Sejarah Wargomulyo




Tentu saja, saya menyukai sejarah, karena saya pengkaji filsafat. Ilmu yang membicarakan sejarah yang panjang, mulai dari sebelum masehi, ya sebelum masehi, sekarang 2018 masehi: yang mana lintasan itu lintasan dunia (Ya! Lintasan dunia) suatu keadaan yang benar-benar membaca lintasan sekelas dunia. Dan itu menempel pada pemikiranku, menempel pada cangkang kepalaku. Yakni 600 SM (600 sebelum masehi), dan keberadaan agama islam lahir 600 M (enam ratus masehi), dan kelahiran Negara Indonesia 1945 Masehi, dan Desa Wargomulyo, dikatakan Desa tahun 1935 Masehi, kata Pak Lurah Zainal. Artinya begini: bukankah saya terlalu ‘aneh’ kalau sering mengkaji sejarah yang panjang, tapi tidak mampu mengkaji sejarah yang pendek, yakni sejarah desa wargomulyo, yang itu dapat dikatakan Desa pada tahun 1935 Masehi?



Hingga kemudian, bagiku sendiri, terasa aneh kalau saya ‘setidaknya’ mampu membicarakan desa, tapi saya tidak mampu mengetahui tentang kesayaan saya—ah ini terkesan menjadi sukar. Karena pencarian keakuan itu tidak semudah yang dibayangkan, sebab si aku mencari akunya sendiri; dan itu penting mendongkel sejarah keakuannya—lho kok sampai ke situ, padahal saya ingin menyampaikan perihal sejarah wargomulyo. Menyampaikan yang itu sekedar menceritakan. Tidak secara obejektif, namun memberikan tawaran untuk ‘merenungkan’ tentang keberadaan desa. Sebab zaman sekarang ialah zaman objektif: dan seakan-akan apa-pun membutuhkan data yang ontentik, dan bukti yang jelas. Tidak hanya apa-pun, bahkan agama pun seakan-akan membutuhkan data yang jelas, dalilnya apa? Dalilnya apa? Dalilnya mana? Kembali ke sejarah Wargomulyo:



Sudah sering saya katakan, keberadaan Desa Wargomulyo itu tercipta (terada) karena adanya orang-orangnya, karena adanya manusianya. Dengan keberadaan manusia, maka mulailah tercipta nama, yakni wargomulyo. Awalnya bukan bernama wargomulyo, tapi Pardasuka.



Di tahun 1930 Masehi, orang-orang dari Jawa itu datang ke desa Pardasuka. Soal kedatangannya dan mengapa harus Pardasuka? Saya tidak mengetahui. Artinya, mengapa dari sepersekian tempat yang ada memilih tempat yang itu Pardasuka. Terlebih lagi, pada masa itu, sekitaran tahun 1900 Masehi masih masanya Kolonialisasi: yakni perpindahan penduduk dari daerah ke daerah lainnya: sumatera ialah sasarannya. Lampung juga termasuk sasarannya. Dan kalian bisa melihat itu kalau berkunjung ke Museum Transmigrasi, yang itu ada di Pesawaran, dekat dengan Masjid Agung Pesawaran. Di sana banyak data yang berkaitan dengan transmigrasi (maklum, namanya juga Museum Transmigrasi). 



Tujuan utama orang-orang pindah dari Jawa ke Sumatera ialah mendapatkan kehidupan yang lebih layak (1). Maksudnya layak ialah menjalani kerja dengan cara olah alam, atau bahkan bisa makan kenyang, dan selamat jiwa dan raga (2). Selain itu, karena rencana Pemerintahan Belanda yang memecahkan kesatuan orang jawa, supaya terpisah, tidak mengumpul di tanah jawa, yang itu saling berkomunikasi untuk melawan Pemerintahan Belanda (3). Kenanglah, film-film sejarah kemerdekaan. Film-film yang bertemakan tentang pemerintahan belanda, dan film-film yang berhubungan dengan nasionalisme (4). 



Artinya lagi, keadaan waktu itu belum sedamai seperti sekarang (5). Masih bergejolak, masih bertikai, masih sibuk peperangan: hal itu bisa dikaca dari sejarah perang Dunia ke 2 (6) (Ayo! Baca sejarah lagi: zaman now, ada internet, memudahkan kita untuk membaca. Bacalah. Bacalah. Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu. Hehe) bahkan pada status ‘kenegaraan’ Indonesia telah memproklamasikan kemederdekaan: pemerintah belanda masih ingin mengusai nusantara, masih terjadi peperangan di sana sini, termasuk di Jogjakarta, tahun 1949, masih terjadi perkelahian yang tujuannya tentu kekuasaan (7). Ah kok sampai kekuasaan sekelas nasional? Artinya, saya juga berusaha menawarkan tentang ‘psikologis’ orang-orang yang datang ke Wargomulyo. Maksudnya, mereka itu berkeadaan atau pada situasi yang itu belum sepenuhnya nyaman (8).



Mereka, orang-orang yang dari Jawa, pergi ke Pardasuka: mencari kedamaian dari efek-efek serangan dari luar negeri yang mengancam keselamatan mereka. Artinya, bisa jadi, mereka berhijrah untuk mendapatkan kedamaian. Kedamaian yang itu jasmani dan ruhani. Sebab, kalau jasmani diserang atau diacam pada hal kematian, maka itu sangat-sangat mempengaruhi ruhani manusia (9). 



Seringkas kata, mereka menebang pohon-pohon yang ada di Pardasuka; lalu mereka mengolah tanah, mengolah buah, mengolah hewan, dan mematok tanah sebagai pengakuan-pengakuan kepemilikan tanah; dan pengakuan itu tentu dibagi-bagi, atau kesepakatan yang disepakati bahwa ini bagianmu, ini bagianmu (11): menurutku begitu. pembagian tanah ialah semodel kesepakatan bersama, karena mereka sama-sama, mereka bersama (12).



Dan menurutku, di zaman itu, nilai kebersamaan itu adalah sangat penting. Sangat penting sekali. Lebih-lebih di Nusantara, yang mana sejak awal telah ‘berlandaskan’ agama, dan menitik-tekankan perihal kemistikan (hal itu tentu saja terpengaruh dari Agama Hindu-budha, yang sarat dengan kekurangan-perdulian terhadap eksistensi dunia. Hingga kemudian saat islam masuk, dan menemani kedudukan penguasa, di era-era kerajaan islam: maka para wali atau para ulama menjadi penasihat dari raja-raja, yang kemudian mengubah system pendidikan dari system hindu-budha menuju system islam (13). Sebabnya, kekuasaan itu dikuasai oleh islam. dan sering dikatakan, bahwa para wali itu, tidak mengubah tradisi pendidikan hindu-budha secara total, melainkan keyakinan yang diubah. Begitu (14).), lebih dari itu system-system yang digunakan, atau gaya perpolitkan adalah kekerajaan. Namun, kasus di Nusantara kala itu, masih tergoyah status perpolitikan, sebabnya karena keberadaan Kolonialisasi dari bangsa barat, yang mengusai ‘Pasar’. sedikitnya terkena pemikiran ketat pada Marksisme, begitulah keadaan total dari dunia: bahwa kekuasaan itu dikuasai oleh Ekonomi (15). Karl Mark menuliskan, Kapitalisme. Itulah sebabnya, pemikiran para pendahulu awal-awal kemerdekaan sangat terpengaruh dengan Karl Mark dan Engles, termasuk Presiden pertama, Soekarno (16). Hingga kemudian, sering menyebut-nyebut tentang komunis, arti dari komunis sendiri adalah keumuman, berasal dari bahasa inggris, Common. Dengan seperti itu, jangan dulu menjelekkan perihal komunisme: kadangkala kita belum mengetahui lalu tiba-tiba mengklaim tentang keburukan. Memang dahulu kala, pada efeknya, Partai Komunisme Indonesia, itu tidak baik, yakni pembantaian manusia (menungso dipateni), hal itu terjadi tidak hanya di Indonesia, di Tiongkok juga begitu: itulah sejarahnya, begitulah sejarah yang terjadi: yang tentu, kasus PKI juga merembet ke desa Wargomulyo. Sebabnya, di saat PKI itu beraksi, sekitaran tahun 1969, di desa Wargomulyo telah masuk pada status nasional, telah mengikuti gerak-gerik nasional (17).



Sebelum itu, Desa Wargomulyo, belum masuk pada status Negara Indonesia, sebab Negara Indonesia dikatakan Negara pada tahun 1945 Masehi, dan orang-orang yang ada di Desa Wargomulyo ada sejak tahun 1930 Masehi dan dikatakan Desa pada Tahun 1935 Masehi. Dan selanjutnya, setelah tahun 1945 Masehi, maka gerakan kenasionalan itu semakin dilesatkan oleh pemerintahan, dengan begitu, aturan-aturan desa, setidaknya mengikuti gerak-gerik nasional: ketika nasional menyuruh untuk pendidikan, maka desa pun membuat pendidikan. Begitulah aturan mainnya. Ketika nasional semakin maju, maka desa kena imbasnya. Sekarang, ketika nasional semakin maju dengan kepermesinannya, maka desa juga kena imbasnya: sebabnya aturan yang ditetapkan itu ialah pemusatan kekuasaan (18).



Sedikitnya itulah yang saya gambarkan perihal desa, dan berkaitan dengan sejarah-sejarah ‘keberadaan’ yang lain: antara nusantara, agama, bahkan dunia, walau pun sekilas. Kapan-kapan, insyaallah (jika allah menghendaki), saya akan menuliskan lagi, mungkin lebih spesifik, atau mungkin lebih sistematis dan teratur, tapi entahlah. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau menuliskan ini?”



Jawabku, “Sekedar mengabarkan, dan berusaha melatih pengetahuanku.”



Jika ditanyakan lagi, “Tapi untuk apa kau mengabarkan?”



Jawabku, “Aku ingin orang-orang kita mengetahui tentang ‘sejarah keberadaannya’, ‘sejarah keakuannya’, sejarah tempatnya.”



Dikatakan lagi, “Tapi untuk apa tahu?”



Dan aku pun berkata, “Lalu untuk apa kau ingin mengetahui? Untuk apa kau ingin mengetahui? Jelaskanlah padaku, dengan senang hati aku akan menerima jawabanmu?”



Lalu orang itu mengatakan padaku. ‘Ah hidupmu itu tidak realistis. Sangat tidak praktis di zaman yang serba praktis ini. zaman sekarang ini, yang dibutuhkan adalah semangat kepraktisan, dan semangat kesimpelan: apa-pun menjadi sesuatu yang simpel, dan sangat-sangat realistis. sesuatu yang tidak realistis kurang diminati (ingatlah, agama itu pada dasarnya juga sangat realistis, namun bersamaan dengan itu, agama itu membawa idealis. Jika kamu percaya agama? Maka sesungguhnya kamu harus seimbang antara yang realistis dan yang idealis, sebab ‘percaya’ itu tidak terlihat, kawan. Memangnya dimana letak percaya? Iyakah terletak di dalam hatimu, atau didalam pikiranmu, atau sesungguhnya adakah ‘percaya itu’): hidup di zaman now itu sangat-sangat membutuhkan sesuatu yang praktis dan membutuhkan uang, kalau tidak seperti itu, hidupmu pasti berantakan.’ Dan sikapku, tentu ya menerima tentang orang-orang yang mengatakan tentangku: memangnya kalau tidak diterima bagaimana? Apakah aku bisa menghelak ‘tuduhan’ orang yang itu menuduhku? Ah sudahlah…



2018

footnote:

1. Saya di sini menyampaikan keumuman, bukan tentang tujuan ingn pergi haji dengan cara membuka lahan baru dan bekerja kerasa untuk mengumpulkan duit lalu pergi ke Mekah, walau secara kefaktaan banyak orang Wargomulyo itu pergi haji. Amatilh orang yang pergi Haji sebelum tahun 2010 Masehi, atau bahkan sebelum thun 1980 masehi, atau bahkan tahun sebelum 1970 masehi.

2. Di tahun 1930 Masehi kedan nusantara secara fisik (dhohir) belum nyaman: bahkan setelah merdeka, setelah 1945 Masehi, Indonesia pun belum nyaman secara fisk. Tahun 1959 masehi (kayaknya begitu) Mbah Kaji Tumbali masih di Jawa, masih di tekan keadaan sosil Jepang. Ringkasnya, keadaan sosial 'Indonesia' setelah proklamasi belum sepenuhnya nyaman. Lain sekarang: malah 'banyak maling' dari kalangan pejabatnya sendiri. orang-orang yang semestinya mejadi teladan dan besar perhatiannya, malah menjadi perhatian rakyat: pemimpin itu hrusnya perhatian dengan rakyat, bukan malah diperhatika rakyat: rakyat semestiny perhatian kerakyatannya, bukan malah sibuk memperhatikan pemimpin. pemimpin itu perduli rakyat atau rakyat yang perduli pemimpin? seimbang.

3. Sejarah belanda, hl ni tentu sj bosa engkau telusi lebih lanjut pada rangkaian

Belum ada Komentar untuk " Sejarah Wargomulyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel