Sejarah Pendidikan Di Wargomulyo
Senin, 26 Maret 2018
Tambah Komentar
Di Wargomulyo itu orang-orangnya datang 1930 Masehi. Tepat 15 tahun sebelum Indonesia merdeka, artinya masih di era kekuasaan Belanda. Sekurang-kurangnya, orang-tua kita (sesepuh kita) berada dalam didikan gaya belanda: gaya Belanda mulai mendidik pun terjadi 1900 Masehi, alasannya karena orang-orang nusantara, kebanyakan protes terhadap orang-orang Belanda: lalu orang Belanda menetapkan keputusan Politik Etis.
Itu pun kalau para sesepuh kita masuk orang yang terdidik, atau masuk sekolah. Itu tidak menjadi kemungkinan.
Namun yang pasti, pendidikan gaya pesantren di Nusantara, waktu itu telah ada. Telah ada dan ramai. Keramaian hal itu bisa ditelusuri dengan adanya pondok pesantren, dan konon Mbah Nawawi juga orang Pondokan, orang santri. Namun kalau melihat secara sosiol yang ada di Wargomulyo saat ini, maka pendidikan agama memang diutamakan. Setidaknya mengenal huruf hijaiah di utamakan dibanding huruf capital.
Ada dua tanda yang utama, huruf hijaiah berarti kajiannya berorientasi pada islam. Dan huruf capital berarti kajiannya berorentasi pada Belanda.
Dan yang marak terjadi di Wargomulyo adalah kajian hijaiah. Artinya belajar agama itu yang diutamakan. Dan pelajaran yang datang dari Eropa itu masih belum.
Tentu saja tujuan dengan mengaji agama islam adalah pembentukan moral, pembentukan aklak, itulah yang terjadi. yakni upaya untuk manusia berakhlak baik, yang kemudian mengenal hukum: benar-salah, pada sudut pandang (perspektif) islam. Baik-buruk, menurut Islam.
Namun yang penting diketahui, bahwa orang-orang datang yang bertujuan untuk mempertahankan hidup. Mempertahankan hidup dengan cara kerja. Kerja olah tanah, itulah awal sesepuh kita. Tentu saja bersamaan dengan itu dan seperangkat kepengolahan tanah, yaitu peternak dan berkebun.
Mereka menebang pohon-pohon, dan memanggil kerabatnya dari jawa untuk menempuh hidup di Wargomulyo. Yang dimaksud menemupuh adalah menjalani ‘prosesi’ kehidupan yang aman dan nyaman. Aman dari tekanan orang-orang penjajah (Belanda), aman dari tekanan orang-orang yang menjajah (mengatur kemanusiaan; entah itu penarikan pajak, atau penarikan upeti yang keterlaluan).
Saat mereka hidup di Wargomulyo, mereka mengolah tanah. Menerapkan tirakat. Tentunya, menjauhi dari kemapanan yang ada di Jawa; dengan berpikir yang lebih praktis.
Ketika kehidupan lebih praktis, maka ‘ilmu pengetahuan’ semakin dibutuhkan: apa itu ilmu pengetahuan? Yakni teori untuk menjalankan atau mengatur tentang kehidupan, atau bahasa lainnya mengaji itu semakin ditekankan. Sebelum itu, tentu saja, pendidikan yang paling diunggulkan adalah pendidikan keluarga: yakni pendidikan yang ada di dalam rumah, interaksi orang tua dengan anak. Interaksi anak dengan anak. Itulah pendidikannya.
Ketika Indonesia merdeka, maka perlahan-lahan pendidikan formal itu digalakkan. Pendidikan formal itu dicetuskan: saya tidak mengetahui persis kapan Sekolah Dasar itu ada. Yang jelas, saat Indonesia merdeka, tahun 1945 Masehi, keadaan sosial seluruh Nusantara belum tenang benar. Penjajahan masih berlaku, bahkan sebelum itu, Jepang menguasai Nusantara.
Maksudnya mengusai Nusantara adalah menggantikan kekuasaaan utama, yang sebelumnya adalah Belanda.
Maka secara otomatis, keadaan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berjalan lancar. Pendidikan masih ada pertautan akan kekuasaan. Pendidikan masih dibayangi model kekuasaan. Bahkan di era Jepang: upaya Jepang mendidik bertujuan untuk menguatkan kekuatan untuk mendidik Jepang. Bahkan memiliki Program: Penjepangan yang ada di Nusantara. Tujuannya, menghilangkan ‘Kebaratan’ yang diterapkan di Nusantara. Tapi itu, hanya terjadi tidak lama. Di tahun 1945 masehi, masyarakat Nusantara semakin ‘geger’ dan akhirnya memunculkan pro-klamasi: yakni menjadi Negara, maka dinamakan Negara Indonesia.
Dan proses menjadi Negara, keadaan sosial Negara belum tenang. Oleh karena itu, pendidikan belum sepenuhnya di lancarkan. Pendidikan belum sepenuhnya digerakkan. Apalagi di desa Wargomulyo, desa yang jauh dari pusat perabadan Nusantara: desa yang jauh dari interaksi pondok pesantren, dan bahkan orang-orangnya yang mendasarkan pada ‘mempertahankan’ hidup. Tentu saja, untuk ‘program’ sekolah belum digerakkan. Barulah setelah Presiden Soeharto, pendidikan itu semakin digerakkan: itulah menurutku, pendidikan Formal yang ada di Desa Wargomulyo ada di era Presiden Soeharto. Namun sebenarnya itu bisa ditelusuri dengan keberadaan SD yang ada di Desa.
Akhirnya, tujuan saya menuliskan ini adalah supaya kita mengerti status kita. Mengerti tentang sesuatu yang menyertai kita. Mengerti tentang kemampuan kita. Bahwa begitulah ukuran ‘pengetahuan’ kita. Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Pendidikan Di Wargomulyo"
Posting Komentar