KEHIDUPAN YANG SESUNGGUHNYA




Taufik, sesungguhnya maksud dari makna ‘kehidupan’ yang ada dalam pikiranmu itu seperti apa? Ah kamu ini, semakin hari semakin aneh pertanyaanmu, dan menjadikanku terngiang tentang Socrates kepada orang yunani dan engkau kepada orang-orang desamu, laksana orang yang tidak-tahu atau benarkah engkau tidak benar-benar mengetahui tentang apa yang ketahui? Atau jangan-jangan engkau mengetes dan menguji kepada orang-orang; atau sebenarnya apa maksudmu dengan bertanya seperti itu? jangan-jangan engkau mempunyai tujuan lain.

Apakah tujuanmu adalah menyadarkan orang-orang bahwa seharusnya hiduplah realistis di zaman yang semakin tidak realistis; hiduplah yang memegang kata, bukan yang melanggar kata. dan bagimu, ukuran kebenaran kata adalah pada kenyataan yang sesungguhnya, yakni pada ujaran atau lisan; bukan pada tulisan, dan tulisan hanya terfokus kepada kitab suci agama islam; al-quran? Dan engkau pun menganjurkan bahwa kalau ‘merujuk’ al-quran ‘jangan’ gegabah ditujuk secara keseluruhan namun harus dikenang juga sebab-sebab yang menjadikan al-quran itu ada; artinya, tentang realitas al-quran, bahwa petunjuk dari Allah itu berangsur-angsur, tidak sekaligus.

Maksudmu, kehidupan yang sesungguhnya adalah bercermin bagaimana keadaan islam di masa kanjeng nabi Muhammad ada, yang kemudian, tiap-tiap individu lebih menyibukkan diri kepada individu yang itu penghambaan kepada Allah dan tatkala berjumpa dengan individu yang lain, itu menebarkan kedamaian dan itu semua diikat oleh Tauhid, yakni bahwa semua adalah milik-Nya. Dan tidak harus ‘geger’ atau sibuk ketat dengan peraturan-tentang-keagamaan, maksudmu, fikih, namun lebihlah diutamakan kepada ‘rasa’ percaya kepada tuhanmu, dan fikih itu diterapkan jika ‘kumpulanmu’ telah kokoh imannya lalu diberadakan tentang kefikihan; sebagai perumpaan orang-orang yang hijrah dari mekah ke madinah. 

Kehidupan yang menyermin pada kehidupan kanjeng nabi di era kanjeng nabi Muhammad hidup; yang lebih mengutamakan tentang realistis kehidupan. Namun, sekarang, sudahkah engkau benar-benar membaca tentang kerealistisan masa di mana kanjeng nabi Muhammad hidup, Taufik. Maka engkau penting belajar sekali lagi tentang potret keseluruhan masa dimana kanjeng nabi Muhammad hidup, setidaknya itu untuk dirimu sendiri. Namun begini: 

Kadangkala aku juga merasa kasihan kepadamu—yang sebenarnya kadang geram juga dengan sikap yang engkau tawarkan, sayangnya, saya heran lalu saya membantin, ‘mengapa saya harus geram, padahal yang engkau tawarkan adalah kalimat tanya yang sederhana dan lugas, dan harusnya saya tidak geram; namun, karena engkau bertanya, saya malah menjadi geram, yang itu memuncak kepada diriku untuk mencari jawaban—; dengan pertanyaan konyolmu di zaman terang benderang ini. namun beginilah jawabanku:

Aku mengerti sungguh arah pertanyaanmu: yang mana engkau berharap dengan bantuan rasio (Karena zaman telah menggunakan kuat rasio) orang-orang haru sadar diri dan kemudian menjalin kehidupan yang itu berprinsip kuat pada nilai transenden, atau keimanan, atau ketauhidan dengan patokan: “Kita semua adalah milik-Nya, maka mengapa kita saling-menyaling dalam hal ‘keburukan’ dan mengapa tidak saling menyaling untuk kebaikan bersama, kedamaian bersama, bukankah kita telah berstatuskan agama islam? bukankah kita telah berprinsip panca-sila? Mengapa itu sekedar kata yang seakan adalah bekas sejarah atau tentang tulisan yang hanya dipandang atau hapal di mulut saja? Mari kita terapkan itu: mari kita terapkan itu. ini adalah sebuah ajakan, yang ukurannya tentang rasio, karena sebagaimana keberadaan zaman seperti sekarang ini, rasio itu unggul dan kuat; karena rasio itu unggul dan kuat, maka saya menjadi atau mewujudkan diri ke ‘peragu’, yang sebenarnya saya pun enggan menjadi peragu, karena sering disalah-pahami dan diklaim tentang keanehan: alasanku, karena saya melihat kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diprinsipkan. Saya berpikir, kalau kenyataan itu sesuai apa yang kita prinsipkan, maka sudah pasti—insyaallah—bagiku, tidak ada keraguan. Karena saya telah mengetahui yang menjadikan ragu adalah hal tersebut. dan saya akan menjadi pejalan biasa, yang itu sekedar menjalani apa-apa yang terjadi: itulah pemikiran saya. Karena saya melihat keadaan tidak senyata apa yang dikatakan, maka jadilah saya bertanya seperti itu. tujuan utama, ajakan bukan paksaan, tawaran bukan penghakiman, pikirkanlah bukan ikutilah, ikutilah mari berserah. begitu. – teringkas kata: memanusiakan manusia sebagai manusia; fitrahnya manusia. 



2017

Belum ada Komentar untuk " KEHIDUPAN YANG SESUNGGUHNYA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel