PENGARUH PERNIKAHAN PADA KEHIDUPAN; STATUS PENGETAHUAN KEHIDUPAN PADA ORANG YANG BERSTATUSKAN ‘MENIKAH’ TINJAUAN FILOSOFIS-HISTORIS YANG DIORIENTASIKAN PADA NILAI AGAMA ISLAM







LATAR BELAKANG

Saya seringkali ditangkap tentang ketidak-tahuan kehidupan saat menikah, dengan alasan bahwa saya belum ‘menikah’ dan tidak merasakan ‘tarikan’ kehidupan dengan efek-efek pernikahan, yakni jalinan sosial yang menyelimuti; jalinan interaksi kedua sepasang manusia berserta efek-efek sosial yang mempengaruhi kehidupan saat menikah. Yakni, interaksi dengan keluarga demi keluarga, manusia demi manusia lainnya. Seakan-akan bagi si orang yang menikah telah ‘mengetahui’ dengan sungguh tentang kehidupannya, karena mereka mulai merasakan; jalinan kemanusiaan yang sesungguhnya, yang itu sarat dengan kebutuhan kemanusiaan, serta jalinan sosial yang itu lintasnya luas.

Bersama dengan itu, saya akan mengkaji secara filosofis: tentang pernikahan. Dengan pertanyaan:

Apa pengaruh pernikahan pada kehidupan? Apakah ada perbedaan yang drastic pada diri individu saat menjalin pernikahan? 

(ah sebenarnya bukan itu yang hendak saya tawarkan untuk dibahaskan: yang pasti, hipotesis saya adalah bahwa individu pun mampu mengetahui atau bahkan memahami kehidupan sekali pun belum menikah.)

Tujuan saya mengkaji ini, atau meleraikan ini, untuk memastikan bahwa individu yang belum menikah mampu mengetahui kehidupan yang sesungguhnya di saat dia belum menikah.

PEMBAHASAN

KBBI Menyebutkan, ni·kah n ikatan (akad) perkawinan yg dilakukan sesuai dng ketentuan hukum dan ajaran agama, selanjutnya, ka·win [1] 1 v membentuk keluarga dng lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah: ia -- dng anak kepala kampung; 2 v melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); 3 v cak bersetubuh: -- sudah, menikah belum; 4 n perkawinan. Selanjutnya, ke·lu·ar·ga n 1 ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah: seluruh -- nya pindah ke Bandung; 2 orang seisi rumah yg menjadi tanggungan; batih: ia pindah ke Jakarta bersama -- nya; 3 (kaum -- ) sanak saudara; kaum kerabat: ia sering berkunjung ke Jakarta krn banyak -- nya tinggal di sana; 4 satuan kekerabatan yg sangat mendasar dl masyarakat;



Saya hendak membalikan anggapan, mengapa orang-orang mengatakan bahwa orang belum menikah tidak mengerti apa yang dirasakan orang-orang menikah. Karena, pertama, tidak mengerti tentang hubungan kedua orang yang itu menjadi satu; yang itu menekankan untuk proses kehidupan. Kedua, tidak mengerti tentang jalinan ikatan keperkeluargaan yang itu harus menjalin dengan orang-tua, saudara-saudaranya, ketiga, tekanan ekonomi untuk kebersamaan keluarga. Keempat, menjalin kemanusiaan yang itu bersifat sosial. Kelima, tidak mengetahui ‘tekanan’ rasa yang dialami orang dalam kehidupan yang senyatanya. Menurutku, itulah alasan mengapa orang-orang yang menikah menuduh atau mengklaim bahwa belum mengerti tentang kehidupan.

Pada sejarah kemanusiaan—yang itu ukuran agama—maka awalnya nabi adam as sendirian, lalu kemudian waktu, diberadakan Siti Hawa, lalu keduanya hidup bahagia di surga, yang kemudian, bersama dengan itu, berprosesnya waktu, mereka berdua melanggar tentang sesuatu yang tidak boleh dilanggar, maka kemudian dikenai sangki yakni turun ke bumi.

Pelajarannya, bahwa kehidupan setelah berdua, tidak seringkas tentang kehidupan yang itu secara sendiri, karena hal itu ada tekanan ‘kehatian’ atau ‘perasaan’ yang saling dorong mendorong di antara kedua belah pihak; bisa jadi, dengan itulah, orang-orang mengklaim (memutuskan) bahwa orang yang belum menikah tidak mengetahui sungguh tentang kehidupan, bahwa kehidupan adanya ‘proses’ hati yang itu tidak mampu didaya secara nalar, atau arah pernalaran, yakni arah pemikiran. Sesuatu yang diidam-idamkan pada satu pihak. Sebagaimana kisah Nabi Nuh as, yang mana keluarganya, tidak sepaham dengan apa yang diidamkan oleh ayahnya, Nabi Nuh, as. 

Selanjutnya, tentang jalinan keperkeluargaan: yakni, bahwa orang menikah, pasti bakal menemukan tentang jalinan keperkeluargaan, yang itu harus dimengerti dan harus dibaiki atau dijalin, yang bersamaan dengan itu, maka ada juga tekanan, tentang keperekonomian sekaligus ‘pembagian’ waktu untuk mempererat tentang perjalianan keperkeluargaan itu. dan seakan, orang yang belum menikah tidak mengetahui hal tersebut, seakan hal itu adalah sesuatu yang memberatkan; padahal, pada sejarah kemanusiaan, sebagaimana yang ditekankan untuk keislaman, maka harus adanya jalinan keperkeluargaan yang itu tekananya adalah silaturahim,

Kemudian, tekanan ekonomi untuk kebersamaan keluarga. Sekarang, tujuan apa orang mencari ekonomi; yakni tentang kebutuhan individu untuk mempertahankan tentang kehidupannya. Dalam undang-undang kemanusiaan, kalau orang tidak mampu untuk mencari ekonomi, maka tidak akan mampu bertahan, setidaknya bertahan tentang hidup. Lebih-lebih kebutuhan eknomi tentang sosial; yakni ukurannya adalah umum. Umum adalah kumpulan dari individu-individu tersebut, seperti pergerakan zaman, yang menuntut untuk nilai-nilai keperekonomian; yang menuntut untuk nilai-nilai uang. seperti mendapatkan undangan untuk acara tasyakuran, acara pengajian, acara-acara umum, yang itu bersyarat untuk keperluan keuangan. Jawabanku, jika saya mempunyai uang, maka saya akan membayar. Kalau saya tidak punya, maka saya tidak membayar. Dan saya akan mendatangi kalau saya di undang, namun, kalau saya diharuskan untuk ‘mengupahi’ atau memberikan sodaqoh kepada orang yang mempunyai acara, sementara saya tidak mempunyai uang, maka tentu saya tidak akan memberikan sodaqoh. Atau bahasa yang lebih umum, saya akan membantu mereka yang itu sedang kepayahan. Jika saya sedang kepayahan atau pada posisi kepayahan terlebih khusus pada ranah ekonomi, apakah saya akan membantu mereka yang payah dengan ekonomi. Namun zaman sekarang, seringkali tujuan itu lebih ditekankan tentang kepentingan ekonomi dibanding kepentingan-bahagia. itu pun yang menjadikan alasan orang-orang mengatakan, orang yang belum status menikah seakan tidak mengetahui hal tersebut.

Kelima, tidak mengetahui ‘tekanan’ rasa yang dialami orang dalam kehidupan yang senyatanya. Artinya, tidak mengetahui bagaimana tekanan pihak isteri, pihak anak, pihak keluarga, pihak orang lain kepada di aku. Jawabku, bukankah si aku adalah si aku itu sendiri. Yakni yang berpemikiran sendiri, yang mempunyai pemikiran sendiri. Pemikirannya tidak ada yang mampu menerobos untuk diputuskan orang lain, jika ‘si aku’ mempunyai teguh pendirian terhadap apa yang menjadi ‘kediriannya’. Jika dianggap berbeda dengan yang lain, sekarang, tujuan apa orang menyampaikan itu sehingga mempengaruhi perasaan ‘si aku’; memang fakta menjawab, manusia seringkali ‘hatinya’ di serang—hati itu yang mengaduk tentang emosi kemanusiaan—lalu si manusia mencak-mencak, sehingga, dirinya, atau ‘hatinya’ tertekan terhadap hal tersebut. padahal, sejauh ini, atau yang telah kita ketahui, bahwa ‘rasa’ itu adalah subjektif, yakni bersifat-keakuan, yang itu bersemayam dalam diri. Yang itu bertalian kepada si aku, yang jika dalam pernikahan, kemudian ‘rasa’ itu ditautkan dengan pasangannya, maka jadilah ‘perasaan’ yang menyatu; itu pun kalau berprinsip sama. Kalau pasangan itu benar-benar dihadirkan untuk kecocokan. Dan karena itu pula, seringkali orang yang belum menikah di tuding tidak-tahu tentang bagaimana ‘kehidupan’ sebelum menjalani menikah.

PEMBAHASAN KEDUA: ANALISIS TENTANG KEHIDUPAN

Kehidupan, yakni proses tentang hidup. Adalah keumuman, yang tiap-tiap individu yang ada mengalaminya. Dan pembahasan ini disudutkan kepada manusia sebagai sasarannya; maksudnya, kehidupan manusia. 

Pada dasarnya, karakteristik manusia adalah mahluk yang individual sekaligus mahluk sosial. Yang membutuhkan keperindividuan sekaligus sosial. Yang tiap-tiap individu dikenai tanggung jawab dengan keindividuannya; yakni bertahan secara individu. Dan proses bertahan, dibutuhakan dengan adanya, tempat, pakaian, dan makanan. Itu pun sudah masuk pada undang-undang umum kemanusiaan, yang telah dibekali dengan ‘hukum-hukum’. Bukankah tatkala kita membaca sejarah, maka undang-undang manusia tidak harus berkebutuhan: sandang, pangan, dan papan. Melainkan, secara manusia, manusia hanya membutuhkan pangan. Yakni, makanan. Untuk mempertahankan kehidupannya. Yang itu ukuran makanan pun, tidak harus dengan ini itu, melainkan ‘sesuatu’ untuk mengganjal sesuatu di dalam diri manusia, yakni rasa lapar manusiawi.

Saat lapar tiba, disitulah manusia membutuhkan makan. Selanjutnya, setelah kita membaca sejarah, atau analisis sejarah yang kongkrit, setelah manusia menjadi banyak dan beranak-pinak, maka manusia itu barulah menetap; dan istilah itu selanjutnya seringkali disebut dengan rumah atau papan. Yang tujuannya, adalah menetapkan tentang kemanusiaan yang bertujuan untuk mempertahkan hidup secara manusia. Yang bersamaan dengan itu, karena manusia dibekali dengan hasrat atau nafsu biologis (Seksual) maka ada manusia yang menutupi alat vital biologis tersebut; bersamaan dengan itu juga, karena manusia itu bersama-sama, maka manusia mulai menentukan hukum demi hukum, aturan demi aturan, yang tujuannya untuk mengatur kemanusiaan satu sama lain, karena sama-sama hidup, yakni menjadi manusia.

Dan zaman sekarang, manusia telah melimpah dan menjadi sesuatu komunitas demi komunitas, menjadi manusia yang banyak, dan aturan telah membaur bersamaan dengan aturan tersebut, seakan aturan itu telah dibakukan untuk kehidupan dan harus menjadi seperti itu, yang itu bersamaan dengan seperangkat aturan-aturan yang ada. Padahal, tujuan kehidupan yang menetap itu, awalnya untuk kenyamanan, keamanan, dan kebahagiaan bersama. Yang saratnya, karena telah berperaturan seperti biasa—yakni sesuatu yang telah menjadi kebiasaan—maka harus diberadakan pakaian, makanan, dan rumah. 

Ketiga kata kunci itu seakan telah menjadi baku dan harus menjadi seperti itu. seakan, kesan untuk ‘berpergian’ laksana di kurung dan itu salah. Seakan, tatkala tidak-berpakaian itu adalah sangksi sosial, tatkala tidak berrumah adalah sesuatu yang itu salah, karena tidak mapan. Maksud saya, bukan berarti menolak tentang pakaian, dan menganjurkan orang tidak berpakaian, maksud saya, jika kita berkesibukan tentang pakaian, maka sesungguhnya tidak ada tekanan untuk berpakaian kalau itu hidup berdua di hutan yang tidak ada mahluk sosial yang lain, menjadi kaum primitive yang baru. Karena di zaman seperti sekarang ini, orang lebih cenderung menjadi manusia konsumeris, atau kaum yang berhuru-hara dengan pakaian, seakan pakaian menentukan tentang kehidupannya. Pakaian menjadi andalan tatkala acara kebersamaan. Pakaian menjadi wujud-wujud perbedaan tentang keperstatusan. Dan seterusnya, hingga pada akhirnya, orang-orang gegap gempita untuk mengumpulkan pakaian demi pakaian, karena penggunaan pakaian pun bertempat-tempat; itulah zaman sekarang, yang telah menjadi zaman komunitas demi komunitas, yang dari tiap-tiap hal tersebut, membutuhkan pakaian yang berbeda-beda. 

Selanjutnya, rumah. Manusia seringkali, berdaya diri untuk tidak hilang dari kehidupannya, dari keluarganya, dari kerabatnya, bahkan saat kehidupan (untuk mempertahakankan kehidupannya) payah, masih berdaya diri dan bertahan, dan payahnya lagi, berjuang semampu daya mengikuti tradisi atau kebiasaan orang-orang yang telah ramai berkeluarga. Maka, sebagaimana orang-orang yang telah ramai berserta dengan keluarga demi keluarga, atau bahasa di sini adalah manusia telah mengelompok; maka tentu, acara demi acara ramai, dan di sana mulai ada tawaran ‘keindahan demi keindahan’; seringkali, manusia lalai untuk hijrah (berpindah) ke tempat, yang itu untuk mendamaikan kedirian, kemanusiaan, serta kebahagiaan individu; yang disana, menjalin kehidupan baru, berserta tatanan kehidupan yang baru, yang itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan yang pernah dialaminya di daerah yang ramai. Maksud saya membicarakan hal ini, karena rumah, di zaman seperti sekarang ini, menjadi tekanan kuat, bagi pasangan keluarga yang baru, yang diwajibkan untuk mempunyai rumah. Pilhan saya, kalau tidak mempunyai dana yang cukup, maka berhijrah, ke tempat yang terpencil, yang itu jauh dari hiruk-pikuk keramaian, menjauh dari interaksi sosial awalnya. Dan di sana, membentuk keluarga baru, dan itu harus dipaksakan karena keadaan atau situasi realitas tidak mendukung untuk hidup di daerah yang itu ramai dan sarat dengan jalinan kemanusiaan.

Lalu terakhir, makanan; di zaman yang transportasi dan media, maka orang-orang melihat menu demi menu makanan, dengan kemasan demi kemasan, bungkusan demi bungkusan, dan manusia mendominasi tertarik untuk mencicipi rasa demi rasa, dan jadilan manusia, laksana berprinsip, makan untuk kesenangan. Bukan makan untuk hidup. Melainkan, makan untuk kesenangan.

Hal itu; bila dikaitkan dengan islam:

Ukuran keimanan bukan dari pakaian, melainkan takwa. Itulah dasarnya.

Ukuran rumah adalah tentang persinggahan sementara, karena akhirat adalah akhirnya.

Ukuran makanan adalah kecukupan, karena kehidupan dunia adalah sementara, yang sebenarnya adalah akhirat.



Begitulah yang mampu saya uraikan. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "PENGARUH PERNIKAHAN PADA KEHIDUPAN; STATUS PENGETAHUAN KEHIDUPAN PADA ORANG YANG BERSTATUSKAN ‘MENIKAH’ TINJAUAN FILOSOFIS-HISTORIS YANG DIORIENTASIKAN PADA NILAI AGAMA ISLAM"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel