KEHIDUPAN SEPERTI APA YANG ENGKAU IDEALKAN?







Aku bertanya, kepadamu: kehidupan seperti apa yang engkau idealkan, Taufik? Dan aku tidak melihat terang, bagaimana engkau menjalani kehidupan, yang seakan-akan menabrak system, tapi tidak menabrak system. Engkau malah menawarkan kehidupan yang benar-benar menampakkan diri sebagai kehidupan yang terjadi. Sesungguhnya apa yang hendak engkau idealkan, Taufik?

Bukankah engkau tahu bahwa hidup itu membutuhkan materi dan bersamaan dengan itu membutuhkan sisi ruhani. Ringkasnya, hidup itu berkaitan dengan materi dan ruhani. Atau kita telah percaya dengan klaim tersebut; dan aku juga yakin bahwa engkau mempercayai hal tersebut.

Hidup itu berkaitan erat antara jasmani dan ruhani.

Yang mana, secara realitas, jasmani itu penting diutamakan. Dan engkau megnetahui itu. Tapi melihat gerak-gerikmu—yang itu juga kuliah filsafat, yang itu juga agak menentang system, yang itu juga engkau berperan layaknya Socrates, yang itu juga engkau sangat-sangat kental nuansa islam yang khas atau nuasa islam alamu sendiri; dengan aktif shalat jamaah, dan wira-wira jamaah ke masjid-masjid (tempat-tempat ibadah) di desamu; dan engkau menjalani hidup yang malahan hari-hari berpikir hendak menjadi petani sementara dirimu giat dalam menulis dan membaca, giat bertanya dan juga merenung tentang kedirian. Sesunguhnya apa yang engkau tujukan dengan apa-apa yang terjadi kepadamu saat ini?

Jawabku, aku juga tidak tahu, Pak, malahan aku hendak bertanya kepadamu: sesungguhnya aku sedang menuju ke arah apa? Dan hendak belabuh kemana? Dan ingat, pertanyaan itu ukurannya realistis lho, Pak; bukan tentang ukuran islam, yang mana mentoknya, tentu kembali kepada-Nya, dan akan bersinggah pada kehidupan akhirat-Nya (entah itu surga atau neraka).

Yang pasti, sebenarnya—inilah yang sebenarnya terjadi, Pak—saya itu agak mengikuti apa-apa yang seakan saya-mau perbuat (kehendak yang ada di dalam diri, yang mengajak untuk melakukan sesuatu) yakni naluri (1 dorongan hati atau nafsu yg dibawa sejak lahir; pembawaan alami yg tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu; insting; 2 perbuatan atau reaksi yg sangat majemuk dan tidak dipelajari yg dipakai untuk mempertahankan hidup, terdapat pd semua jenis makhluk hidup; 3 Bio serangkaian kegiatan refleks terkoordinasi, masing-masing terjadi apabila yg sebelumnya telah diselesaikan; reaksi yg tidak bergantung pd pengalaman: KBBI), yang lama-lama menjadi rasa dalam diriku; yakni rasa nyaman dan damai di dalam diri.



Karena kenyamanan dan kedamaian itu, kemudian jadilah keinginan untuk mendatangi-mendatangi, karena perlahan-lahan, perkunjunganku tersebut menjadikan dialog-dialog, yakni perkenalan demi perkenalan; maka jadilah kenal, dari kenal itu, maka mulailah menjadi seperti sekarang ini.

Sesungguhnya apa yang terjadi kepadaku adalah tentang proses, yang akhirnya, menjadikan diriku seperti sekarang ini.

Melihat sejarahnya, sejarahku, maka aku laksana berprinsip: Hidup laksana air yang mengalir. Mengikuti keadaan-keadaan yang terjadi; mengikuti kegiatan demi kegiatan yang terjadi. Dan tradisi atau pembiasaan islam, sebenarnya karena memang di desaku, gerakan keislaman agaknya deras, dan itu pun, karena orang tuaku, mendorong untuk lebih-sibuk dalam urusan islam, sekali pun sekedar mengaji alip-bak-tak. Namun, sebagaimana engkau tahu;

Kehidupan islam, atau organisasi-oraganisasi islam, telah membentuk kegiatan demi kegiatan islami, yang menjadikan orang-orang turut serta, mau tidak mau, mengikuti kegiatan islam. selain itu, banyaknya pengajian-pengajian dan juga tekanan untuk lebih mengikat pada tali islam; maka jadilah aku seperti sekarang ini.

Yang kemudian, dilalahnya lagi, saya dikirim ke pondok pesantren, yang mana itu pondok berbasik al-quran; maka mau tidak mau, saya lebih aktif dengan dunia ke-alquranan. Dan lamat-lamat, perjalanan waktu ‘status pondok’, ‘status santri’ malah melekat kuat pada diriku; padahal pengetahuan keislamanku, kalau dipikir-pikir secara rasio dan timbang matang-matang untuk di zaman seperti ini adalah minim sekali, karena ternyata, prinsipku dulu, mungkin itulah yang menjadikanku pula seperti sekarang ini:

Ilmu itu harus dipraktekkan.

Bersamaan dengan itu, pengajian atau proses pengetahuanku, malah lebih kencang ke arah sana. Dan saya pun tidak mengetahui secara pasti, siapa menaruk prinsip seperti itu kepadaku; atau mungkin, karena status keilmuanku pada umumnya tidaklah cerlang, maka saya mampu menjadi seperti itu.

Teringkas kata, saya tetap memegang teguh ‘status kesantrian’, yang dilalah entah mengapa saya kok berpegang terus dan kencang terhadap ‘status kesantrian’ di dalam diri, karena mungkin juga, karena di desa, tawaran keislaman itu agak kuat, artinya agak kuat; jalinan keislaman itu sarat sekali, dan saya terbawa perasaan dengan hal itu; saya menyangkut ‘rasa’ sampai pada pikiran menjadi seperti itu. Wal-hasil, saya terus menerus menjalani kebiasaan prinsip, ‘Ilmu itu harus dipraktekkan.’ Yang ternyata, pemraktekan ilmuku tidak tersistematis—ini persis sekali bahwa saya adalah orang-orang bagian postmodern—tapi acak-acakan yang lebih menekankan tentang kepatuhan.

Yang selanjutnya, saat bersamamu, aku mulai belajar berpikir. Itu pun tatkala di akhir-akhir itu; yang sebelumnya, kedirianku dialasi dengan agak kesibukan dengan dunia seni, yakni seni kata-kata dan juga seni drama. Dilalahnya juga, saya juga masih ketat dengan ‘status kesantrian’, maka mau tidak mau saya masih berkutat ketat pada al-quran.

Yang dilalah lagi, ‘status di pondok al-quran’ laksana mengerat erat dalam diriku; yang tentunya kemudian menjadikan lebih sibuk dengan keal-quranan. Lebih super sibuk pada ranah ke al-quranan.

Kesibukan al-quran berjalan, dan puisi demi puisi masih juga saya tuliskan. Yang kemudian, mengantarkanku untuk pembacaan al-quran secara kontekstual. Demikianlah perjalanan waktuku. Yang menjadikan aku seperti sekarang ini.

Yang selanjutnya, saat aku bersama Pak Guru, yang itu belajarnya sistematis, dan aku menjalani hidup yang realistis, berada dalam lingkutan yang sarat islami; maka mendengar apa-apa yang Pak Guru bacakan, laksana melihat kejadian yang itu tergambarkan; maklum berbackgrone penyair. Tentu kata-kata atau diksi itu sangat penting.

Apalagi yang didengar adalah tentang hadist demi hadist. Yang kemudian, keadaan semakin menyalak saat Pak Guru membacakan Tafsir Jalalain untukku; di saat itulah kemenyalaan tentang islam semakin terang dan sangar buat pemikiranku; seakan-akan al-quran benar-benar menyala dan terang kepada diriku. Maka jadilah kedirianku semakin tidak karu-karuan, sementara realitasku, masih belum mempunyai status yang jelas.

Apakah engkau tahu, apa alasan mengapa aku mengaji kepada Pak Guru? Sesimpel ini:

Aku mengaji karena aku enggan mengajar. Artinya hanya dua pilhan bagiku yang itu berbasic pondok-pesantren: antara mengajar dan diajar. Maka aku memilih Pak Guru, terlebih lagi, dia dekat, terlebih lagi alasanku simpel; yang pasti di ajar.

Maka jadilah, aku benar-benar di (h)ajar oleh Pak Guru. Keislaman yang kental dan nuasa fikih yang ketat; menjadikanku lebih ketat dalam dunia perislaman, sementara backgroneku, saat bertemu denganmu; adalah penerimaan realitas, saat bersama Pak Guru lain: seakan-akan berkata: realitas tidak semudah itu diterima. Ringkas kata, aku laksana mewujudkan tentang keislaman secara realitas. dan itulah bagian alasan yang menjadikanku; menyukai shalat wajib berjamaah. Alasan yang agak kuat untuk dijadikan alasan bahwa karena mengaji itulah yang menjadikanku menjalani shalat wajib itu berjamaah. Yang dalam prosesnya:

Saat aku menjalani shalat wajib berjamaah, lama-lama menjalin interaksi dengan pelaku-pelaku berjamaah, karena tubuh sering bertemu, maka jadilah komunikasi. Yang dilalah, si rajin pejamaah adalah orang-orang tua, maka jadilah aku mendengar tentang sejarah demi sejarah, yang itu lewat penuturan secara lisan. Jadilah aku berpengetahuan agak tentang sejarah, walau pun itu sejarah dirinya. Sebut saja satu orang, tapi kalau 5 orang; maka tentu, penambahanku tentang sejarah semakin menyalak, terlebih lagi, mereka berada di desa, maka tentu, pembacaanku benar-benar kontekstual. Lebih-lebih, keperjalanan menunaikan shalat wajib berjamaah menjadikanku rindu untuk bertemu.

Ringkas kata, diriku menyadari bahwa aku membutuhkan ilmu, terlebih lagi, backgrone awalnya, aku pun ingin melanjutkan untuk ‘mencari ilmu’.

Ringkas kata, aku telah masuk kuliaah, seperti yang engkau tahu, seperti apa yang pernah aku kabarkan kepadamu; kuliah filsafat. Yang pada kenyataan, aku terkecewakan karena tidak menemukan teman-teman yang seimbang untuk diajak pembicaraan.

Akhirnya, saat kuliah seperti sekarang ini, menjelang akhir dan aku mulai agak lebih banyak waktu berada di rumah; di saat itulah aku menemukan orang-orang untuk mengomunikasi keilmuan. Disaat seperti inilah aku laksana mempunyai tujuan terhadap keilmuan; yang dilalah, pada prosesnya, tidak sesimpel apa-apa dalam teori.

Kenyataan tidak seperti yang diteorikan.

Kenyataan tidak seperti kata-kata.

Kenyataan adalah kenyataan, yang itu berjalan sedang, tidak cepat, tidak juga lambat. Lalu aku mulai mengkaji tentang postmodern; lalu aku melihat itu terjadi pada masa sekarang, di desa, dan benar-benar merasakan desarnya keterkaitan ilmu dan realitas. Maka sejak saat itulah, pelajar kuliah menjadi laksana terisi dan setidaknya persis mempunyai tujuan:

Sekali pun pada akhirnya laksana menjadi pemikir kelas desa. Ahaha pemikir kelas desa, Pak. Hehe

Itulah yang terjadi.

Berpemikan tentang desa, tentang realitas, dan itu pun masih kepayahan menyatukan antara teori dan pelaksana. Karena aku melihat yang itu berukuran pada postmodern.

Ah jawabanku terkesan ngelantur, tapi sebenarnya saya hendak menjawab, tentang pertanyaanmu; kenyataan yang seperti apa?

Jawabku: kenyataan yang saling menyaling dan ingat dengan Tuhan-nya. Itulah yang menjadi ideal bagi diriku. Kenyataan yagn saling menyaling tentang kemanusiaan dan ingat dengan Tuhan-nya. Atau lewat tali islam kita menjalin kenyataan yang sesungguhnya. Begitulah yang saya idealkan. Parahnya, orang-orang sebenarnya telah berstatuskan orang yang beragama; yang harusnya ideal tersebut telah terlaksa. Faktanya, kenyataan tidak seperti apa-apa yang telah ‘dipercayainya’; itulah yang menjadikanku kehidupanku tidak-jelas; terlebih lagi, statusku pun belum jelas. Pekerjaanku belum jelas. Dan realitasku belum jelas; itulah yang menjadikan tambahan-tambahan ketidak-jelasan kehidupanku.

Dan kepadamu, aku sampaikan kedirianku. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "KEHIDUPAN SEPERTI APA YANG ENGKAU IDEALKAN?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel