Rasio

Taufik, kau terlalu mengedepankan rasiomu. Terlalu menggunakan rasiomu. Seakan-akan hidup itu semulus apa yang kau rencanakan, bahkan kau membuat rencana pun kewalahan, sebab rencanamu berdesak-desakan dan kau berdaya diri untuk mensejahterakan rakyat umum kemanusiaan, ingatlah, memikirkan dirimu sendiri kau kewalahan, bagaimana kau mampu memikirkan banyak orang? Ingatlah, keguguran rencana yang kau rencanakan, yang kau susun, tidakkah kau mengambil pelajaran dari itu. yang mana, saat kau membuat rencana ialah kau sarat dengan nilai-nilai ide, dengan pemikiran, tapi tidak dengan aksi, bila pun dengan aksi; paling bisa kau membuat dialog.

Menciptakan dialog dan tubuhmu memontang-panting ke sana dan ke mari. Persis sosialisasi; sosialisasi yang tersembunyi dari tujuan tersembunyi, bukankah kedatanganmu pada tempat-tempat itu mempunyai tujuan? Atau jangan-jangan kau tidak mempunyai tujuan, dan berdaya diri untuk menemukan tujuan? Artinya sekali kau belum memahami tentang dirimu; kau belum benar-benar memahami dirimu pada zaman apa, dan di era apa? Bukankah kau mengetahui, sekarang kau berada di era sistematis, dan teratur, era yang terencana; dan orang-orang, bahkan sekelas para filsuf, mampunya bertindak sebatas pembuat wacana.

Terbatas pada wacana, gagasan, ide, dan kata. para filsuf mengklaim seperti itu. namun kau berkehendak untuk melampaui itu, sementara itu, lihatlah dirimu sekali lagi, lihatlah tubuhmu sekali lagi, lihatlah dirimu, Taufik, sekali lagi lebih jelas dan terang.

Kau belum menjelma penyair, sebab penyair yang tidak mengasilkan uang. sebab karya yang belum mampu menyelamatkan jasad dan ruhmu.

Kau belum menjelma cerpenis, sebab cerpenmu belum mampu menghasilakan.

Kau belum mempunyai karya yang jelas, sebab tidak mampu mendudukan dirimu lebih focus pada apa yang kau pertahan.

Dan pada takaran filsafat, kau masih berada pada takaran epistemology, yakni bersarang di dalam sekte keilmuan. Itulah dirimu. Itulah dirimu.

Di saat susunan filsafat telah sempurna, yang kini beraliran terhadap kebahasaan atau hermeunetik, atau teori kritis, kau masih berkecimpung pada idealisme-keakuan, kau masih dalam takaran epistemology. Sementara keinginanmu ialah perwujudan hasil untuk laksana, sementara faktamu, kau masih menciptakan dialog. Bersamaan dengan itu, kau begitu menekan dirimu, laksana tertuntut sesuatu yang sangat besar dan terkesan menjadi sesuatu penyelamat perihal hal-hal besar, karena kau telah berpetualangan pada dunia kata dan untaian kebijaksaan, namun kenyataanmu, faktamu, kau belum mampu ‘mengendalikan’ tentang keselarasan kehidupan, Taufik.

Oleh karena itu, saranku, tenanglah terhadap apa-apa yang terjadi, Taufik. bersabarlah terhadap apa-apa yang telah menjadi ketentuan-Nya. Dan berusahalah untuk menjalani kehidupan yang biasa. Janganlah kau diperbudak oleh akalmu itu. janganlah kau disuruh-suruh oleh nafsu yang menyerang akalmu; nafsu berkuasa. Nafsu untuk menguasai. Nafsu ingin popularitas. Lepaskanlah hal-hal tersebut.

Pijakilah tanah yang sesungguhnya, tanah kehidupan normal, proses manusiawi yang sebenarnya, proses menjadi manusia sebagaimana manusia yang biasa. Tenanglah. Tenanglah. Bersabarlah. Mudah-mudahan Allah menunjukan jalan lurus untukmu, Taufik. Bersabarlah.

Belum ada Komentar untuk " Rasio "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel