Sejarah Pendidikan Di Wargomulyo bagian 2
Senin, 26 Maret 2018
Tambah Komentar
Sudah sering saya tuliskan, sejarah keberadaan manusia di Wargomulyo 1930 Masehi dan kemudian ternyatakan menjadi desa tahun 1935 Masehi, kata Pak Lurah Zainal. Dari itu, tentu bagiku menjadi ukuran untuk penulisan ini. artinya sebelum tahun itu belum adanya pendidikan di desa Wargomulyo:
Ketika kita berbicara sejarah, besar kemungkinan yang dicari adalah angka, yakni tahun. Atau bahkan yang sering dikoarkan atau dikabarkan sesuatu atas nama ‘pendidikan’ yakni pendidikan yang formal, yakni pendidikan yang sekelas sekolah, kesannya seperti itu.
Sejarah pendidikan formal yang ada di desa wargomulyo, saya dapatkan di disdasmen.com:
- Tahun 1977 Masehi, SD 1 Wargomulyo mulai aktif. Dibuat tahun 1974.
- Tahun 1978 Masehi SD 3 Wargomulyo (Kediri), mulai aktif. Di buat tahun 1977.
- Tahun 1982 Masehi SD 2 Wargomulyo, mulai aktif. Dibuat tahun 1981 Masehi.
Sayangnya untuk MI Al-Huda Wargomulyo, belum ketemu kapan waktunya.
Begitulah pendidikan formal yang ada di desa wargomulyo, padahal sebelum itu, di desa wargomulyo sudah mengenal tentang pendidikan, yakni pendidikan islam. Prosesnya mengaji alib-bak-tak; dan masyarakatnya adalah mendominasi Islam, tentu saja di sana ada proses pendidikan. Yakni adanya ceramah, adanya khutbah jumat.
Bahkan sekolahan yang ada di sekitaran rumah Mbah Jono itu, tepat di sekitaran rumahnya Mbah Jono itu, ada sekolahan. Sekolah yang seperti apa? Sekolah yang mengajarkan huruf capital: yakni a b c d e f dan lain sebagianya, dan juga ilmu hitung 1 2 3 4 5. Yang pasti, sekolahan yang bergaya laksana Belanda. Bahkan sampai sekarang, Sidodadi itu, masih sering disebut ‘kampung sekolahan’: karena sejak awalnya disanalah yang teraktifkan menjadi tempat untuk sekolahan, yang kemudian berkembang dengan adanya MI pepomnu, yang masih ada di sidodadi. Pemilihan tempat di sidodadi, agaknya lantaran ada orang yang mengajar di sana, yakni Mbah Abdullah Sidiq, adiknya Mbah Nawawi (Lurah pertama wargomulyo), atua bisa jadi, keberadaan sekolah yang ada di kampung sekolahan karena di sana agaknya tempat yang pas untuk pertengahan desa wargomulyo. Sebagaimana kuburuan (makam) yang berada tidak jauh dari sana.
Di sini saya berupaya membatasi territorial pendidikan di desa Wargomulyo, yang sekarang: artinya tidak membahas tentang territorial desa Wargomulyo di era dulu, yang itu mencapai kepada Sukodadi, Pujodadi, Kuputundan, namun sebatas wargomulyo yang dibatasi oleh Kampung-tengah dan Gunung Sari.
Di sini juga saya ingin mengabarkan (Atau tepatnya mengingatkan, atau mengulangkan) bahwa pendidikan di desa Wargomulyo itu di dasari agak-lebih kepada keagamaan, terlebih khusus di desa pusatnya, yakni wargomulyo pusat. Hal itu mampu terjadi karenaa alasan orang-orang transmigran dahulu kala pun begitu, orientasi yang diutamakan ialah tentang pendidikan keagamaan: sebabnya, di era itu, besar kemungkinan tidak mengikuti pendidikan yang Belanda tawarkan. Toh bila pun belanda menawarkan, besar kemungkinan adalah kepada orang-orang bangsawan atau daerah-daerah perkotaan: belum menyeluruh ke desa-desa, ke pelosok-pelosok.
Sementara itu, manusia Nusantara, sejak lama berpatokan tentang pendidikan agama. Entah itu agama hindu maupun islam; sebab dari system hindu itu kemudian ‘ruang’ yang digunakan itu menjadi system pesantren. Sekali pun sebenarnya islam mempunyai cirri khas tersendiri terhadap pengetahuan, yang itu agak semodel dengan system pesantren. System pesantren: ada kyai, tempat tinggal santri, dan tempat tinggal guru. Biasanya santri membantu keperluan hidup gurunya: membantu perihal usaha yang dilakukan guru dan murid nantinya akan makan dari apa yang diberi gurunya. Lebih-lebih murid dianjurkan untuk tirakat. Hal itu ‘seakan’ tercermin kuat pada ajaran pe-Guru-an hindu: atau tradisi hindu.
Tradisi hindu itu bisa kita lacak dengan pemikiran-pemikiran orang hindu, seperti Rabindat Tagore, atau sejarah pendidikan di India. Carilah, sekarang pun eranya searching: hanya saja kendalanya, mau atau tidak.
Karena tradisi keislaman di wargomulyo itu lebih-berarti (kemungkinan juga yang lebih cocok kepada pola pemikirna manusia nusantara; sebab tawaran keagamaan itu bersifat praktis. Yakni, bekerjalah tapi jangan lupa ibadah. kamu harus enak duniamu, tapi harus enak juga akhiratmu. Minimalnya surgalah. Walau pun surga yang letaknya paling bawah. Maklum kita, bukan manusia jazirah arab, tapi kita manusia Nusantara. Tentu saja ada perbedaan antara manusia jazirah arab dan manusia Nusantara: sebabnya tradisi kita suka ngerowot dan tirakat, dan tradisi jazirah arab suka makan, umumnya; perhatikanlah pola makan mereka. Pastilah sarat dengan perdagingan. Lha manusia nusantara: sambel terasi dan nasi saja sudah nikmat. Lha nusantara, alamnya itu sangat subur. Yang pasti, jangan disamakan karakter manusia jazirah arab dengan karakter manusia Indonesia: kami berbeda. Jazirah arab orangnya bagus-bagus, keren, bola matanya bunder, hidungnya mancung, alisnya tebal, kulitnya putih-bersih. Lha manusia nusantara itu: hidungnya pesek, kulitnya sawo mateng, bola matanya, jarang kalau sebundar orang jazirah arab. tradisi keilmuannya pun berbeda. Lha jazirah arab suka hapalan, tradisi kita melaksanakan. Sebabnya, alam kita mendukung; alam mendukung untuk olah tanah, untuk keringatan, untuk bertemu hewan-hewan buas. Itu sebabnya, di zaman dahulu kala banyak ilmu mistik di nusantara: semacam kanuragan di film-film. Dan perguruan demi perguruan adalah perguruan silat. Yang letaknya jauh dari kota, letaknya jauh dari keramaiannya, biasanya di gunung-gunung. Ketika keluar dari padepokan, jadilah orang yang membela kebajikan dan membantu orang yang lemah. Akulah pendekar. Hahaha ) maka anak-anaknya ketika menjelang dewasa mengirim anak-anaknya ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa.
Mengirimkan anak-anaknya untuk belajar agama. Ada yang di Jawa Tengah, ada yang di Jawa Timur, ada juga yang di Jawa Barat. Termasuk orang wargomulyo, yang pulang lalu mendirikan pesantren ialah Wan Yahya (Habib Yahya), mendirikannya bukan di Wargomulyo tetapi di Jatimulyo, lalu Kyai Adnan Mahmud, mendirikan pondok di Way Harong, lalu Kyai Mahbub mendirikan pondok di Sidodadi, Kyai Muhdi Bakri alm, mendirikan pondok di Wargomulyo, dan juga Kyai Wahab di Sidomukti, dan Kyai … di Gombong. Dan saya belum tahu pasti tentang Kyai Satibi apakah dia memang berasal dari desa wargomulyo, atau beliau langsung mendirikan pondok di sukamaju. Semua itu adalah anak-anak yang lahir di desa atas nama territorial wargomulyo.
Keberadaan Kiai-Kiai tersebut mengindikasikan bahwa yang agak diutamakan perihal pendidikan yang ada di desa wargomulyo adalah pendidikan agama. Sebabnya, sebelum adanya pendidikan formal itu, anak-anak telah mengenal ‘kebutuhan’ untuk ngaji. Entah itu ditakut-takuti tentang neraka, atau itu dorongan lingkungan untuk mengaji karena teman-temannya ramai; atau dorongan orang-tua supaya anaknya mengaji, supaya anak baik kepada orang tua, supaya anak mendapat pertolongan dari Gusti Allah. Supaya anak masuk Surga. Hehe
Hingga kemudian, saat sekolah formal teradakan. Maka disaat itulah keadaan zaman semakin meningkat. Mulailah adanya kendaraan. Mulailah tempat-tempat lain mendirikan sekolahan. Hingga kemudian, terjadilah seperti sekarang ini: yang mana, sekolah menjadi sebuah tradisi atau kebiasaan yang itu sekedar berangkat dan tuntutan keadaan yang mengajurkan untuk sekolah. Tujuan utama dari sekolah ialah mendapatkan pekerajaan. Tujuan mendapatkan ijazah ialah untuk mencari kerja. Sebabnya kalau tidak ada ijazah maka akan sulit untuk masuk perusahaan-perusahaan, atau bahkan memasuki sesuatu keperdinasan.
Dan agaknya, di zaman seperti sekarang ini (Di era filsafat disebutnya: zaman postmodern. Apa itu? Searching saja ya. Intinya zaman setelah modern. Opo meneh kui? Searching saja ya. Hehe) kepentingan utama adalah tentang keuangan bukan tentang keilmuan, itu gambaran umumnya. Dan gambaran khususnya, kalau mementingkan keilmuan yang sangat, maka jadilah orang itu orang yang sangat individualis, sangat kental sekali dengan pembacaan, dan lupa dengan keadaan; lupa dengan realitas, yang diutamakan ialah ilmu, ilmu dan ilmu: mengapa begitu? karena dia berupaya untuk menjadi spesialisasi terhadap ilmunya, yang itu benar-benar menjadi special. Yang special itu, bukan cuma martabak lho, tapi juga dokter-dokter, dan lain-lain. Begitulah keadaan zamannya. Begitulah…
Belum ada Komentar untuk " Sejarah Pendidikan Di Wargomulyo bagian 2"
Posting Komentar