APA KABAR, CINTAKU?








Apa kabar sayang? maksudku, kabar keadaan ekonomimu, yakni keadaan bahwa ekonomi adalah penunjang untuk proses kebertahanan tubuhmu, kebertahanan dirimu terhadap jalinan kenyataan yang itu sarat dengan nilai ekonomi. bahasa terangnya, duit, sayangku. Bukankah dunia sekarang, manusia, serba menjelma mata-duitan; itulah yang aku tanyakan kepadamu: bagaimana isi dompetmu? dan maafkan aku, yang belum mampu mengirimimu bersama dengan uangku, bukankah engkau juga tahu bahwa aku pun masih berdaya terhadap ekonomi. Ah begini, cintaku;



Ekonomi memang penting, tapi kita--ah sebenarnya saya ingin mengatakan 'aku'-- tidak boleh mengunggulkan ekonomi di banding kehidupan ini; bukankah engkau tahu bahwa ekonomi terbesar adalah keselamatan diri, keselamatan tubuh; andai kita--saya, maksudnya-- sakit, bukankah kita akan kepayahan mendapatkan ekonomi (nah, karena itulah seringkali orang-orang berdaya diri untuk mendapatkan pensiunan, dana pensiunan, alasannya; dengan tanpa bekerja, kelak mendapatkan jatah uang dari pemerintahan, begitulah dana pensiunan. Dan orang-orang senang sekali dengan hal itu. Maka jadilah orang-orang laksana menggantungkan diri untuk melarikan-diri kepada kerja-bayaran, yang kelak diupah dengan gaji pensiunan. Katanya, mengabdi negara. maka akhirnya, atau ujung-ujungnya, ingin mendapatkan gaji pensiunan.) yang jelas, kita tidak boleh terpikirkan deras dengan ekonomi, artinya kehartaan. Yang pasti, kita kembalikan manusia selayaknya manusia, yang membutuhi kebutuhan primer manusia; sandang, pangan dan papan. Bukankah sebenarnya itu telah mencukupi sarat menjadi manusia; sayangnya, jalinan kemasyarakatan, menjadikan kita mengejar sesuatu untuk 'membayar' apa-apa yang diberikan manusia kepada kita. Itulah buruknya pemikiran kebanyakan orang-orang diantara kita, yang tidak 'ikhlas' dengan apa yang dibagikan.



Ah maafkan aku sayangku, yang membagikan pemikiranku kepadamu, yang sebenarnya aku ingin mempertanya: Bagaimana kabarmu, sayang?



Maksudku, kabar keadaan dirimu, kabar tentang hatimu; apakah engkau resah dengan hantunya ekonomi yang melanda? artinya ekonomi adalah tentang harta. Memangnya, bagimu, apakah itu harta? iyakah kekayaan secara materi, lalu kita menjelma manusia yang sarat standar; yakni standar eropa? Yang mempunyai alat-alat teknology, yang diselimuti hal-hal berbaur mesin. Lalu, mempunyai baju-baju indah, kamar-kamar yang wangi, makanan-makanan yang mahal, buah-buahan yang berlimpahan; apakah itu yang membuatmu galau? Membuatmu sedih? dan kedatanganku kepadamu, melalui suratku, melalui 'kemiskinan' ekonomiku; adalah tanda kekayaan hatiku, bahwa kita, marilah, jangan terperdaya dengan 'serbuan' ekonomi; yang pasti sayangku, engkau mampu makan, engkau berpakaian, engkau mempunyai tempat. Bukankah itu telah mencukupi untuk 'kemanusiaanmu'?



Ah maafkan aku sayang, yang membagikan kata-kata, seakan dunia persis dalam balutan kata-kata. padahal realitas tidak sesimpel atau segampang kata-kata. Namun ketahuilah, dunia memang bukan sarat dengan kata-kata, namun dunia harus didasari dengan kata-kata; bukankah banyak hal yang mempengaruhi kita dan jawabannya berada pada kata-kata? Kata-kata yang itu untuk diri-kita sendiri; dan orang yang menasihati adalah sekedar menasihati dan keputusan berada pada diri kita sendiri. Orang-orang menyarankan adalah persaranan dan pada akhirnya, keputusan itu berada pada diri kita sendiri; bukankah begitu, sayang? begitu juga dengan kabarmu, bukankah kabarmu itu adalah hak milikmu seutuhnya, yang orang-orang tidak mampu 'merasakan' kabar kesungguhan yang engkau rasakan, yang engkau alami. itulah sebabnya aku bertanya kepadamu;



Apa kabar sayangku? Kabar tentang hatimu, kabar tentang kenyataanmu; apakah engkau menungguku? Alasan apa engkau menunggu? ataukah, engkau 'membesar-besarkan' diriku di dalam pikiranmu, sehingga engkau merasa begitu menunggu diriku, padahal ini tentang hidupmu, engkaukah lupa dengan nasihat yang mengatakan; tatkala mencintai, maka cintailah sewajarnya. apakah engkau malampaui kewajaran hal tersebut? Namun, jika engkau menunggumu, maka terimalah deraan waktu yang menguji, kita--ya, bukan engkau belaka yang menunggu -- untuk sebuah pertemuan. Sungguh, bukan engkau belaka yang terdera pada masa ini, aku pun begitu, namun, tetaplah kita berpedoman;



kita itu telah mempunyai garis yang telah digariskan, dan kita menunggu waktu untuk dipertemukan, menunggu waktu untuk dibersamakan. Sekali pun kita telah berdaya diri, sekuat-daya, bilapun waktu belum mengizinkan, maka belumlah jadi kita dipertemukan. Bukankah kita 'ketemu' atau berkenalan karena proses waktu? Yang itu tidak tiba-tiba, dan seakan kita telah dipasangkan.



ah kehidupan kita, seakan benar-benar orang yang pasrah dan begitu menyerah--yang jangan-jangan, akulah si pengecut yang kurang berani untuk mendatangimu-- karena mungkin, kita masih berdaya diri untuk menyesuikan pemikiranku dan pemikiranmu menjadi pemikiran kita; karena kita--ah sayalah saja,-- yang kurang tepat bersama dengan pemikiran kita. Namun, bersamaan dengan surat ini, kukatakan kepadamu;

apa kabarmu, sayangku?



2017

Belum ada Komentar untuk " APA KABAR, CINTAKU? "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel