KEHILANGAN ARAH
Selasa, 25 Juli 2017
Tambah Komentar
Apa yang terjadi denganmu, Taufik? Katakan kepadaku, ingatlah selain kepadaku, kepada siapa engkau mengeluh sungguh; bukankah kejadianmu adalah kesementaraan yang nanti kalau kau diamkan akan lenyap bersama deraan waktu, dan keberadaanmu adalah tentang tujuannya, yang itu untuk kepentinganmu, tentang kemasa-depanmu; maka amatilah kebusukan pemikiranmu, Taufik. Kenapa engkau imbu hal itu dalam dirimu; buanglah… buanglah… buanglah… katakan kepada dirimu, selamatkan dirimu; dari api neraka yang nyalanya teramat nyata, tidakkah engkau percaya hal itu, Taufik. Ingat, keselamatan ada pada lisan. Jagalah lisanmu; sebab, aku membaca, tujuan lisanmu yang itu untuk kepentingan masa-depanmu—ah seakan engkau telah membaca terang masa-depanmu, padahal masa depan itu adalah perkara gaib, Taufik; masa depanmu tidak sejelas itu, Taufik. Itu pun kalau engkau beranjak menjadi tua dan renta. Bagaimana kalau sepuluh hari engkau tiada? Maka pikirkanlah hal itu, Taufik.
Kenalilah, kegoncangan hatimu itu berasal dari dirimu, Taufik. Andai engkau menerima ‘keadaan’ tanpa memberikan protes atau sangkalan, atau percikan; ah perduli sekali dengan hal-hal itu; kenanglah, masalah umum, jawabannya ada pada umum. Masalah umum, itu mempunyai jawaban, yang itu tidak mak-glezeg, melainkan berproses. Maka sekarang, tenanglah. Jangan kobarkan mereka yang itu untuk kepentinganmu—karena aku melihat engkau menyembunyikan atau merahasiakan tentang kepentinganmu. Dirimu dibayangi menjelma pahlawan; oh pahlawan yang tidak mampu berdiri sendiri, oh pahlawan yang tidak pemberani, itulah dirimu Taufik. Maka latihlah engkau berdiri sendiri; yakni, keseluruhan dirimu, bukan dari bantuan yang lain, melainkan dirimu.
Kalau engkau tidak mampu mengerjakan, jangan dikerjakan, atau kalau engkau mau, maka belajarlah.
Kalau engkau menjadi penakut dan berdaya diri menghilangkan rasa takutku, maka belajarlah.
Kalau engkau bermindset ada yang menakutimu sementara engkau tidak takut kepada yang menjadikannya takut, maka sesungguhnya; ada berhala pada pemikiranmu, Taufik, hancurkanlah.
Ingatlah, saat keimanan islam itu mendarah daging bagimu, maka semua adalah gelombang perintah-Nya, semua adalah tetang-Nya, semua menjelma kuasa-Nya, dan dirimu adalah sesuatu yang itu hanyalah mengikuti bagaimana takdir di lesatkan; apakah engkau lalai bahwa apa-pun telah dibagikan? Sayang, manusia dibekali akal dan dengan itulah ‘nafsu’ menjadi kembang dan wanginya dihirup oleh hidung kebanggaan manusia, maka sadarilah ‘pernafsuanmu’.
Bukankah yang terjadi kepadamu, adalah tentang proses ‘nafsumu’; nafsu yang tersembunyi dari dalam dirimu? Sekarang, pentingkanlah dirimu. Pentingkanlah keilmuanmu; pentingkanlah perjasadanmu; tenangkan lidahmu, tahanlah panca-inderamu. Dengan begitu, engkau senantiasa tidak bakal kehilangan arahmu; tidak akan tersesat pada rimba pemikiranmu. Tidak menyesat pada rimba perakalanmu. Namun, kalau engkau menerima apa-apa yang terjadi padamu, hari ini, saat ini, maka harusnya engkau menerima dengan benar-benar menerima. Tidak ada protes. Tidak ada protes dari pemikiranmu. Tidak ada protes dari hatimu. Engkau tenang. Engkau santai. Engkau biasa saja; bahwa apa-pun itu akan berlalu. Bukankah yang menderamu hari ini adalah tentang apa-apa yang sebenarnya engkau belum benar-benar menerima tentang waktu? belum benar-benar menerima tentang apa-apa yang menyelimutimu? Jikalau engkau menerima; sekali pun engkau mendaya diri menggunakan akalmu, tetap saja, harusnya, hatimu tenang, pemikiranmu tenang. Dan engkau mempunyai jawaban dari segala soal yang datang kepadamu. Dan bukannya soal yang singgah kepadamu adalah bahwa engkau belum cukup ‘pengetahuan’ untuk menjawab soal-soal yang bersinggah padamu? Sekali pun telah menampung pengetahuan, tetapi engkau belum mengerti tentang ‘caranya’; maka sebelum benar-benar menjadi, manusia; yang itu menjalin dengan manusia lainnya, sempurnakanlah tentang pengetahuanmu, sempurnakanlah tentang ‘caranya’, dengan begitu, engkau akan mudah menjawab masalah yang ada. Menjawab masalah yang itu praktis, realistis, dan sementara; bukankah engkau pun mengklaim bahwa dunia ini sementara? Mengapa engkau ‘berdaya diri’ menyatakan bahwa dunia ini kekal. Bagiku, masalah pun sementara Taufik; jika tidak mempunyai jalan keluar, pastilah akhirnya engkau menemukan jalan keluar kalau engkau berdaya diri untuk memahami realitas yang sesungguhnya.
Akhir kata, saat engkau kehilangan arahmu. Kenanglah, bahwa dunia itu sementara. Tenangkan akalmu, dunia ini sementara. Tenangkan hatimu; rasakan gelombang yang menggerogoti hatimu, menggerogoti tentang arahmu; bukankah arahmu adalah selalu mengarah kepada-Nya. Maka tetaplah ingat dengan-Nya, dengan mengingatnya hati menjadi tenang. Ingatlah… ingatlah… ingatlah…
2017
Belum ada Komentar untuk " KEHILANGAN ARAH"
Posting Komentar