Tafsir Sabda Zarathustra: Keadaan Diri dan Kebutuhan Untuk Ada




Prolog Bagian 1

Ketika Zarathustra telah tiga puluh tahun, dia meninggalkan rumah dan danaunya untuk mengembara ke pegunungan. Di sana dia menikmati jiwa dan kesendiriannya selama sepuluh tahun tanpa sedikit pun pernah mengenal lelah. Akhirnya hatinya pun berubah. Pada suatu pagi dia bangun dan berdiri di depan fajar yang menyingsing, menghadap ke arah matahari dan berkata, 

“Wahai bintang agung! Apalah arti kebahagiaanmu seandainya tidak ada mereka yang kau sinari? Selama sepuluh tahun engkau telah memanjat ke guaku ini; dan engkau sudah lelah memancarkan cahayamu dan perjalananmu seandainya tidak ada aku, elang dan ularku ini.

Tapi kami menunggumu setiap pagi dan mengambil apa yang terlimpah dirimu dan bersyukur padamu karenanya.

Lihatlah! Aku telah jenuh dengan kebijaksaanku seperti lebah yang telah mengumpulkan madunya terlalu banyak; aku perlu tangan-tangan yang menjulur untuk mengambilnya.

Dengan gembira aku akan menganugrahkan dan membagikan sampai mereka yang bijak kembali bersuka-ria atas ketololan mereka dan mereka yang miskin gembira atas kekayaan mereka.

Maka aku harus turun gunung: seperti yang kau lakukan saat senja, ketika kau bersembunyi di balik laut dan menyinari dunia bawah, wahai bintang menyala!

Seperti engkau, aku harus turun, seperti kata orang, kepada mereka untuk siapa aku akan turun.

Berkatilah diriku, wahai mata yang tenang, yang mampu melihat kegembiraan terbesar sekalipun tanpa rasa iri!

Berkatilah cangkir yang akan meluap ini supaya airnya yang keemasan dapat mengalir keluar dan membawa pantulan kebahagiaanmu ke mana-mana!

Lihatlah! Cangkir ini akan mengosongkan dirinya sendiri dan Zarathustra akan sekali lagi menjadi manusia.”

Dan Zarathustra memulai perjalanannya turun gunung.

**

Diceritakan oleh si pencerita (Nietzsche), bahwa Zarathustra pergi ke gunung. Seringkas pergi ke gunung, yang saat itu berusia 30 tahun. Yang kemudian, Zarathustra berada di gunung selama 10 tahun, tanpa mengenal lelah. Maksudnya, 10 tahun berproses yang sebenarnya melelahkan; melelahkan secara pikiran, atau tentang renungan, atau bagaimana upaya untuk konsentrasi. Pergi ke gunung, tentu hendak mendapatkan sesuatu, yakni ‘pencerahan’; alasan ingin mendapatkan pencerahan, karena melihat ‘keadaan’ laksana tergelapkan, laksana hinggar binggar, maka penting untuk menyepi. Penting untuk menyendiri. Penting untuk merenung lebih kencang dan tenang. Terhadap realitas yang tertangkap oleh panca-indera; realitas yang dihuni oleh manusia demi manusia. Hingga kemudian, si pencerita berkata, “Akhirnya hatinya pun berubah.” Maksudnya, dari keadaan tenang itu, menjadi sesuatu yang lain, yakni hendak menjadi manusia kembali; kumpul bersama manusia manusia lainnya, hal itu dikatakan, saat Zarathustra berkata, “dan Zarathustra akan sekali lagi menjadi manusia.” 

Hingga kemudian, si pencerita menyatakan, “Pada suatu pagi dia bangun dan berdiri di depan fajar yang menyingsing, menghadap ke arah matahari dan berkata,” saya menangkap hal ini secara biasa, bahwa Zarathustra berdiri lalu berkata. Saya enggan mengartikan lebih tentang makna ‘berdiri’, ‘fajar’, ‘matahari’, dan ‘berkata’ kecuali, bisa jadi, itu diartikan adalah tanda-tanda untuk kepercahayaan baru di era yang baru; cahaya yang baru untuk kalangan kebijaksaan, yang dalam hal ini adalah filsuf-filsuf modern, sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa Nietzsche berdaya diri untuk ‘melawan’ system-system yang kaku terhadap realitas yang terjadi (baca: Pemikiran yang membentuk Dunia Modern: Nietzsche, atau baca tentang kronologi ‘Postmodern’; seringkali Nietzche dicikalkan adalah orang-orang yang mengkritik kebudayaan barat). 

Berdiri, dapat diartikan orang yang menentang terhadap filsuf-filsuf modern.

Fajar, dapat diartikan sebagai awal-awal untuk kritik filsuf-filsuf modern.

Matahari, dapat diartikan sebagai tanda cahaya untuk generasi filsuf-filsuf setelahnya.

Berkata, dapat diartikan ‘sebagai teks’ atau ujuran; namun, jika kita amati-amati lebih lanjur. Berkata di sini, seringkali diartikan sebagai tekstual, bukan tentang ujaran. Sekali pun menurut kronologi peristiwa, itu adalah bentuk yang diujarkan, namun itu adalah bahasa yang menjadi kata-kata.

“Wahai bintang agung! Apalah arti kebahagiaanmu seandainya tidak ada mereka yang kau sinari? Selama sepuluh tahun engkau telah memanjat ke guaku ini; dan engkau sudah lelah memancarkan cahayamu dan perjalananmu seandainya tidak ada aku, elang dan ularku ini.”

Zarathustra berkata, berkata kepada matahari, wahai bintang agung! Apalah arti kebahagiaanmu (kebahagiaanmu itu artinya apa?) seandainya tidak ada mereka yang kau sinari? Selama sepuluh tahun engkau telah memanjat ke guaku ini; dan engkau sudah lelah memancarkan cahayamu dan perjalananmu seandainya tidak ada aku, elang dan ularku ini (Apalah arti kebahagiaanmu itu? seandainya tidak ada aku, elang dan ularku ini)

Tapi kami menunggumu (matahari) setiap pagi dan mengambil apa yang terlimpah dirimu dan bersyukur padamu karenanya. 

Suatu keadaan yang biasa kita alami sebagai manusia, mengarapkan cahaya alami dari waktu ke waktu. saya enggan mengartikan lebih tentang penyembahan matahari, namun pada realitas yang sering terjadi, bahwa orang seringkali membicarakan tentnag waktu, dan keadaan waktu diukur oleh matahari.

Lihatlah! Aku telah jenuh dengan kebijaksaanku seperti lebah yang telah mengumpulkan madunya terlalu banyak; aku perlu tangan-tangan yang menjulur untuk mengambilnya.

Lalu Zarathustra, curhat, mencurahkan hatinya, curpik (menyurahkan pemikirannya) dan berkata, lihatlah! Lihatlah aku. Aku telah jenuh dengan kebijaksanaanku; telah jenuh dengan kebijaksanaan dirinya sendiri, yang menggumpal di dalam dirinya sendiri, seperti lebah yang telah mengumpulkan madunya terlalu banyak; jenuh dengan gumpalan-renungan yang ada di dalam dirinya, penting ada yang mengambilnya. Ya, aku perlu tangan-tangan yang menjulur untuk mengambilnya. Ya, aku perlu ada orang yang menikmati madu-renunganku, madu-kebijaksanaanku. Dengan begitu, orang-orang atau pengkaji filsafat sering menyebut dia, Nietzsche adalah eksistensialis, sebabnya; ia ingin menunjukan keakuannya, menjukan kediriannya, sekali pun ini tentang karya, namun pada akhirnya, kepertunjukan atau kepenampakan dirinyalah yang menjadikan dia terklaim; eksistensialis.

Dengan gembira aku akan menganugrahkan dan membagikan sampai mereka yang bijak kembali bersuka-ria atas ketololan mereka dan mereka yang miskin gembira atas kekayaan mereka.

Dengan gembira aku akan menganugerahkan dan membagikan, hendak dibagikan dan dikabarkan, supaya orang-orang bijak (para filsuf modern di zamannya Nietzsche), bersuka-ria atas ketotolan mereka; becanda-canda dengan apa yang dijalaninya; memain-mainkan tentang ‘manusia’ dan bahkan merobot-robotkan tentang manusia; atau berdaya diri untuk membahas moral tapi tidak bermoral, dan mereka, yang miskin, miskin harta gembira dengan kekayaan hati mereka.

Dan saya masih penasaran dengan tujuan ini: pertama, mereka yang bijak kembali bersuka ria atas ketololan meraka.

Kedua, mereka yang miskin gembira atas kekayaan mereka.

Jika diurai, maka yang pertama, tentang penunjukan bahwa orang yang bijak (filsuf) menertai tentang kebijaksaannya. 

Kedua, orang yang miskin gembira atas kekayaan mereka; jika dikatakan, miskin ilmu, maka gembira dengan kebodohan mereka. Karena lebih baik bodoh dibanding pandai tapi akhirnya menertawai tentang ‘teka-teki’ hidup ini; oleh sebab inilah, para peniliti, mengatakan Nietzsche orangnya Nihilis; ketiadaan. Seakan, tidak ada pilihan kecuali ketiadaan. Bahasa tasawufnya, berada di makam fana. Yakni keberadaan total kecuali bersama dengan-Nya. Namun, Nihilis itu belum sempurna kecuali mengabarkan tentang hal itu kepada manusia-manusia.

kemudian Zarathustra melanjutkan perkataannya, “Maka aku harus turun gunung: seperti yang kau lakukan saat senja, ketika kau bersembunyi di balik laut dan menyinari dunia bawah, wahai bintang menyala!” disinilah penegasan yang unik, yakni, dirinya mengumpamakan seperti matahari, yang mana, tatkala tenggelam, pada sisi lain, akan menyala; disini, diumpakan si dirinya yang mulai tenggelam dengan kedirianya, lalu hendak menyinari diri yang lain, menjadi bintang yang menyala. Sebuah diksi yang menjadikan pembaca akan berpikir, mengapa yang diumpakan adalah cahaya alam, matahari, diksi-diksi yang akan berkelanjutan tentang bintang, nyala, kerlip, kilau, dan seterusnya; yang itu berkaitan dengan cahaya. Lalu diteruskan:

“Seperti engkau, aku harus turun, seperti kata orang, kepada mereka untuk siapa aku akan turun.”

Seperti engkau (matahari, yang tenggelam dan menerangi sisi yang lain), aku harus turun (turun dari gunung, yakni bertemu dengan manusia-manusia lainnya), seperti kata orang (orang-orang yang berkata tentang tujuan matahari menyinari, yang itu menurut diri manusia yang bertanya tentang tujuan matahari), kepada mereka untuk siapa aku akan turun. (yakni, kepada siapa-siapa yang akan dijumpai, yang akan ditemui; menjadi gaya dialog, layaknya Socrates baru buat orang-orang, namun Socrates yang bukan lagi berkepentingan membidani, melainkan sekaligus mengeluarkan bidan-bidan pengetahuan)

“Berkatilah diriku, wahai mata yang tenang, yang mampu melihat kegembiraan terbesar sekalipun tanpa rasa iri!”

Tujuan yang hendak disampaikan kepada para mata yang tenang; ‘mata’ sebuah diksi yang bertujuan tentang penglihatan, tentang pengetahuan, tentang panca-indra yang menangkap tentang sesuatu. Berkatilah diriku (ridhoilah diriku), wahai mata yang tenang (wahai yang berakal dan telah tenang tentang keberadaan, tentang keduniaan, tentang hal-hal yang menampakkan, tentang teka-teki hidup di dunia). Berkatilah diriku, yang mampu melihat kegembiraan terbesar sekalipun tanpa rasa iri (aku tidak iri dengan apa-apa yang terjadi kepadamu, karena aku telah melewati apa-apa yang terjadi kepadamu.) atau, berkatilah diriku, wahai mata yang tenang, mata yang mampu melihat kegembiraan terbesar sekalipun tanpa rasa iri (manusia yang dengan penglihatannya, tidak iri dengan apa-apa yang terjadi kepada manusia demi manusia lainnya, karena tiapan manusia telah ditetapkan menurut apa yang telah ditetapkan). 

“Berkatilah cangkir yang akan meluap ini supaya airnya yang keemasan dapat mengalir keluar dan membawa pantulan kebahagiaanmu ke mana-mana!”

Cangkir adalah alat yang terisi oleh air. Cangkir yang akan meluap ini, ialah cangkir yang telah terisi oleh air-madu; madu-renungan, madu-meditasi, madu-pencerahan. Berkatilah cangkir yang akan meluap ini (Siap-siap menuangkan atau siap sedia kalau ada tangan-tangan yang menjulur untuk mengambilnya; mengambil dari luapan) airnya yang keemasan (Air yang berkilau-kilau, yang mempunyai harga yang mahal, yang itu berada didalam diri, dengan cara harus diridhoi dulu, baru akan meluap) sehingga, membawa pantulan kebahagiaanmu kemana-mana, (dimana saja kamu berada). Maksudnya, berkati dulu (ridhoi dulu; relakan dulu saya), baru akan meluapkan air yang keemasan (kalau tidak diberkati, maka bukan air yang keemasan yang muncul) dan membawa pantulan kebahagiaanmu ke mana-mana. Mengumpallah bahagiamu di dalam diriku, dan akan kubawa kebahagiaanmu di mana-mana. 

“Lihatlah! Cangkir ini akan mengosongkan dirinya sendiri dan Zarathustra akan sekali lagi menjadi manusia.”

Lihatlah, matahari, cangkir ini (pemikiran ini; wadah-wadah yang telah terisi oleh renungan, meditasi, dan kepenuhan data-data yang terpikirkan) akan mengosongkan dirinya sendiri (menjadi kosong; yang melalaikan segalanya, meniadakan tentang dirinya) dan Zarathustra akan sekali lagi menjadi manusia. (Berjumpa dengan manusia demi manusia yang lain; yang disana terdapat putaran rasa dan rangkaian sisi-kemanusiaan dengan segala jenis tabiat-tabiat manusia)

‘Lihatlah,’ sebuah ujaran yang laksana berharap untuk disaksikan.

‘lihatlah’ sebuah ujaran yang laksana berharap untuk diperhatikan.

‘Lihatlah’ sebuah ujaran yang laksana sebuah keputusan untuk ditegaskan: lihatlah! Cangkir ini… lihatlah! Diriku ini… hal-hal seperti ini, yang menjadikan orang-orang meneguhkan bahwa Nietzsche adalah aliran ekesistensialis. Dan perkataan, kepada dirinya sendiri berakhir di situ. Lalu ditutup dengan:

“Dan Zarathustra memulai perjalanannya turun gunung.”

Maka mulailah Zarathustra turun gunung. Turun dengan bekal-bekal ketiadaan itu, yakni kekosongan cangkirnya, cangkir yang kosong, yang bisa jadi terisi oleh sesuatu yang lain, atau, kalau diberkati, cangkir itu secara otomatis akan meluapkan air-keemasan dan membawa kebahagiaanmu ke mana-mana. Artinya, senang kalau diberkati. Senang kalau dirinya diridhoi.

Demikian. 








Belum ada Komentar untuk " Tafsir Sabda Zarathustra: Keadaan Diri dan Kebutuhan Untuk Ada"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel