, dan inti atau proses kehidupan menjadi semakin membaik; baik dalam arti kerukunan antar warga dan kerukunan antar masyrakat, yang lintasnya adalah lintas keluarga, lintas yang kecil, tidak muluk-muluk pada lintasan yang besar, tidak muluk-muluk pada lintasan yang lain.

Dengan mengikatkan tali pada agama, maka orang-orang tidak akan meninggalkan kewajiban sebagai hamba untuk beribadah kepada-Nya, serta mencukupi kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, papepan, dan sandang. Bersamaan dengan itu, maka orang-orang yang lebih lama, atau lebih aktif giat pada agama, akan menjalani proses-pengetahuan agama, yang itu untuk kepentingan kebersamaan; yang itu kepentingan rakyat; membahas fikih, tentang fikih kerakyataan, tentang keindividual, tentang kebersamaan, keputusan-keputusan ulama dipegang erat oleh pemerintahan sebagai wadah terhadap keilmuan.

Sehingganya, pemikiran para petani tidak akan muluk-muluk untuk mendapatkan ‘keduniaan’ lebih, karena telah berprinsip agama bahwa dunia-ini adalah sementara dan akhirat lebih kekal; dan tugas ulama adalah menyampaikan kekokohan agama supaya para umat lebih yakin dengan hal tersebut. sementara tugas pada umara (pemerintahan) merencakan bagaimana supaya rakyat lebih mapan atau tercukupi terhadap ‘gerak-gerik’ undang-undang kemanusiaan; yang itu tidak saling mengunggulkan kepada satu sama lain, yang itu tidak saling bersaing untuk lebih mendapatkan satu sama lain, karena manusia pada dasarnya adalah satu kesatuan, dari rahim yang satu dan jalin menjalin, yang tujuannya adalah menikmati bagaimana keduniaan, yang itu tidak melampaui batas untuk kepernikmataan, tidak melampaui batas untuk hal kesenangan, dan tidak melampai batas terhadap kemanusiaannya.



2017

Belum ada Komentar untuk " Pengaruh Zaman Postmodern Terhadap Pemikiran Petani Yang Itu Berasaskan Islam STUDY KASUS DI DESA WARGO MULYO"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel