Logosentris Filsafat Barat dan Logosentris Islam Analisis Historis-sosiologis metode filsafat




Ah sebenarnya saya hendak mengatakan, begini:

di saat orang-orang eropa mulai berpacu dan sibuk dengan logo atau berkesibukan dengan ‘tanda’, ‘lamba’, ‘simbol’, yang mana itu adalah ukuran tentang keberadaan realitas, di tahun setelah kemodernan—para filsuf ada yang menyebut masa postmodern-- ternyata, kalau diteliti lebih lanjut, islam telah berkesibuk dengan ‘logo’ sejak keberadaannya; maksudnya keberadaan kanjeng Nabi Muhammad sebagai penyampai islam; yang harus menyeragamkan tentang ‘perbedaan’ itu menjadi logo yang sama; yakni diserahkan sekaligus dipusatkan kepada satu ‘logo’, yakni Tuhan yang maha esa, Allah. (bukan berarti ini ‘melogokan’ Allah, melainkan secara ‘realitas’ harus diserahkan kepada yang satu, ringkasnya begitu.



Latar Belakang sekaligus Pembahasan




Manusia sibuk dengan logo (huruf atau lambang yang bermakna)nya masing-masing; artinya fitrahnya manusia, bahwa manusia adalah mahluk yang individu, satuan mahluk hidup, sekali pun banyak jumlahnya, tetap saja keputusan-hidup berada pada individu, nah keputusan-keputusan itu akhirnya menjadi ‘semboyan’ atua prinsip, yang kemudian ketika diungkapkan secara nyata, atau realitas, maka menjadi logonya sendiri. Sebab berbeda dengan logo yang lain; sebab setiap individu adalah manusia yang unik, dan mampu berpemikiran yang itu berbeda dengan individu yang lain. Maka kemudian, bersamaan dengan itu; orang-orang mulai sibuk dengan logonya sendiri; yang kemudian. Tatkala orang itu menjadi orang yang berpengaruh, yakni tukang pikir, yang didukung dengan kepunyaan hak atau keberanian; maka orang tersebut mempunyai logo, atau membuat logo atau lambang, untuk komunitasnya tersebut.



Sebagaimana yang terjadi pada kelompok-kelompok arab waktu itu, dan tradisi atau kebiasaan keberagamaan yang mendatangi arab waktu itu (ke mekah) adalah membawa logonya masing-masing.



(Dan logo disini, saya artikan seluas-luasnya, dalam arti tentang realitas-kehidupan, bukan sekedar tentang tanda-tanda huruf, melainkan sesuatu dibalik huruf tersebut. Menjadi realitas yang nyata bagi kehidupan.)



Yang tujuan utamanya, adalah mengikuti ‘logo’ kepercayaan sebelumnya (orang-orang sosiolog sering menyebutkan) yakni agama langit. Namun, karena berbeda tempat, situasi, dan kondisi; maka agama langit, yang orientasinya adalah percaya pada hal gaib dan mengimani sesuatu yang tunggal, Allah; hingga pada perwujudannya, menjadi beragam-ragam. Disitulah logo demi logo teragungkan. Logo demi logo terkontaminasi oleh kepentingan individu demi individu. Kepentingan individu yang dibaur untuk kepentingan umum. Dan disitulah kebenaran-tunggal agama samawi laksana menjadi buram dan samar, menjadi banyak dan bermacam-macam: di saat itulah, kanjeng nabi muhammad menawarkan ulang tentang penekanan terhadap logo yang tunggal, yang itu tidak harus mempunyai ‘logo’, tidak harus berlogo, karena kita tahu bahwa tujuan kita adalah sama, dan ternyata di sana ada kepentingan-kepentingan individu yang mengatasnamakan keumuman, yang itu secara nenek-moyang, yang beralasan; menyelamatkan tentang ekonomi, tentang jabatan, dan tentang nama populer, dan kehidupan manusia sesuatu yang terikat dan itu tidak sefitrahnya (semurnia) menjadi manusia; manusia menjadi terikat dengan logo-logo yang telah ada tersebut, dan kanjeng nabi muhammad berdaya diri (atau diutus) untuk mengganti ‘logo-logo’ tersebut, yang kemudian membawa logo yang baru, yakni Islam.



Yang mana, setelah wafatnya kanjeng nabi muhammad, banyak orang yang berkesibukan juga dengan logo yang baru, yakni islam. seringkali lalai dengan sesuatu yang hendak dituju oleh ‘islam’ itu sendiri; seakan islam telah menjadi sesuatu yang berhenti dan islam menjadi sesuatu ‘logo’ yang itu penting dikaji dari ini ke itu, dari itu ke itu, itulah yang saya maksud dengan ‘lalai’ tujuan dari islam itu sendiri.



sementara itu, pada filsafat barat –maksudnya, penekannya adalah keturunan para filosof, yang kencang menggunakan akalnya—setelah proses panjangnya, hingga kemudian, para filsuf terkonsentrasikan pada kajian yang sederhana ‘logo’; karena zaman mengajak untuk pembauran tentang tanda-tanda tersebut. inilah yang menjadi ‘persoalan’ pada filsuf-filsuf, seringkali ‘berkutat-ketat’ pada logo, karena itu pun menjadi perwabahan di dunia; dunia sibuk dengan logo, dan kepentingan logo. Yang itu lalai dengan tujuan hidup yang tidak seribet dan pepayah perlogoan tersebut.



efek-efek dari logo, atau tanda, tentu orang-orang akan mencari: ini milik siapa? Ini bermerek apa? Ini siapa yang membuat? Bagaimana popularitas sekarang? Apa yang ‘mboming’ sekarang? Dan begitu seterusnya.



Sementara keberadaan islam, masih juga menawarkan tentang kebersatuan logo, sekalipun mengikuti ‘pergerakan’ zaman, namun islam juga masih menawarkan kebersatuan logo; yang itu kita haru satu, yakni islam.



Akhir kata, jika isu filsafat kontemporer itu berkaitan dengan logosentris, yakni logosentris sebagai pusat kajian; sebenarnya islam telah menjadi seperti itu sebagaimana awalnya, berkaitan dengan logosentris; tanda-tanda. Hanya saja, titik tekan yang dianjurkan islam—pun sejak awal keberadaannya—adalah hidup realitasis; yang berpatok pada moral, atau aklak yang mulia. Demikian.



2017

Belum ada Komentar untuk " Logosentris Filsafat Barat dan Logosentris Islam Analisis Historis-sosiologis metode filsafat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel