Kiai Desa Wargomulyo Mbah Ibnu Qosim

KH. Ibnu Qosyim

Saya tidak begitu pasti mengetahui tentang siapa Mbah Ibnu Qosim, kecuali, dialah Imam Masjid Agung wargmulyo, dan saya pun tidak merasakan penuh dengan kepastian sepak terjang beliau yang diaku menjadi kiai buat masyarakatan wargomulyo; karena pada waktu beliau sehat, saya masih kecil, dan tidak perduli (atau memang pikirannya belum berpemikiran) tentang keislaman atau sejarah perdesaan.

Namun saya pengkaji filsafat, pengkaji sejarah, membaca lintasan sejarah mulai dari sebelum masehi sampai kekinian, pada rentang waktu 600 Sebelum masehi sampai 2017 masehian; pembaca tentang sejarah-sejarah, membaca tentang tokoh-tokoh filsafat kelas dunia, membaca tokoh-tokoh keislaman tentang dunia; melerai tokoh-tokoh lintas internasional. Tapi ternyata, saya tidak mengetahui pasti, tentang kiai yang berada di dekat lingkungan saya. Tidak memahami lingkungan yang menyelimuti gerak-gerik perjalanan waktu saya.

Demikianlah ironis, pengetahuan di zaman seperti sekarang ini, di zaman maraknya informasi; di zaman setelah kemerdekaan republik Indonesia.

Saya mendengar atau saya membaca, tentang sejarah desa, yang sekitar tahun 1930 Masehi—di zaman, yang mana Negara Indonesia menjelang merdeka. Indonesia menjelang status kemerdekaan. Di situlah desa wargomulyo mulai teradakan. Mulai ‘mengada’. Yang adanya program, transmigrasi. Di masa colonial, yakni masa penjajahan. Atau Negeri Belanda mulai menguasai pasar di Indonesia.

Namun kehidupan, proses kehidupan, tidaklah seperti apa-apa yang tertuliskan. Adakalanya tulisan lebih menyimpelkan atau menyimpulkan tentang gerak-gerik kehidupan. Sebab di tahun 1930 an, atau di masa-masa para transmigran ke Pardasuka, atau membentuk desa yang bernama Wargomulyo; berstatuskan ‘damai’.

Tidak seperti di Batavia, Semarang, atau Jawa Timuran. Orang-orang, katanya, saat tebang, menjalani proses hidup yang seperti biasa, menjalani proses hidup yang itu mencukupi tentang kebutuhan hidupnya, yakni sandang, pangan dan papan. Begitulah proses hidup, yang berada di desa wargomulyo.

Yang mana, karena itu agak daerah terpencil, artinya, daerah jauh dari pusat peradaban manusia nusantara, wal-hasil, daerah tersebut agak tertinggal, seperti dengan keberadaan alat transportasi, telekomunikasi, atau elektronik; yang pasti, ketiga alat tersebut telah ada.

Sebab dari kalangan dunia barat, atau filsafat barat telah mendengungkan isu, yakni filsafat postmodern, atau masa-masa setelah modern, yang waktu itu, diperkasai oleh filsuf Prancis, Rene Descartes, dengan keunggalan rasionya.

Tapi Nusantara, bukanlah seperti barat atau Negara eropa: nusantara adalah daerah yang sarat dengan alamnya. Sarat dengan kekuatan alamnya, yakni tercukupi dengan keberadaaan alamnya.

Hal itu pun, masih di rasakan di era 1930-an. Selain itu, memang dilalah, Nusantara di alasi dengan keberadaan Agama hindu-budha, lalu masuklah dan berkembang agama islam: dan itulah yang menjadi landsan utama manusia Indonesia saat ini. itulah yang menjadi khasnya manusia beragama di nusantara: sebab dialasi atau didahului oleh agama hindu-budha, yang mana basic orinetasi kedua agama tersebut, sangat-sangat menekankan tentang ketidak-pentingan dunia, atua bahasa lainnya, kaum papa, atau bahasa lainnya, kaum zuhud.

dan kembali ke tema pokok, yakni Kiai Ibnu Qosim.

Bersamaan dengan berdirinya desa wargomulyo, yang diketuai oleh Mbah Nawawi; katanya, beliau, mengambil tokoh yang untuk dijadikan Kiai buat desa tersebut, yang dipapankan, yang ditempatkan, yang dipasrahi status kekiaiannya—dan sebenarnya saya kurang mengetahui tentang hal tersebut, sekedar mendengar dari cerita demi cerita yang dituturkan-- namun garis besarnya:

Wargomulyo di adakan status ‘Kiai Desa’. Kiai kelas desa. Yang duduk di masjid agung wargomulyo. Dialah mbah Ibnu Qosim.

Karena distatuskan menjadi kiai desa, maka beliau mengisi kegiatan desa, seperti mengimami masjid, mengajar ngaji, dan acara-acara islami lainnya (maksud acara islami lainnya adalah beliau menghadiri undangan dari orang-orang yang menyelenggarakan acara islami; ringkas kata, beliaulah yang didepankan pada acara-acara islami)

Ingatlah, beliau berada pada masa 1930 Masehi, yang mana agama islam itu ada sejak sekitaran 600 Masehi (Zamannya Kanjeng Nabi Muhammad), dan agama ada di nusantara sejak atau sekitaran tahun 1200 masehi, yang kemudian mengalihakan nusantara dari kerajaan-kerjaan hindu menjadi islam; terlebih lagi, telah kita ketahui, bahwa dalam proses waktu tersebut islam semakin berkembang dan menjadi system yang kuat terhadap keislamannya itu sendiri. Wal-hasil, mbah kiai ibnu Qosim, meneruskan perjuangan ulama-ulama sebelumnya. Artinya, kebiasaan-kebiasaan ulama sebelumnya.

Bukankah kalau kita mengamati tentang gerak-gerik apa-apa yagn ditawarkan islam adalah selalu seperti itu: yakni tentang rukun iman dan rukun islam, yang di dasari kuat oleh Al-quran dan Hadist.

Maka status mbah ibnu qosim pun meneruskan apa-apa yang telah digagas oleh pendahulunya—siapa pendahulunya? Yakni orang muslim yang berada di nusantara.

Bukankah mbah nawawi, mbah naris, mbah Abdullah siqiq, mbah sapuan, dan Mbah soleh, dan yang lain-lain (orang-orang generasi awal transmigran di wargomulyo) telah berpengetahuan agama islam karena di jawa pun telah berlangsung tentang kebiasaan agama islam?

Mak status Mbah Ibnu Qosim, memang layak distatuskan menjadi kiai, karena dikiaikan atau khususnya dibenar-benarkan kiaikan oleh pemerintahan desa, yang diketuai oleh Mbah Nawawi.

Jika ditanyakan apa itu kiai? Jawabku, seorang yang mengerti agama, yang mengikuti kegamaan islam; berpengetahuan islam. Itulah kiai.

Jika ada yang bertanya, mengapa engkau menulis seperti ini atau menulis Mbah Ibnu Qosim?

Jawabku, saya mulai menjalani kehidupan yang realistis, kehidupan yang praktis, kehidupan yang benar-benar hidup, yakni lintas kecil; mulai keakuanku, sampai sesuatu hal-hal yang mempengaruhi proses keakuanku. Ringkas kata, saya berusaha mengerti siapa-siapa pendahuluku, sebagaimana Kanjeng Nabi juga berpengetahuan tentang orang-orang sebelumnya.

Terlebih lagi, saya sering membaca tokoh-tokoh kelas dunia, tapi ternyata, saya kurang memahami tokoh yang berada dekat dengan kita.

Jika ditanyakan, mengapa engkau menulis tentang sejarah desa yang itu, pada era modern seperti sekarang ini, laksana tidak ada harga atau populernya?

Jawabku, sesungguhnya saya telah membaca tentang sejarah lintas internasional, namun dalam benak-pikiranku: hidup itu adalah realitas dimana tubuh itu berada. Selain itu, ini adalah proses untuk mengetahui tentang apa-apa yang ada di sekitar saya. Toh, ini tentang ‘ilmu’, dan bagiku, ilmu itu menghiasi buat pemiliknya.

Jika dikatakan, seperti tidak ada pekerjaan lainnya; menulis tentang desa atau bahkan tentang kedesaannya?

Jawabku, ini adalah tentang proses pencarian ‘keakuan’ yang kemudian, lebih menyudutkan ulang pada ranah-ranah sosiologis dan ranah psikologis; dan sebenarnya, saya juga punya pekerjaan lainnya.

Jika dikatakan, untuk siapa engkau menulis dan mengikatkan pengetahuan ini?

Jawabku, tentu, pertama-tama untuk diriku, jika ini bermanfaat buat orang lain, maka syukurlah.

Jika dikatakan, bukankah engkau tidak benar-benar mengetahui tentang mbah ibnu qosim?

Jawabku, benar. Saya tidak mengetahuinya secara benar tentang Mbah Ibnu Qosim; tapi apakah bagimu salah kalau saya menulis tentang mbah ibnu qosim menurut apa yang telah saya ketahui?

Jika dikatakan, mengapa harus mbah ibnu qosim?

Jawabku, karena beliau adalah tokoh utama atau sentral keislaman di desa wargomulyo.

2017

Belum ada Komentar untuk " Kiai Desa Wargomulyo Mbah Ibnu Qosim "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel