Indonesia ‘Menjelma’ Manusia Rasional






Latar Belakang


Manusia Indonesia, dikenal dengan manusia religious, yakni manusia yang beragama. seabgaimana dikatakan oleh dasar Negara, yakni panca sila, yang pertama: ketuhanan yang maha esa. Terlebih lagi, bagi orang Indonesia dianjurkan harus mempunyai ‘status’ agama; yang mana setiap individu harus berprinsip yang mana agama tersebut mempunyai prinsip.

Prinsip umum dari agama adalah tentang percaya. Yakni sesuatu yang berada di dalam dirinya. Sebab percaya itu terletak di dalam diri manusia, diri individu. Itulah yang menjadi alasan manusia beragama.

Selanjtunya, pembacaan tentang manusia Indonesia, adalah pembacaan terhadap sejarah masa lalu, yang mana dahulu kala, manusia nusantara telah mempercayai sesuatu yagn gaib, sesuatu yang tidak Nampak, dan sulit dibuktikan secara logika. Sehingga para antropolog atau sosiolog menyebutkan, manusia nusantara berpedoman, agama primitive, yakni animism serta dinimisme. Yakni mempercayai sesuatu pada benda, dan benda yang mempunyai kekuatan atau daya. Yang selanjutnya, manusia nusantara di kedatangan ajaran agama hindu-budha, yang mana juga mempercayai adanya Tuhan (tuhan di sini, harus diartikan yang luas; jangan pikir simpel dan sederhana, yang pasti, setiap agama ada sesuatu yang disebut Tuhan; yang mana Dia adalah menguasai tentang keberadaan).

Dan agama hindu-budha, yang masuk ke nusantara, tentu tidak sepenuhnya mirip plek dengan agmaa yang berada di daratan Hindia atau India, melainkan adanya percampuran budaya dengan manusia nusantara; agama hindu-budha memang masuk ke manusia nusantara, namun tidak sepenuhnya mirip plek dengan agama-hindu yang berada di hindia sebagai perwujudan kesempurnaan agama hindu-budha, bila pun mirip plek, tentu para penggede atau pengajar agama tersebut, yang tetap memegang penuh tentang agamanya. Memegang penuh keaslian (kemurnian) agama.

Dan perjalanan waktu, hingga pada akhirnya, agama islam, mulai masuk ke nusantara. Ringkas kata, perlahan-lahan agama islam menyebar luas ke nusantara, yang mana penerapannya pun tidak plek dengan agama islam yang itu berada di tempat aslinya, yakni arab. Agama islam berkembang dan itu mengikuti gerak-gerik keadaan tempatnya, manusianya. Hingga kemudian, agama islam menjadi ‘agama’ utama manusia nusantara, karena menguasai besarnya manusia nusantara. Hal itu ditandai dengan maraknya kerajaan demi kerajaan yang ada di nusantara. Dan bahkan, hingga kemudian, wali pun menjadi raja pada kerajaan di nusantara, yakni Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Dan perjalanan waktu, gerak-gerik zaman, gerak-gerik pengetahuan, mulai dikuasai oleh rasio. Kemenangan akan rasio di belahan dunia barat, menjadikan manusia semakin sempurna untuk kemanusiaan; maka dibuatlah alat-alat untuk kemudahan kehidupan manusia; hal itu ditandai oleh,

Revolusi pertanian—masa-masa awal revolusi kemanusiaan.

Revolusi Industri—masa yang sedang kita bicarakan ini.

Revolusi industri, menjadikan manusia bisa lebih giat interaksi dengan manusia lainnya; ringkas kata, orang-orang dari negeri belanda tiba di nusantara, yang kemudian—secara ringkas—mengusai pasar, menguasai gerak-gerik peradaban di nusantara.

Tatkala manusia belanda atau sebutlah, bangsa eropa tiba di nusantara. Maka secara otomatis, mereka membawa suatu paham, yakni rasio. Karena sejauh kita tahu, tekanan rasio berada dari pihak dunia bagian barat; atau yang saya maksud ini adalah tentang filsafat. Yang mana perkembangannya dari Yunani, mengarah ke Romawi dan bangsa-bangsa Eropa. Terlebih lagi, di zaman itu, masih maraknya, gerakan materialis atau filsafat materialisme; alasannya karena revolusi Industri. Yang tentu, orang-orang eropa, membawa peradaban di nusantara.

Awalnya memang sederhana, tujuannya demi mempertahankan hidup di dunia; namun berbeda dari prisip dasarnya. Jika belahan dunia barat berprinsip tentang logika (baca; berpikir) sebagai upaya utama, maka belahan dunia timur berprinsip tentang rasa (baca; perasaan, hati) sebagai upaya utama.

Maka kemudian, jadilah satu kesatuan dari untuk manusia nusantara, yakni manusia ‘Indonesia seperti yang sekarang ini. keterkaitan antara logika dan rasa.


PEMBAHASAN


Sebelum menjadi ‘indonesia’, kita, adalah manusia nusantara, yang mana dialasi dengan kerajaan demi kerajaan yang terpecah belah, yang berada dalam status nusantara; hingga kemudian, ketika zaman belanda atau penjajahan yang lain, yang itu dari daerah eropa atau barat, maka perpecahan demi perpecahan itu mengumpulkan kekuatan untuk bersama, yakni mengusir penjajahan yang berada di nusantara. Diksi pengusiran sebenarnya bukanlah diksi yang mudah diterapkan, karena yang dimaksud dengan penjajahan adalah penguasaan ekonomi, atau penguasaan tentang perdagangan—sebagaimana telah kita ketahui, bahwa manusia nusantara adalah sarat dengan rempah-rempah, yang mana bersama dengan rempah-rempahnya maka para pedagang berlalu lalang di daerah yang statusnya bernama nusantara—maka jadilah Negara, yang disebut dengan Indonesia.

Dan agama tetap saja menjadi backgrone utama manusia Indonesia, karena agama telah tertanam dalam diri manusia nusantara.

Namun keberadaan atau tawaran dari bangsa eropa, menjadi orang yang beragama menjadi orang-orang yang rasional. Artinya orang-orang yang membutkan dalil-dalil objektif—sesungguhnya inilah yang hendak saya bahas, yakni kita menjadi manusia rasional dan lalai dengan keagamaan yang berbasik tentang irrasional— sementara backgrone manusia beragama adalah tentan kesubjektifan.

Alasan-alasan manusia Indonesia menjadi lebih objektif, karena memang gerak-gerik zaman mengindikasikan untuk menjadi manusia obejektif dan manusia rasional, hal itu ditandai dengan:

Keberadaan pendidikan atua system pendidikan yang menekankan tentang ilmu ilmiah, atau ilmu objektif.

Keberadaan globalisasi atau tema globalisasi yang menjadikan manusia untuk saling menyaling dengan dunia yang lain, yakni budaya yang universal.

Maka bersamaan dengan itu, manusia beragama, menjadi semakin lalai dengan backgrone keagamaan, yang itu pun harus berkekuatan irrasional.

Memang agama menekankan tentang rasional, namun disisi lain, agama pun menekankan tentang irrasional; hal itu, untuk zaman seperti sekarang ini, terlebih lagi, melihat Indonesia pada umumnya, maka terlihat bahwa zaman lebih condong kepada hal rasional dibanding dengan irrasional.

Harusnya, karena kita manusia yang itu beragama, adalah seimbang antara rasional dan irrasional. Irrasional adalah tidak berdasarkan akal (penalaran) yang sehat—KBBI--; sebab, jangkauan agama adalah tentang jalinan kepada hari akhir, atau kekelan pada dunia kelak, yang mana itu harus dipercayai. Itu harus dipercayai.

AKHIR KATA

Manusia Indonesia, yang awalnya berbacgrone keagamaan yang itu berprinsip juga tentang irrasional, bersamaan dengan gerak-gerik zaman, manusia Indonesia lebih cenderung kepada rasional dan lalai bahwasanya agama pun berkaitan dengan irrasional. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Indonesia ‘Menjelma’ Manusia Rasional"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel