PERANAN AKAL DAN HATI DI ZAMAN KONTEMPORER STUDY KASUS DI DESA WARGOMULYO



saya ingin berkata:

Bahwa peranan akal dan hati di zaman kontemporer, khususnya di desa Wargo Mulyo, bahwa keduanya telah terjadi yang statusnya berimbang, sepadan, hanya saja, dominasi kepada hati, iman. Namun, ternyata, keimanan tidak sepenuhnya untuk dikatakan menang; keimanan masih sering dikatakan ‘iman’, tidak sempurna keimanannya, maksud saya, pengetahuan serta pelaksanaan tentang sesuatu yang disebut dengan keimanan. Orang-orang bergiat dengan acara agama, namun tidak sepenuhnya benar-benar mengerti esensi dari keagamaan; mereka sering ‘terjebak’ pada kebiasaan yang ditawarkan agama. Sering ‘sekedar’ mengikuti yang ditawarkan oleh gerakan agama. Namun kurang mengerti tentang ‘esensi’ dari keagamaan; alasan saya mengatakan tidak paham ‘esensi’; mereka terbiasa dengan apa-apa yang dilakukan namun tidak mengerti asal-usul yang dilakukan, artinya kurangnya, penyampaian sejarah tentang ‘keberadaan’ itu; maka dengan pengungkapan ini, berharap disampaikan sekali lagi, maksud-maksud yang dilakukan, jika itu paham esensi tentang ‘sesuatu’ tersebut, sehingganya, generasi selanjutnya, atau yang melakukan sekarang, bukan sekedar pelaksanaan, melainkan paham apa yang dilaksanakan. Sementara itu, status akal (rasio; filsafat) sering digunakan, namun itu terbatas pada apa-apa yang telah disampaikan, karena kurangnya pengetahuan tentang sejarah, maka kurang mengerti asal-usul sehingga kurang terjadi sesuatu untuk ‘pengkritisan’ terhadap objeknya. Penempatan akal, diletakan, di sekolah, sekedar menunaikan kewajiban untuk disekolah, sekedar kewajiban yang itu pelaksanaan yang harus dijalani, dan ritual test atau ujian, menjadi kebiasaan yang kurang termaknakan; sehingga, ketika telah lulus, lalu diuji secara realitas, maka ‘pengangkapan’ terhadap keilmuan, laksana hilang dan tidak melekat. Karena, tujuan pendidikan, bukan tentang ‘bagaimana mendapatkan ilmu’ melainkan guna untuk mendapatkan pekerjaan; karena zaman telah menuntut untuk bermind-set uang, laksana, uang menjadi ukuran untuk keberlangsungan hidup. Oleh karena itu, status atau peranan akal dan hati di zaman kontemporer, khususnya di desa wargo mulyo, bahwa keduanya terlaksana, telah tersistem, namun tidak terjalankan sepenuhnya tentang ‘fungsi’ dari system tersebut.

Pertanyaan dasar saya, bagaimana peranan akal dan hati di zaman kontemporer? Yang saya batasi dengan study kasus desa wargo mulyo, yang tekena biasa dari gerakan dunia, terlebih khusus terkena bias dari Negara, namun, terkhusuaskan kepada desa wargomulyo. Yang bertujuan: mengetahui sejauh mana peranan akal dan hati di desa wargo mulyo. Mengetahui bagaimana keadaan yang terjadi di desa wargo mulyo.

Penegasan judul, akal adalah tentang filsafat, yang berkaitan dengan rasio, semntara hati berlabelkan tnetnag agama, yang berdasarkan pada keimanan. Orientasi akal tentu peranan bagaimana akal berfungsi di dewsa wargo mulyo, dan bagaimana peranan iman di desa wargomulyo.

Bagaimana peranan akal (filsafat) dan hati (agama; keimanan) di zaman kontemporer?



(YANG ME-) LATAR BELAKANG (i) SEKALIGUS PEMBAHASAN


Taufik berkata:

Desa wargomulyo adalah desa transmigran dari jawa, terkhusus jawa tengah, kabupaten purworejo, kecamatan kutoarjo; yang mana orang yang datang bertujuan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup, yakni tercukupi kebahagiaan dunia, karena lahan di Lampung, waktu itu, di tahun 1930 Masehi, masih luas dan lapang; mereka datang dari jawa, yang itu berstatuskan membawa ‘agama’ (keimanan) atau hati, yang ada di dalam dirinya, dan menjadi bagian dari jalan hidupnya, hal itu juga dipengaruhi oleh sosiologi keadaan di jawa waktu itu, yang mana orang-orang telah tertanam nilai-nilai keagamaan, yakni islam. di tahun 1930 masehi, islam telah menjadi, namun belum sempurna kejadiannya, artinya, telah dijalankan sebagai kepercayaan, namun sekedar pada lintasan kepercayaan, terkurangnya, pengetahuan individu untuk beragama; yakni pengetahuan islam, pengetahuan yang itu syarat dengan bukti-ilmiah (epistemologis) ukuran islam itu sendiri. Ringkas kata, agama di tegakkan, agama dipertahankan, dengan cara, memberadakan tempat-tempat untuk ibadah (sekali pun ini terkesan subjektif, dan individu; bahwa mereka yang beragama, pasti membutuhkan wadah untuk ibadah. Lebih-lebih, keadaan zaman, yakni penyebaran islam telah mapan, tentu mereka telah terbiasa dengan kebiasaan keberadaan tempat ibadah.) lalu beranak pinak; dan anak-anak dididik untuk keberagamaan, belajar alip-bak-tak, untuk mengerti tentang al-quran, setidaknya mampu membaca al-quran; mampu membaca huruf al-quran; sementara itu, mereka masih menjalankan apa-apa yang diwajib-sunahkan dalam agama, menjalankan ‘perkumpulan’-perkumpulan acara keislaman, menjalankan kebersamaan atas nama keislaman. Dan konsentrasi agama, waktu itu, awal-awal keberdirian desa, masih diprioritaskan pada sisi lain, karena mereka juga mempertahankan ‘kesejahteraan ekonomi’—kesejahteraan hidup-- .

Karena tujuan utamanya kesejahteraan hidup, yang itu juga, para pembesar atau para transmigran awal, adalah orang-orang yang beragama , atau setidaknya menyukai agama, atau orang yang ‘mencintai’ agama; untuk kediriannya, maka mereka membangun tempat ibadah, setidaknya untuk mereka sendiri, maksudnya mereka-mereka yang beragama; maka didirikanlah masjid, atau tempat untuk bersujud bersama; sebagaimana yang telah didirikan di kota-kota jawa, tentang bertebarnya masjid, maka sebenarnya para transmigran ini sekedar meniru untuk menerapkan bahwa desa wargomulyo adalah desa yang itu beragama, atau beragamis.

Maka berjalannya waktu, keterikatan antara masyarakat dan agama, masih kental. Hal itu, karena diawai oleh para pendahulunya, lebih-lebih, di desa wargo mulyo, ditempatkan status ‘kiai desa’ artinya, tokoh yang ditempatkan untuk ditempatkan pada desa sebagi kiai. Yang konon, kabarnya, Kiai Desa tersebut, Mbah Ibnu Qosim, adalah teman dari lurah desa, yakni Mbah Sanusi; teman dari mondoknya di Jawa. Yang awalnya, konon, cerita mbah Ibnu telah bermukim di Metro, Lampung, dengan kemapanan hidup, lalu disuruh meninggalkannya dan disuruh pindah ke wargo mulyo, untuk mengurusi keagamaan di desa, dan menjadi Kiai Desa. Mengapa demikian, karena penempatannya berada di Masjid Pusat atau Puser dari desa Wargo Mulyo; yakni menempati dearah pokok wargo mulyo. Yang dimaksud dengan daerah pokok wargo mulyo, karena daerah tersebut belum ramai, sehingga itulah yang menjadi keramaian di desa; lebih-lebih jaraknya berdekatan dengan orang-orang pokok (pembesar) yang berada di desa Wargo Mulyo. Kedekatan atau keterikatan tersebut, mengindikasikan adanya jalinan hati dan akal; hati untuk hal-hal rohani dan akal untuk hal-hal jasmani. Yang tentu, dengan para pembesar yang seperti itu, berjalannya, waktu, para cerdik-cendekia, atau orang-orang yang berlabelkan ‘pengetahuan’ islam, bersinggah di desa wargo mulyo; entah itu bertujuan untuk mencari kesejahteraan hidup, atau menyampaikan agama.

Maka desa Wargo Mulyo, berprosesnya waktu, menjadi ‘ramai’ selayaknya kebiasaan desa yang ada di Jawa, yakni banyak orang yang mengaji, banyak orang yang mempelajari agama, banyak orang yang mengajari alip-bak-tak; sehingganya, pada proses selanjutnya, orang-orang generasi kemudian, meneruskan pendidikan agama ke jawa—entah bertujuan mencari aji-aji, keampuhan, atau apa-pun itu, yang pasti, dengan backgrone seperti diatas, menjadikan orang-orang pergi mencari ilmu; dan itu ke Jawa—

Dan waktu terus saja bergulir, orang-orang semakin banyak yang berada di desa wargo mulyo, asal-usul kekeluargaan, atau segelintir orang menjadi beranak-pinak, dan menjadi akar-muakar yang itu bertalian keluarga besar, yang tatkala ditilik-tilik maka desa wargo mulyo, mendominasi besar tentang kekeluargaan, yang sekarang dan paling ‘eksis’ adalah IKBRMS (Ikatan keluarga besar Raden Mas Sujono) yang bertahan sampai sekarang, yang itu digagas oleh Imam sujono (Mbah Jono), yang awalnya, katanya, ‘yang mencari adalah pelajar yang itu dari jawa, pak Adnan Mahmud dan Damanhuri: yang ternyata, tatkala berada di jawa, di kutoharjo, telah ada daftar sisilah tersebut); maka gerakan keagamaan semakn menjadi, dan kebiasaan atau acara-acara yang itu beratas-namakan keislaman pun semakin antusias, belum lagi terdukung oleh kebiasaan jawa—yakni kebiasaan tentang kebersamaan atau penghormataan; layaknya pujung memunjung dan yasinan, aqikahan, kendurenan, pamongan, dll--; acara-acara itu semakin menjadi tatkala manusia semakin banyak.

Sampai sekarang, acara keagamaan; atau atas nama keagamaan, masih ramai—walau kenyataannya, mulai mengikis, tergerus oleh zaman, keyakinan seakan tertepiskan, keimanan seakan sekedar diksi bahwa itu adalah keimanan—yakni tempat-tempat ibadah semakin ramai, tempat-tempat ibadah semakin bagus (Artinya; upaya masyarakat masih membutuhkan keagamaan dan menyukai keagamaan; sekali pun tempat itu taruklah sepi yang ibadah, namun mereka masih mendukung yang itu secara materi), acara islami setiap tahun diadakan, malah berlangsung yang itu terus menerus dan tidak putus-putus, kebiasaan lebaran masih teradakan, dan tariqat, dan para pengajar alip-bak-tak, yasinan, kirim doa, yasinan, tahlilan, dan pakaian-pakaian keislamian pun ramai. Yang berarti, saya mengatakan: islam masih ramai.

Walau pada akhirnya, banyak acara namun lalai dengan esensi acara; khususnya acara keislaman, ada acara namun lalai maknanya: acara adalah wujud, sementara esensi adalah isinya; isi adalah keimanannya, itulah yang menjadi kendala.

Selanjutnya, pada arah akal, maka saya katakan:

Arah akal adalah upaya untuk membertahankan kehidupan secara materi, atau jasmani; sebagaimana orang-orang transmigrasi, maka hal itu salah-satunya bertujuan untuk cukup secara materi, karena di daerah lampung bertanah yang lapang. Dan pendayaan akal adalah upaya mempertahankan kehidupannya, yang itu mereka telah membawa ‘status’ akalnya dari jawa, artinya, mengaca atau bercermin dari orang jawa lewat pengalamanya sebagai manusia jawa yang telah ramai dan menjalin sosial serta interaksi sosial. Di zaman itu sebenarnya telah ada sesuatu untuk penguatan akal, yakni sekolahan, sekolah dari Belanda, yang selanjutnya dari jepang, namun yang lebih kuat dari Belanda.

Belanda adalah Negara bagian eropa, yang membawa tradisi tentang eropa, yakni filsafatnya, yang orientasinya tentang positivistic; ilmiah. Yang itu telah menyebar di daerah-daerah jawa pada waktu itu, dan para transmigran, karena datang masih berdaya untuk mencukupi hidupnya;

Maka titik tekannya adalah kehidupan praktis yang itu menyelamatkan kediriannya. Menyelamatkan tentang kemanusiaannya. Seakan, tatkala Indonesia menjelang merdeka di tahun 1945 Masehi, di Desa Wargo Mulyo, layaknya tidak terkena efek-efek nasional itu, bila pun terkena efeknya, maka itu adalah sekedar ikut-serta untuk mengefekkan apa yang terjadi di kalangan nasional; karena tujuan utama dari nasional adalah menyatukan orang-orang yang ada di nusantara untuk mengusir ‘penjajahan’, seringkas itu; maka orang-orang yang awalnya, berkelompok (bahasa sekarang; komunitas) demi kelompok, maka disatukan menjadi satu kesatuan untuk mengusir penjajah, sementara itu, para transmigran, atau ini juga stategi orang Belanda untuk memencarkan orang-orang jawa, maka diadakan transmigrasi, karena—menurut saya—orang belanda membaca karakteristik orang jawa, yang itu membutuhkan kebutuhan materi juga, inilah yang disebut kolonisasi. Dan desa wargo mulyo, masih juga termasuk pada era kolonisasi, walau pun itu pada tahun 1930 Masehi.

Sebagaimana pendidikan umum di jawa, pesantren, atau pengajian, inilah yang umum, yang dilakukan oleh rakyat-rakyat umum di nusantara, karena pendidikan khusus itu berlaku bagi kalangan khusus, yakni pihak-pihak orang kerajaan atau kelas-kelas orang pembesar jawa. maka potret, di desa wargo mulyo teradakan pendidikan umum di jawa, yakni mengaji; yang tujuannya, mendayakan diri pada ‘keagamaan’ atau mengorientasikan ‘hati’ atau ‘iman’.

Tujuan orang-orang berpendidikan supaya mengetahui. Supaya hidupnya mapan, yang itu secara dunia dan akhirat. Karena agama, tawaran agama, senantiasa kepada nilai akhirat.

Kemudian, gerakan nasioanal diadakan kepernasional secara umum; bahkan seting pendidikan secara umum diselenggarakan; yang itu lebih berpatok atau meniru tentang gaya belanda namun tetap memegang teguh tentang keindoneisaan, yang itu bersemboyan: ing ngarso sung tulodo, ing madyo bangun karso, tutwuri handayani. Sebuah jargon tentang pendidikan, yang diusung oleh Ki Hajar Nusantara.

Namun perjalanan waktu, pengetahuan semakin marak, pengetahuan semakin terbuka, ranah-ranah pengetahuan semakin blak-blakan, buku-buku melimpah, tawaran zaman semakin melimpah, tawran media menjadi-jadi, pendidikan laksana sebuah tekanan dan sibuk pada ranah teks demi teks—pada pasa isu kontemporer; filsafat diarahkan pada filsafat analitik, yakni filsafat tentang kebahasan atau tentang kritik tentang sesuatu yang menampakkan-- pendidikan laksana kehilangan arah sekali pun pendidikan telah mempunyai arah. Pendidikan menjadi ‘kewajiban’ yang itu sekedar kewajiban, yang tujuan utamanya ‘kecukupan secara materi’ dan lebih lagi, karena pendidikan telah diwajibkan. Maka mau tidak mau, orang laksana dipaksa harus berpendidikan. Pendidikan laksana tempat bermain atau kumpul-kumpul teman, yang itu terkesan becandaan; sementara realitas kadangkala menuntut untuk keseriusan. Tekanan demi tekanan di zaman yang semakin terbuka, akibat pengaruh zaman yang menjadi global dan kelas-kelas internasioanal, seringkali ukuran-ukuran standar adalah kelas-kelas nasional. Dan pendidikan lamat-lamat diartikan sebagai perlombaan kebersaingan tentang kecerdasaan; maksud dari bersaing adalah upaya untuk cerdas secara individu dan mengalahkan individu yang lain. Yang bersamana dengan itu, pendidikan diorientasikan kepada nilai ekonomi; yang bertanya tentang apa yang dikerjakan. Sementara itu, realitas yang terjadi:

Di desa wargo mulyo, dominasi para pelajar, setelah lulus dari pelajarannya, atau selepas dari sekolah menengah atas, atau bahkan sekolah menengah pertama; seringkali menjadi ‘pekerja’-pekerja yang itu berkaitan dengan pekerja praktis. Masuk pada perusahaan demi perusahaan; atau bahkan menjadi pengusaha sendiri, yang itu berkaitan dengan kesenian, dan hal-hal lain; hingga kemudian, dipertanyakan tentang: untuk apa pengetahuan yang telah diperoleh pada status belajar yang telah dilewati? Jika untuk menjadi pekerja perusahaan yang itu sekelas menjadi pekerja-bantu, yang seringkali, proses bekerja adalah monoton (begitu-begitu saja; laksan robot) dan bahkan diajari pada saat berada di perusahaan; membutuhkan proses waktu untuk ‘belajar’ yang itu berkutat pada teks dan pembacaan. Selanjutnya, jika mereka hendak menjadi ‘pengusaha sendiri’ mengapa sejak dini, tidak didik untuk turut serta pada ‘proses-usaha’ yang kemudian diajarkan pada sesuatu yang praktis dan realistis; tidak malah ‘meluangkan’ waktu terhadap sesuatu yang disebut dengan sekolah, atau sering diakukan: mencari ilmu.



PENUTUP

Dengan melihat uraian di atas, dapat dikatakan:

Status atau peranan akal dan hati di zaman kontemporer, khususnya di desa wargo mulyo, bahwa keduanya terlaksana, telah tersistem, namun tidak terjalankan sepenuhnya tentang ‘fungsi’ dari system tersebut: kehilangan arah terhadap apa yang diarahkan.



2017

Belum ada Komentar untuk " PERANAN AKAL DAN HATI DI ZAMAN KONTEMPORER STUDY KASUS DI DESA WARGOMULYO"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel