Membaca





Ketika membaca buku, saya tidak sepenuhnya membaca ketotalitas buku, artinya saya belum menangkap totalitas buku. Sebabnya, biasanya buku-buku yang saya baca ialah sejenis buku tentang pemikiran, atau bahkan mungkin dikatakan ‘bacaan’ yang berat. Bersamaan dengan itu, saya teringat diksi: bacaan yang berat, dan bacaan yang ringan.



Dan saya berangkat membaca dari bacaan yang berat. Itulah saya. Itulah fakta yang terjadi. proses suka saya terhadap membaca ialah berasal dari pembacaan berat: sekali pun bacaan itu, teks-teksnya atau diksi-diksinya menggunankan diksi yang biasa. Kalau tidak percaya: bacalah buku tentang Zen, buku tengan filsafat, pastilah di sana banyak juga yang membahas hal-hal yang biasa. Hanya saja biasa itu yang diulang-ulang, hingga kemudian, menjadikan penangkapan ‘pemikiran’ itu terkesan menemukan kata yang berulang-ulang, sehingga menciptakan kenangan di dalam pikiran: dan akhirnya, malah bertanya terhadap apa yang dibaca itu.



Jika ditanyakan, mengapa memilihbacaan yang berat? Jawabku, sebenarnya saya tidak memilih membaca bacaan yagn berat, melainkan, membaca yang itu tepat buat pemikiranku, sebab sejauh itu, saya belum merasa menemukan sesuatu bacaan yang itu tepat buat pemikiranku; atau semisal buku-buku pelajaran itu. seakan buku pelajaran itu sekedar lalu lintas pemataan belaka dan kepentingan nilai di sekolah dan kurang sekali ‘faedahnya’ pada kehidupan praktis. Jauh dari nilai-nilai praktis kehidupan itu sendiri.



Yang mana, pada kehidupan praktis adanya interaksi, adanya problem sosial, adanya soal pekerjaan, namun pelajaran-pelajaran yang ditawarkan, tidak seperti itu. terkesan, sekedar kajian yang itu menyemplung pada pemikiran, pada arah ide-ide belaka, tidak realistis. 



Terlebih lagi, bagiku sendiri, ya, termasuk aku yang bodoh dan tidak cepat menangkap pelajaran, pelajaran itu tidak merasa sesuatu yang itu dibawa pulang. Melainkan proses yang itu sekedar tuntutan untuk belajar. sekedar tuntutan untuk berangkat sekolah. Sekedar tuntutan untuk menjalankan sesuatu yang disebut sekolah.



Dan anehnya, saya kurang begitu menyadari bahwa sekolah pun saya yang membayar. Sekolah, saya yang membiayai. Artinya, sekolah itu laksana buang-buang uang belaka, karena sekedar menjalankan proses waktu yang disebut sekolah. Tragisnya, orang yang sekolah (bahkan yang bodo itu) mudah sekali mengejek yang tidak sekolah, dengan alasan, bahwa sekolah itu menambah kepandaian. Tapi nyatanya: apa itu ukuran kepandaian? Lha wong, sekolah itu jarang sekali membaca. membaca pun kalau itu disuruh. Membaca pun kalau itu bakal ujian. Lha kemudian, setelah selesai atau lulus, lebih-lebih SMA, besar kemungkinan menjalankan kerja di perusahaan atau kota-kota. Lalu dengan itu, mempunyai pengalaman kota. Sekedar pengalaman dari apa yang ditangkap oleh bola matanya, atau panca indranya.



Sementara itu, kemana pengetahuan-pengetahuan yang selama ini di kumpulkan? Kemana pengetahuan-pengetahuan yang selama ini di jalankan? 





Hemat kata, saya sendiri, menjadi pelajar yang tidak taat pada system pelajaran; alasannya itu, tidak bisa mengantarkan sesuatu yang ide ke fakta sosial. Karena itu, maka sekolah sekedar tuntutan sekolah. Sekolah sekedar tujuan bahwa masuk sekolah. Semestinya, sekolah layaknya pekerjaan, yang ketika pulang mampu dipraktekkan. Artinya ada tingkatan dari pengetahuannya.



Memang telah ada ungkapan tingkatan, atau pembagian kelas. sayangnya, bagiku itu laksana proses bersama tumbuhnya usia, dan proses sekedar menjalankan proses yang berlaku. Soal pembacaan pun: apalagi setingkat SD, bagiku, masih teramat minim. Teramat minim. Hingga kemudian, ketika besar, seakan aku tidak mengingat total pelajaran yang dipelajari—tentu saja, ini bukan tentang pengingkaran bahwa ilmu itu telah aku dapati—sehingga, semakin dewasa, tentu saja semakin cerlang perilah keilmuan. Namun, kasus pembacaan agaknya sekedar lintasan pembacaan, hal itu pun dialami juga pada pengajian al-quran atau iqro. Lintasan pembacaan, yang itu terjadi terus menerus. Selintas-lintas. Atau sekedar bacaan. Hingga akhirnya, membentukku diri yang sebenarnya jarang membaca, karena kurang mengerti tentang apa yang dibaca. Bukan tidak mengerti, melainkan tidak memahami apa yang dibaca: tidak memahami artinya, tidak mengerti tentang pembacaan bahwa itu berlaku untuk sekarang, berlaku untuk kehidupan yang normal dan praktis. Sekali pun menjalankan, maka sesungguhnya sekedar menjalankan kepraktisan di era kehidupan yang itu tidak lagi praktis. Yakni hidup yang sarat dengan jaringan, sarat dengan hubungan, sarat dengan saling-keberbutuhan. 



“Wah tulisanmu arahnya jelas arahnya.”



Jawabku, “Sesungguhnya saya hendak menyampaikan bahwa saya membaca itu seringkali selintas-lintas belaka. Lintasan pembacaan. Yang hal itu dialasi dengan proses sekolah. Yang berpatokan, menjadi tujuan bahwa pembelajaran itu tidak sepenuhnya tertangkap. Atau dalam hal ini: kajian ini masih berkaitan dengan proses pendidikan, arah pendidikan. Jika tidak jelas, tidaklah mengapa. Demikian.”





2018

Belum ada Komentar untuk "Membaca"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel