Hidup, Pemikiran dan Kenyataan
Minggu, 30 Juli 2017
Tambah Komentar
“Hidupku mulai berantakan” Kataku, seketika, tatkala bertemu denganmu, orang yang dengan lapang-hati menerimaku. Dengan payah menerima keberadaan tubuhku, yang itu sekedar mendengar keluh-kesahku, keluh-kesah tentang pemikiranku.
Katamu, “Ah datang-datang engkau membawa kalimat yang buruk, yakni buat dirimu sendiri. Silahkan duduk.”
“Sesungguhnya aku tidak tahu mengapa aku harus bercerita ini kepadamu, yakni keberantakan hidupku, maksudku keberantakan pola pikirku, yang mulai tidak karu-karuan; bercampur aduk, beranting-ranting, dan itu menumpuk pada pemikiranku.”
Lalu isterinya datang membawa kopi. Dengan sabar dalam hati berkata, ‘ah lagi-lagi si galau datang dengan pemikirannya. Datang tanpa tujuan. Datang dengan ngobrol yang itu laksana menertawakan roda-roda kehidupan. Awalnya aku geram; benci, aneh, unik, lama lama aku pun mulai merindukan keanehannya, karena ternyata, suamiku juga begitu. hehehe aku mulai heran sendiri dengan pemikiranku. Ah pikiran. Pikiran…” batinnya, lalu lidahnya berkata, “Ini Pak, kopinya.”
Aku tersenyum melihatnya. Aku terkesan aneh dengan kejadian itu. Lalu engkau menawarkan kopi itu padaku. Kataku, “Saya sudah berulang kali berkata kepadamu, alangkah baiknya engkau ngopi di tempatku; karena aku tahu, bahwa aku ‘merindukanmu’, merindukan sosok sepertimu, untuk mendengar keluh-kesahku, kegalauan yang aneh, kemarahan yang tidak mampu diungkapan, kecuali kepada diriku.’
Katamu, “Ah di sini juga sama saja. Kalau cuma segelas kopi, aku mampu.”
Kataku, “Aku mulai hidup berantakan. Itulah tujuanku datang kepadamu. Menyampaikan tentang keberantakan yang aku alami, berantakan yang berarti; sesuatu itu tidak tersistem, tidak mulus di dalam proses kehidupanku. Yakni sesuatu yang membaluti tentang jiwa dan ragaku. Apakah engkau begitu?”
Katamu, “Ah engkau selalu menyeretku untuk mengungkapkan tentang kedirianku; tentang seluk beluk pemikiranku. Sebenarnya, aku pun begitu. Tidak tahu arahku dengan pasti, aku hanya mengikuti apa-apa yang telah terjadi. mengerjakan sesuatu yang aku mampu mengerjakan. Kehidupanku, seringkas itu.”
Kataku, “Lalu bagaimana kita menjalani kehidupan yang itu tidak mempunyai arah tentang kepertujuan, yang sebenarnya kita juga mempunyai tujuan, tapi ternyata, keadaan, menjadikan kita payah akan pengakuan tujuan. Keadaan menjadikan kita payah untuk mengaku benar bahwa kita bertujuan yang sama; atau jangan-jangan, kita sendiri yang menyangkal tentang apa-apa yang kita ketahui, lalu kita, sisi kemanusiaan kita, terpancing untuk mendorong kebersamaan, terpancing untuk berkehendak ‘mengatur’ apa-apa yang telah terjadi, atau jangan-jangan itu semua adalah tumpukan yang ada pada pemikiran kita?”
Katamu, “Hahaha terkadang hidup itu lucu dan ajaib ya..”
Kataku, “Aku juga heran, datang kepadamu saja, membuatku heran. Sebab, kenyataanku; sesungguhnya aku lelah, aku capek, seharian aku bekerja di sawah. Tubuhku lesuh, tapi pemikiranku; senantiasa mengajak tubuhku untuk datang kepadamu. Padahal, apakah engkau tahu, bahwa banyak kesibukanku di rumah; membaca, menulis, menyalin, menghafalkan, menonton film, atau mendengarkan lagi, banyak hiburan yang aku miliki. Namun ternyata, kenyataanku selalu menarikku untuk datang kepadamu, dan mengungkapkan kata-kata yang biasa, dan bahkan jarang terkesan ilmah; atau setidaknya membukakan tentang ilmu-ilmuku, atau sesuatu yang memberatkanku. Apakah bagimu aku terkesan lucu dengan keadaanku?”
Katamu, “Kadang aku juga heran kepadamu. Kadang aku juga ‘kangen’ kepadamu. Kadang aku juga bosan dengan apa-apa yang engkau tawarkan; seakan-akan ‘memaksa’ diriku yang itu untuk diriku, membukakan kedok-kedokku dan pengakuan-pengakuan atas diriku, tapi seperti katamu, mengapa aku heran dengan kedirianku; mengapa aku heran dengan apa-apa yang terjadi kepadaku. Toh itu tentang diriku, tentang keakuanku, tentang bekas-bekas sejarahku. Harusnya aku tidak heran dengan apa-apa yang terjadi kepadaku; karena itulah keakuanku. Itulah diriku.”
Dan seruputan kopi menjadi teman yang lalu untuk kata-kata kami. Dan udara malam menjadikan gelap-gelap dan terdapati percik-percik cahaya kami. Cahaya untuk diri sendiri, pada kegelapan diri sendiri. lalu pembicarana diteruskan dengan ikatan-ikatan yang menjadikan kita rekat:
Atas nama keislaman; orang-orang yang berstatus islam dan distatuskan keberagamaan islam, dan tentang desa dengan segala jenis pernak-perniknya, dan tentang keakuan dengan segala macam tangkapannya. Dan keluhan-keluhan yang mampu diungkapan, belum dilaksanakan. Dan tentang pengungkapan-pengungkapan kedirian yang berkaitan dengan Kediri yang lainnya.
Dan aku memutuskan undur diri, pamit, dan mengerjakan apa yang penting aku kerjakan; dan kembali bersama renungan tentang mengapa kejadian demi kejadian penting direnungkan.
Kataku, “Terima kasih atas waktumu. Untukku, yang tujuannya tentang pemikiranku, yang itu juga pemikiranmu.”
Sesaat kemudian, suaminya datang menghampiri isterinya. Lalu ditanyakan, “Apa yang engkau bicarakan kali ini?”
Jawab suaminya, “Ah biasa. Kesana-kemari. Hiburan.”
Kata isterinya, “Apa inti yang disampaikan olehnya?”
Jawab suaminya, “Ah biasa. Kangen. Dan aku teringat perkataannya: katakan pada istrimu, jangan cemburu bila ada orang yang merindukan suamimu. Hehe lucu juga kan?”
Kata isterinya, “Hehehe aneh juga ya..”
Kata isternya, “Apa yang menjadikan menarik pada pembicaraannya?”
Jawab suaminya, “Tentang keakuannya. Tentang pemikirannya, yang itu juga membicarakan tentang pemikiranku. Intinya: tentang ‘aku’. Bagaimana aku berpikir! Bagaimana aku bertindak! Bagaimana aku melakukan! Bagaimana aku, aku, dan aku: itulah pokok utama yang dibicarakan. Tentang keakuan.”
2017
Belum ada Komentar untuk " Hidup, Pemikiran dan Kenyataan"
Posting Komentar