Pergerakan Manusia di Zaman Hiperrealitas Serta Kebutuhan Manusia Yang Nyata
Selasa, 18 Juli 2017
Tambah Komentar
Maksud dari apa yang hendak saya katakan di sini adalah tentang kebutuhan manusia, yakni secara jasmani dan ruhani. Intinya begitu, yang itu penting didukung oleh pemerintahan dan ulama (orang yang berilmu)
Zaman sekarang, sering disebut dengan zaman hipperrealitas, yang mana jalinan demi jalinan terjalin yang itu melampauii realitas sebenarnya; itulah yang disebut dengan hiperrealitas, melampaui realitas yang sebenarnya. Tandanya, manusia seringkali lebih menjadi penontonton di banding pemain; manusia menjelma komunitas yang itu malampaui daerahnya, sehingga manusia menjadi (laksana) asing bagi lingkungannya. Manusia menjadi asing bagi masyarakatnya. Masyarakat yang diketahui oleh dirinya. Manusia yang diketahui secara pasti oleh dirinya—ah maksud saya, manusia yang itu adalah lingkungannya, manusia yang itu adalah keluarga dan para tetangga. Atau lingkungan terdekat.
Karena pergerakan zaman, manusia sering dan biasa menjauhkan diri dari keluarga, para tetangga, dan lingkungan sekitar. Manusia malah menjalin dengan lingkungan yang agak jauh dari tetangga dan keluarga dan lingkungan sekitar; mereka membuat komunitas demi komunitas yang itu menjauh dari tetangganya, melainkan tetangga yang lebih jauh, berkumpul dengan orang-tua, yang kemudian menterjadikan menjadi keluarga baru, menjadi lingkungan baru bagi si aku, yang sebenarnya mempunyai keluarga, sanak keluarga, karena ketidak-cocokan dengan lingkungan, yakni mempunyai problem terhadap lingkungan, yakni tidak kesusuaian antara orang-tua dan anak, antara yang tua dan muda; artinya kurang ada jalinan yang harmonis, yakni saling membutuhkan satu sama lain, maka si anak, selaku, manusia yang mengikuti orang tua, harus mencari sesuatu untuk kepentingan dirinya-sendiri, wal-hasil harus ‘mengasingkan’ dirinya dari lingkungannya.
Padahal, sebenarnya, kebutuhan manusia, adalah menjalin kenyataan, yang itu berkaitan dengan sanak-keluarga, lingkungan terdekat; yang mana ada sisi rohani dan sisi jasmani. hal itu, yang sebenarnya hendak saya katakan adalah bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan sesuatu yang itu bersifat jasmani dan rohani. Jasmani untuk kebutuhan materi, dan rohani untuk kebutuhan ‘pikiran’ atau kebutuhan ‘di dalam’ dirinya.
Sekali pun zaman serba canggih, manusia tetap membutuhkan realitas yang sebenarnya; yakni, ingin menjadi ‘pemain’ bukan sekedar menjadi ‘penonton’ pada layar-layar, menjadi ‘penonton’ adalah hal-hal yang dilihat dan ditiru; yang seringkali hal itu terjadi, malah dari sisi negative, atau hal-hal yang melanggar tentang etika umum, missal berkaitan dengan seksual.
Padahal di zaman yang serba maju, manusia membutuhkan ‘wadah’ untuk menampung sesuatu yang itu seimbang, yakni antara negative dan positif; sebab, dari sejarahnya, negative pastilah ada. negative adalah keburukan. Pastilah keburukan bakal ada. namun, jika pada suatu daerah mampu mewujudkan positif lebih besar, maka ukuran negative bukan berada pada daerah positif tersebut, melainkan berada di tempat lain, yang itu bakal menjalani nilai-nilai negative—ah diksi ini agak payah, dan saya sebenarnya hendak mengatakan, bahwa kita harus menguatkan tentang nilai-nilai positif secara keseluruhan sehingga negative secara otomatis berkurang. Lebih-lebih, jika nilai agama begitu ditekankan, maka manusia akan berprinsip kuat tentang kebaikan-kebaikan (positif).
Maka dengan kemajuan zaman, jika kita berprisip pada agama, yang itu kuat, maka kebaikan atau mashalat kebersamaan akan memacu deras dan kencang, karena landasan utama tentang agama; sebagiamana landasan agama, yakni keyakinan.
Jika seluruh kegiatan di dasari oleh ‘agama’yang berarti di dasari dengan keyakinana, maka manusia menyadari bahwa ‘keeksistensi’ dirinya adalah sebuah keharusan yang dijalani dan harus rukun bersama demi tujuan mencapai kebahagiaan bersama.
Kebahagiaan bersama itu harus memenuhi dua cara: yakni, materi dan ruhani. Ruhani adalah sesuatu yang menggerakan dan materi adalah wadahnya. Karena ruhani adalah sesuatu yang di dalam, maka kebutuhan materi harus tercukupkan.
Saya jadi teringat tentang kisah islam di masa harun ar-rasyid, yang di masa itu manusia tercukupkan materi, maka setelah kepemimpinannya, yakni al-Makmun, di situlah ruhani mencuat, yakni ilmu. Maka bersamaan dengan ilmu mencuat; karena keilmuan atau ruhani mencuat deras dan kurang di dukung dengan prinsip keseimbangan, atau kurangnya control terhadap ruhani, maka terjadilah perbuyaran tujuan. Harusnya, setelah terpenuhi ‘ruhani’ maka manusia semakin akur; yakni antara pemerintahan (umara) dan ulama (orang yang berilmu). Pemerintahan sebagai wadah yang mengusungkan tema kesejahteraan secara materi, dan ulama sebagai wadah yang mengusungkan tema kesejahteraan secara ruhani.
Dan kita, telah menjalani masa kedua itu; walau pun pada posisi yang sebenarnya belum benar-benar layak untuk dinyatakan menjalani masa kedua itu, karena statusnya, materi pun tidak benar-benar mencukupi, dan ruhani pun kurang benar-benar diaplikasikan.
Sebenarnya, tujuan saya mengingat itu adalah, keterikanan bahwa untuk mewujudkan kebahagiaan pentingnya dukungan di antara keduanya, yang dengan itu, kegiataan atau eksitensi ‘manusia’ tidak malampaui kemanusiaannya; karena adanya arahan dari ‘ulama’ dan awasan dari pemerintahan.
Yang efek derasnya peran ulama adalah membimbing hati atau rohani masyarakat orang tua, lalu pemuda, dan pemerintahan adalah mewadahai ulama untuk melakukan bimbingan itu, yang tujuan utamanya adalah mensejahterakan masyarakan secara materi.
Terakhir, sekali pun zaman semakin canggih, namun manusia membutuhkan ‘realitas’ yang sesungguhnya; karena kehidupan senantiasa berjangka pada lingkungan yang simpel dan kecil, yakni, jangkauan kemanusiaannya.
Demikianlah.
Belum ada Komentar untuk " Pergerakan Manusia di Zaman Hiperrealitas Serta Kebutuhan Manusia Yang Nyata "
Posting Komentar