Wargo Mulyo (Indonesia) dan Ekonomi


wargo mulyo


Tulisan ini adalah analisis inividividu yang berdasarkan historis dan penangkapan filosofis (yakni mendalam dengan beberapa faktror yang melingkari kehidupannya); namun, tetap saja, tulisan ini adalah refleksi pengetahuan saya.



Latar Belakang

Desa Wargo Mulyo—telah kita ketahui bersama; adalah desa transmigrasi dari pulau jawa ke pulau lampung, yang mana tujuan para transmigran adalah mendapatkan kehidupan yang layak; yang mana sudut orientasinya adalah layak secara manusiawi; yakni kebutuhan manusia, Pangan. Atau kalau kita kenang ulang, bahwa kebutuhan pokok manusia adalah: Sandang, Pangan, dan Papan; bukan berarti saya tidak menyebutkan bahwa agama pun menjadi kebutuhan manusia; bahwa kesenangan atau ‘hiburan’ menjadi kebutuhan manusia. Namun saya melihat kebutuhan manusia secara eksistensinya, yakni materinya kemanusiaan. Dalam sejarahnya, memang kedudukan filsafat dan agama menjadi kata-kunci dalam kehidupan. Namun dalam hal ini, pada tulisan ini, orientasi umum, bahwa kebutuhan pokok manusia; adalah hal-hal yang mencukupi kemanusiaan yang ‘nampak’, yakni kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan papan—secara ekonomi, sejarahnya, atau awalnya, sehingganya di sebut dengan desa wargo mulyo, adalah demi kepentingan kelayakan hidup atau kebertahanan hidup. Yakni dengan cara mengolah tanah atau bertani.

Sebagaimana kita ketahui, pada sejarahnya, nusantara berkekuatan penuh pada rempah-rempahnya, atau kekuatan alamnya, sehingga, nusantara menjadi pulau perdagangan yang berkaitan dengan rempah-rempah (baca; sejarah nusantara, 1500 masehi-1900 masehi; Sartono Kartodirjo; dari emporium sampai imperium—dari pedagangan sampai kerajaan), yang mana dalam prosesnya; tentu, pulau nusantara, di datangi oleh manusia-manusia yang itu bukan saja manusia nusantara, melainkan seluruh penjuru dunia. Begitulah nusantara; begitulah Indonesia;

Begitu juga hampir, desa wargo mulyo; namun tidak seringkas itu, desa wargo mulyo, yang terbentuk sekitar tahun 1930 Masehi (ini pun tahun era transmigrasi, belum disebut atau belum di rencanakan, saya pikir, untuk disebutkan menjadi desa yang di atas namakan; wargo mulyo), yang mana orientasi kuat adalah tentang olah tanah, atau pertanian atau perkebunan atau berkaitan dengan alamnya.

Bagaimana ekonomi di desa Wargo Mulyo?

Telah saya sebutkan, bahwa orientasi utama manusia wargo mulyo berkuatan dengan alamnya (yang dalam hal ini, adalah pertanian atau perkebunan). Namun, mari kita telusuri lebih lanjut tentang: apa itu ekonomi?

Ekonomi selalu berkaitan dengan uang. dalam KBBI di sebutkan, eko·no·mi /ékonomi/ n Ek 1 ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (spt hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan); 2 pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dsb yg berharga; 3 tata kehidupan perekonomian (suatu negara); 4 cak urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara);



Dengan melihat pengertian tersebut, tentu telah tergambar jelas bahwa ekonomi adalah ilmu atau cara.



Namun saya akan mengembalikan pada sejarahnya manusia desa wargo mulyo, yang awalnya adalah proses tebang atau babat. Atau daerah kekuasaan, yang kelak, mampu mencukupi kebutuhan pokok kemanusiaannya; yakni mempunyai sandang, pangan dan papan.



Tatkala manusia desa wargo mulyo, telah mempunyai tanah-tanah persawahan, maka di situlah jalur ekonomi manusia desa wargo mulyo. Itulah ukuran ekonomi manusia desa wargo mulyo.



Yang dalam perjalanan waktunya, di era kemerdekaan, tahun 1945 masehi, status nusantara di ubah menjadi Negara republic Indonesia, yang mana ada klaim tentang nasional, yakni kesatuan ‘daerah-daerah’ yang ada di tanah nusantara, karena status tanah nusantara di jajah oleh eropa, yakni belanda. Jajah dalam arti, adalah kekuasaan ekonomi atau kekuataan pedagangan yang dikelola secara sistematis dan oleh bangsa eropa—sebagaimana kita ketahui; eropa, di tahun 1945 masehi, adalah manusia ilmiah, yang terkenal dengan pola-pola ilmu pengetahuan yang rasional; dan ilmu-ilmu yang ada di eropa telah sangat mapan. Saya sertakan, bahwa di era tahun 1954 masehi, orang-orang eropa telah berstatuskan zaman postmodern, itu dalam kajian filsafat. Yakni suatu zaman sesudah modern. Zaman yang telah maju; yang ditandai dengan maraknya: industry dan teknologi.—yang tentu, sejak saat itu, pola-pola pemerintahan mengikuti pokok-pokok yang Negara republic Indonesia tawarkan.



Selain itu, bersamaan dengan nasional, maka bersamaan itu, manusia desa wargo mulyo, mulai merasa mapan secara ekonomi; maka hukum kemanusiaan, setelah mapan ekonomi, maka orang-orang berusaha mengikuti tradisi atau kebiasaan yang ada, yang mana tujuan utamanya keselarasan atau menyeimbangi daerah yang ada, maka jadilah orang-orang desa wargomulyo, mulai suka berbelanja, atau orang-orang melakukan perdagangan guna mencari kebutuhan ekonomi.



System atau pola-pola pasar pun terjadi. Ukuran utama dari desa wargo mulyo adalah keselarasan dengan pringsewu, yang mana pringsewu telah mengenal kendaraan (transportasi), technology serta telekomunikasi.



Yang semakin hari, dengan maraknya ketiga kata kunci tersebut (transportasi, technology, dan telekomunikasi), manusia wargo mulyo, persis mengikuti arus global dunia—karena zamannya pun telah menjadi zaman globalisasi; terlebih khusus zaman sekarang, zaman semakin melek terhadap internet, media-media informasi (televise, radio, internet) menjadikan manusia semakin menunjukan untuk ukuran global, malah-malah menjadi kelas internasional.



Sebenarnya yang hendak saya tekankan di sini:



Kita adalah kaum yang berlatar belakang tentang kealaman, atau berkekuatan alam, namun mulai melalaikan alamnya, atau sudah jarang orang-orang yang benar-benar mencintai status kealaman, dalam hal ini adalah pertanian. Karena kita lebih memilih menjadi pekerja yang itu berorientasi nilai-umum; yang mana ukuran keumuman berskala internasional.



Kita menjadi orang-orang yang berdaya diri untuk kesetaraan internasional namun melalaikan: kedirian. Melalaikan siapa aku? Yakni orang yang beralaskan alam.



Memang, masih banyak orang yang mengandalkan alam, namun pola-pikir atau mind-set mereka berdaya materialis; yang ukurannya adalah materi atau uang. demi menyetarakan keumuman. Bukan lagi menikmati apa yang dikerjakan. Bukan lagi menikmati pertanian atau kealaman.



Ukuran manusia-alam desa wargo mulyo (pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya) bukan lagi tentang menikmati proses sebagai pengolah tanah, namun lebih cenderung berdaya diri untuk bersaing hal-hal yang itu kecukupan secara materi, yang ukurannya internasional.



Memang ini telah menjadi zamannya: bahwa, orang-orang berusaha untuk menyeimbangi keadaan, dengan mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang layak dan ukuran layak adalah bersih.



Orang-orang berusaha untuk mendapatkan kekayaan, dengan mempunyai uang banyak, dan lebih suka ongkang-ongkangan.



Orang-orang mengandalkan tanah (kealaman), namun pikiran mereka berstatuskan mind-set, materialisme (Aliran Filsafat yang menekankan pada materi; di perkasai oleh Karl Mark; yang mana di Indonesia pun marak, karena status dunia pun begitu; hal-hal yang materi, adalah undang-undang kemansuiaan yang nyata): yakni penekanan kepada Kerja, Kerja, Kerja, dan lalai ‘kesatuan’ atau kebersamaan; terlebih lagi, dalam hal-hal pertanian, sangat-sangat dianjurkan untuk menciptakan rukun-bersama dengan tetangga sawah garapannya.



Namun, keadaan zaman ini, menekankan untuk ‘milik-Individu’ dan terkesan ‘hak-kuasa’ individu; walau sebenarnya, sejak zaman dulu juga seperti itu, senantiasa berpikir, ‘milik-individu, dan ‘hak-kuasa’, atau dalam hal ini: orang yang kaya dengan kekayaannya dan itu berkuasa karena ‘kayanya’ yang berharap menambah kayanya. Begitu juga dengan orang miskin, yang mendayakan diri untuk ‘kaya’; yang mana ukuran kaya di sini, berorientasi pada kaya secara materi.



Jika ditanyakan, bagaimana denganku?



Jawabku, saya adalah pelajar. Yang alhamdulilah, orang tua yang mempunyai status 'punya'—yang dalam hal ini, tentang persawahannya--; setidaknya bersama dengan sawah itu, saya akan mencintai ketanahan saya, yang tidak berpikir atau mengalaskan mind-set berpikir tentang kaya materi, namun keseimbangan antara materi dan ruhani. Namun, saya adalah pelajar, yang belum selesai dengan pelajaran-pelajarannya.



2017

Belum ada Komentar untuk "Wargo Mulyo (Indonesia) dan Ekonomi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel