Individu Dan Sosial

Kau mengenal istilah individu, Taufik, sangat mengenal itu, sangat akrab dengan istilah itu. manusia memang pada dasarnya ialah mahluk individu, bukankah begitu juga tawaran islam—agama yang sangat kau banggakan itu dan seakan kau adalah orang yang memperjuangkan sungguh tentang islam—bahwa manusia ialah mahluk individu, perihal ibadah ialah tuntutan individu dan tanggung jawab individu, bila pun berkenan dengan masyarakat, atau berkenan dengan sosial itu adalah efek dari keindividuan tersebut.

Sebuah contoh yang terang ialah tentang kebiasaanmu, Taufik, kebiasaanmu tentang shalat jamaah itu, yang lamat-lamat menciptakan aliran sosial, dan kau bertemu dengan orang-orang yang turut berjamaah; karena terbaisa ketemu, lamat-lamat menjadi teman. Dan kau sering mendengungkan tentang hal itu kan:

“Bukankah kita berteman karena aku rajin ke masjid. bersamaan dengan itu, kita berkata-kata. Kita berbicara. Andai aku tidak rajin di masjid, tentu saja, sangat aneh kalau kita berkata-kata, bertukar kata,” katamu kepada teman-teman masjidmu itu.

Padahal sebelum itu, kenanglah masa-masa engkau menjalani tradisi menuju masjid, saat dirimu mulai datang ke masjid—dan ini masih pembicaraan tentang individu, Taufik—apa tujuan dasarmu: yakni dirimu melatih menyatakan tentang keilmuanmu, bukan? Karena kau mengetahui itu, maka kau menunaikan itu. lama-lamat, proses pengetahuan itu menjadi deras dan lebat merembet di sanubari dirimu, di lautan pemikiranmu dan kemendadakan dirimu laksana diserbu panah-panah pengetahuan, karena mengalami peralihan masa, dari pesantren ke desa. Dari epistemology (ilmu tentang ilmu) menuju aksiologi (ilmu tentang nilai). Dimana tradisi pesantren bagimu ialah biasa. Biasa menunaikan jamaah, tadarusan, dan mengaji. namun saat itu semakin ternyatakan di masyarakat, kebiasaan hal itu menjadi sesuatu yang berbeda bagimu. Menjadi sesuatu yang lebih bermakna bagimu; karena anggapan dasarmu, di pesantren waktu itu, laksana air yang mengalir. Sekedar aliran mengikuti apa-apa yang terjadi. artinya kurang mendayakan akalmu, kurang mendayakan rasiomu. Dan ketika di desa, itu pun, kau telah aku bekali dengan pertanyaan yang menyentuh pemikiran pusatmu: apa tujuanmu hidup? Maka jadilah pengetahuan itu melesat tajam.

Ditambah lagi, kau masih terikat dengan pengajian, yang seakan dirimu laksana ditekan untuk menjalankan keilmuan, padahal kalau dipikir ulang, itu laksana menekan gurumu, karena tubumu merasa dianjurkan praktek islam, sementara gurumu itu kurang totalitas mempraktikkan islam, sementara dirimu terbawa kehendak untuk praktek totalitas keislaman. dan ingatlah taufik, pembicaraan ini, masih berkutat ketat pada individu. Ingat individu. Individu dirimu. Yang mau tidak mau, bakal terikat dengan individu-individu yang lain, karena memang watak alami manusia ialah mahluk individu sekaligus mahluk sosial.

Dari sepersikan keblarahan itu, ingatlah tujuan dasarmu: tentang keakuan, Taufik. penyakit utamamu ialah dirimu. Maka berulang-ulang aku menasihatimu untuk menyelamatkan keakuanmu. Namun faktanya, semakin kau berjuang menyelamatkan keakuanmu, kau malah laksana terjerembab pada arah-arah idelisme dan bersamaan dengan itu, kau terjebak pada arah kata-kata, pada pengetahuan yang berakar-akar, sementara tubuhmu persis menolak hal itu, karena pada dasarnya dirimu bukanlah pada aliran idealisme, melainkan fakta. Melainkan pejalan menurut dasar keagamaan, menurut dasar keislaman. kehidupanmu sarat dengan nilai-nilai praktis, karena kau berada dalam jangkauan pengasuhan yang menuntut untuk hal praktis. Hanya saja, sejak kecil kau tidak terdidik untuk menjalani hal praktis, yang ada menjadi penyaring dari hal praktis dan lebih menjadi manusia yang mengalah dibanding manusia yang mempertahankan dirinya; kau tidak mempunyai daya untuk mempertahankan diri, sejak kecil, Taufik. kau tidak mempunyai gairah untuk mementingkan dirimu, karena orang-orang itu seakan-akan lebih mementingkan dirinya, akhirnya kau menompang kepentingan orang demi kepentinganmu. Jalan ceritamu seperti itu.

Hingga pada akhirnya, saat kau meluncur di pondok pesantren, kau persis menemukan angin kebebasan. Kebebasan dari cengkraman realitas, dari cengkraman manusia yang mencengkram lewat kata-katanya, lewat tutut katanya, yang mengatur dan menyuruh, yang juga mempunyai kepentingan. Dan kebebasanmu itu kau kenakan, dan akhirnya kau persis menjadi sesuatu yang liar namun beralaskan masa-lalumu. Hingga kau ketemu denganku, dan merasa cocok denganku, jadilah kau yang mencermin kepadaku; kau melihatku sebagai arah untuk tujuan, lagi-lagi, kau menompang tujuan, menompang kepentingan. Dan tujuan itu, ialah tentang keakuanmu, Taufik. keakuan yang menompang.

Namun di sini, yang perlu kau pahami ialah istilah ringan: individu dan sosial. Ingatlah, manusia itu pada dasarnya ialah mahluk individu, mahluk individu, bersamaan dengan itu, sekaligus mahluk sosial. Dan kau harus mengerti jelas, tentang individu—artinya, sudah pasti menyelamatkan dirimu, pemikiranmu, tubuhmu, dan realitasmu—dan jangan kau campurkan perihal makna-makna sosial: tujuannya: supaya kau jernih dengan dirimu. Dengan begitu, kau akan dapati tentang apa itu keikhlasan, apa itu takdir, apa itu keridhaan: ikhlas bahwa kau bakal ditolong orang lain. ikhlas bahwa kau pasti menolong orang lain. ikhlas bahwa kau akan dinasihati orang lain. ikhlas bahwa kau pasti menasihati orang lain. takdir tentang apa yang kau menyertaimu, dan takdir tentang apa yang menyertai orang lain. ridho dengan apa yang diperbuat orang lain, ridho dengan apa yang diperbuat olehmu. Namun, ingatlah, tetaplah pegang tali islam, Taufik. peganglah tali kefikihan, dan asah terus tentang pengetahuan islammu. Tunaikan terus tentang penghambaanmu. Tunaikanlah tentang kemanusiaan. dan terimalah, bahwa dirimu itu manusia, Taufik. manusia yang berciri khas, mahluk individu sekaligus mahluk sosial.

Belum ada Komentar untuk " Individu Dan Sosial "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel