Peran Pemerintahan Dan Ulama Untuk Masyarakat Wargo Mulyo Mencapai Sejahtera Tinjauan filosofis Study Kasus di desa Wargomulyo
Selasa, 18 Juli 2017
Tambah Komentar
Maksud dari tinjaun filosofis adalah saya melihat secara mendalam, keakar, logis, yang bermetode (maksud dari caranya, melihat dari sisi sejarah –historis—dan sosial –sosilogis) historis-sosiologis; dan tulisan ini pun belum sepenuhnya sempurna atau bernada ilmiah-yang-pasti, tulisan ini adalah rangkaian ide yang dituangkan lewat kata-kata, yang kapan-kapan, mungkin bakal dibuktikan secara ilmiah, insyaallah. Jika tidak, maka tulisan ini bukanlah sesuatu yang sempurna atau belum-layak sungguh untuk dijadikan referensi komplit, bila hendak dijadikan referensi tentu penting diverifikasi ulang tentang apa yang telah dituliskan. Begitu.
LATAR BELAKANG
Desa wargo mulyo, secara ekonomi, atau hal-hal yang berkaitan dengan mata-pencarian adalah bertani. Karena memang status desa wargo mulyo, atau bagian dari nusantara (Indonesia) yang dikarunia alam, yang subur, atau alam yang berkecukupan untuk mencukupi kemanusiaan secara subtansial, yakni pangan. Dan status utama, atau penggerakan utama untuk kebutuhan pokok manusia adalah pangan; yang mana itu adalah padi, sebagai tanaman pokok untuk mempertahankan kemanusiaan. yang selanjutnya, bersamaan dengan tani sebagai ‘tujuan’ utama kemanusiaan, maka selanjutnya, atau bersamaan dengan itu; sandangan, atau baju, dibutuhkan—sebagaimana pergerakan zaman, bahwa manusia membutuhkan baju untuk menutupi ‘kemanusiaannya’ karena manusia mempunyai akal untuk berpikir, karena akal itulah manusia menjadi berbeda dengan binatang--, yang bersamaan dengan itu, maka tempat tinggal pun perlukan.
Pada sejarahnya, desa wargo mulyo adalah desa yang dibentuk oleh sekelompok manusia, yang transmigrasi dari jawa ke lampung, pada masa kolonialisasi atau pada masa transmigrasi; tujuannya, mendapatkan ‘hidup’ yang layak—karena sebagaimana telah diketahui, pulau jawa, termasuk pulau yang agak tersistem dengan rapi, sekali pun di era 1930 masehi, belum begitu rapi. Namun orang-orang jawa telah mengenal pembagian-pembagian daerah; daerah-daerah atau tanah-tanah yang dikuasi oleh hak-hak individu dan hak-hak pemerintahan. Karena di tahun 1930 an, pulau jawa, setidaknya telah membentuk pola masyarakatan yang ‘agak’ tersistem, atau sudah tersistem (mengikuti system-system dahulu, yakni kerajaan, selanjutnya kekuasaan colonial)--. Maka bersamaan dengan perpindahan tersebut, maka haruslah—dan tentu—ada yang mengetuai, atau sesuatu yang disebut dengan pemimpin.
Pemimpin, begitulah yang mengatur tentang proses-proses kemanusiaan atau aturan-aturan untuk sisi kemanusiaan, yang itu berproses pada pengaturan demi pengaturan; atau menjadi juru bicara saat ditanyakan yang lain, atau menjadi wakil dari manusia-manusia yang ada. –dan saya tidak mengetahui secara pasti, apakah di zaman 1930 an, di saat Indonesia belum merdeka, sudahkah orang-orang menggunakan system ‘lurah’ sebagai kepala desa? Yang pasti, begini: pada proses yang sederhana: saat kita bepergiaan, saya contohkan tatkala mendaki gunung, pastilah di antara orang-orang tersebut ada yang mengetui, disitulah peran ketua terjadi. disitulah penujukan ketua terjadi; entah bagaimana pun caranya, pastilah ‘ketua’ teradakan. Yang tujuannya, tentu mengatur hal-hal yang berkaitan dengan proses mendaki gunung.—
Memang tujuan awal adalah mendapatkan hidup yang layak, namun pada kenyataannya, manusia selalu membawa ‘kebiasaan’ yang telah dijalani; dan pada faktanya, para transmigran tersebut, menerapkan apa yang ‘telah’ terbiasa di jalani itu pada desa yang baru, seperti pembuatan balai desa, pembuatan masjid, dan kebiasaan-kebiasaan yang telah dijalani.
Dan tugas pemimpin, tetap saja, mengatur gerak-gerik manusia yang ada untuk lingkungannya. Yang itu bisa saja berkaitan dengan hutang-piutang, soal pembagian, soal penempatan, dan soal tembung kata-kata. yang pasti, tugas pemimpin adalah komplek dan serba dia yang mengatur tentang seluruhnya; bahasa lainnya, pemimpin adalah kepala dari orang-orang yang telah ada. kepala, yang berarti, adalah siap menerima dari kepala-kepala yang lain; adalah wakil dari kepala-kepala yang lain, adalah penampung inspirasi dari kepala-kepala yang lain.
Yang kemudian, bersamaan dengan berjalannya waktu, pemimpin rombongna tersebut, Mbah Nawawi, mengambil (Atau meminta) manusia yang berpengetahuan agama (ulama) untuk dijadikan status menjadi ulama di desa wargo mulyo ; maka disitulah, sejak saat itulah bibit-bibit ulama menjadi aliran yang kuat pada desa wargo mulyo. Sejak saat itulah, desa wargo mulyo, mempunyai ikatan dengan status kepunyaan kiai ‘desa’ wargo mulyo—sekali pun sebenarnya, saya juga kurang memahami dengan sungguh, apa peran kiai desa awal buat masyarakat wargo mulyo, kecuali menjadi orang ‘utama’ atau yang diutamakan , tentang keagamaan di desa wargo mulyo, yang tugasnya lebih kencang pada urusan yang berkaitan dengan agama. Seperti mengajar mengaji, mengimami masjid dan juga ceramah di masjid—
Rumusan Masalah
Bagaimana peran keduanya untuk mencapai sejahtera?
Pembahasan
Kalau kita mengamati buku-buku yang berkaitan dengan pemerintahan, atau teks-teks yang berhubungan antara peran keduanya, maka telah selesailah jawabnya; karena telah dinyakan bahwa peran keduanya sangat kuat dan kokoh. Pemerintahan meminta keputusan ulama untuk maysarakat sekitar yang tujuannya demi kesejahteraan materi bagi masyarakat, sementara ulama berperan sebagai manusia pembimbing hati atau pemikiran dari manusia untuk mencapai kesejahteraan kebatinan atau hal-hal yang berkaitan dengan perbatianan, atau batin-batin.
Maka syarat untuk mencapai sejahtera;
Pemerintahan, harusnya bekerja sebagaimana tugasnya seabagai aparat pemerintahan.
Dan ulama pun, harusnya bekerja sebagaimana tugasnya sebagai ulama.
Jika keduaanya telah sama-sama menyadari diri peran masing-masing, maka dengan mudah manusia mencapai sejahtera. Namun realitas atau kehidupan tidak semulus atau serajin kata-kata; kenyataan tidak segampang dan sesimpel apa-apa yang ada dpada teori. Yang jelas, di zaman seperti sekarang ini, seringkali, manusia tidak paham sungguh dengan status yang menjadi statusnya. Manusia tidak paham sungguh dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya, manusial lebih mementingkan dirinya sendiri, dibanding mengurusi yang lain. Manusia (kedirian) lebih mengutamakan tentang ekerabatnya, bukan tentang uangnya.
Jika pemerintahan bekerja sebagaimana statusnya, pemerintahan. Yang kemudian, menghendaki surat kepada ulama untuk membahas apa-apa yang telah ditawarkan untuk dibahaskan.
Jika ulama bekerja seabgaimana tugasnya sebagai ulama, tentu bakal terjadi rapat demi rapat yang itu berkaitan dengan situasi atau kondisi yang terjadi, yangmana sebelum itu, para ulaama bakal berkumpul atau mengkaji-kaji ulang yang bertujuan untuk menguatkan tentang status keulamannya.
Yang pasti, keduanya tidak boleh bekerja yang itu melampaui ‘status’ kediriannya; sebab status itulah yang memebedakan yang mana pemerintahan yang mana ulama. Meringkas kata, tugas pemrintahan untuk mensejahterakan mayarakat seraca ekonomi dan tugas ulama sebagai ‘peneduh’ atau penyampai agama, kepada pemerintahan sekaligus kepada rumatnya.
Demikian.
Belum ada Komentar untuk "Peran Pemerintahan Dan Ulama Untuk Masyarakat Wargo Mulyo Mencapai Sejahtera Tinjauan filosofis Study Kasus di desa Wargomulyo"
Posting Komentar