Taufik Hidayat (Autobiografi)

“Siapa dia?”

Taufik Hidayat, filsafat adalah pelajaran terakhir yang dikerjakan. Kesibukannya menulis, maka sudah pasti pengetahuan tentang bahasa baginya sangat kuat: selain menulis dia mempunyai fakta yang sibuk pada permejidan, sekali pun di mejid sekedar menunaikan ibadah.

Namun lamat-lamat ia mulai kenal dengan orang mejid, dan lamat-lama memperdulikan tentang ‘eksistensi’ mejid. Mulai memperdulikan ragangan mejid.

Yang sebelumnya, ia kurang perduli tentang ‘eksistensi’ tentang keberadaanya, yang sering disibukan perihal ‘esensi’ atau sesuatu yang ada di dalam. Namun dengan keterbiasaannya di mejid menjadikan dirinya mulai ditarik menuju eksistensi.

Bersamaan dengan itu, dia pun mulai mengeksiskan dirinya lewat tulisan, di tahun 2016 akhir. Dia mempunyai blog. Wal-hasil, dia sibuk mengisi blog.

 Taufik Hidayat (Autobiografi)


Taufik Hidayat (Autobiografi)

Tetap saja yang dibicarakan di dalam blog perihal esensi, atau sesuatu yang ada di dalam, atau perihal kedirian dan keakuan. Tentang eluhan dan tentang pemikiran. Hanya saja mulai menampakkan diri yang mampu ternilai dan mampu dikoreksi.

Eksistensi pada dirinya, semakin mendekatkan dirinya untuk mengkaji filsuf eksistensialis barat. Memang dia mengkaji filsafat, namun sejauh ini laksana belum menemukan benang merah terhadap kebutuhannya mengkaji filsafat.

Malah seringkali dia senantiasa berpatok pada tokoh filsafat Nietszche dan Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Jarang sekali tokoh-tokoh yang lain, persis menular pada pemikirannya; sebabnya pemikirannya senantiasa ditarik pada keislaman yang itu khas akan tradisional dan lebih tepatnya dia juga belum menemukan benang-merah terhadap keislaman.

Sebelum itu, dirinya menjalani keislaman dengan keras dan laksana menghukum dirinya untuk ‘amal’ tentang keislaman; hal itu tertompang karena ia pernah di pondok pesantren; maka pada seting pemikirannya adalah berupaya menjaga tentang ‘adab’, tentang perilaku, tentang tata krama, dan bahkan menjaga untuk sesuatu yang disebut alim. Dan hal itu semakin mampu terjadi ketika dia berada di dalam lingkungan desanya, lingkungan tempat tinggalnya.

Sebenarnya yang dilakukan seperti sekarang ini, adalah kelakuan yang terbiasa dilakukan di pondok pesantren. Di pesantren, shalat jamaah itu adalah hal biasa. Biasa sekali. Makan berjamaah, odol berjamaah, sabun berjamaah, petelesan berjamaah; itu adalah hal biasa sekali.

Namun saat kebiasaannya itu diterapkan di desanya, menjadi sesuatu yang terkesan tidak biasa. Melainkan persis sesuatu yang seakan ‘luar biasa’; menjadi pembeda di antara orang-orang yang ada.

Sebab pola kemasyarakatan itu sibuk pada nilai-nilai kerja dan pendapatan harian; dan jamaah atau tradisi sholat itu telah terklaim menjadi orang biasa. Bahkan saking biasanya, kesannya jamaah itu adalah biasa-biasa saja. kurang ada yang special kecuali sekedar menjalankan ibadah.

Dan kesibukan Taufik, sekedar menunaikan jamaah. dan ternyata, proses jamaah di sekitar tempat tinggalnya, menghadirkan sesuatu yang lain.

Adanya rindu ingin bertemu jamaah lainnya. Adanya ketidak-tenangan, sehingga mengakibatkan dirinya harus berpindah tempat. Ketidak-tenangan yakni ketidak-tenangan di dalam pikirannya, sehingga ia mesti berpindah ke tempat lainnya.

Bersamaan dengan itu, ektensistensinya semakin mewujud. Dirinya laksana keliling. Disisi yang lain, dirinya pun semakin mengeksiskan. Jalannya kepada gurunya itu—orang yang akrab untuk menuangkan pemikirannya. Maka surat atau layangan kata diarahkan kepadanya. dan semakin hari, hubungannya dengan guruya semakin intens dan terus menerus.

Sampai sekarang.

Sampai sekarang, dimana Taufik sebentar lagi menuju ‘penyelesaian kuliah filsafat’; di saat itulah, dia semakin gencar membaca teks-teks filsafat. Sebabnya, dahulu kala, pembacaan teks-teks filsafat laksana sekedaran membaca.

Membaca yang tidak mengerti arah mengapa harus membaca. Memang dia rajin membaca, tapi masih kurang ‘memahami’ untuk apa membaca. karena pertanyaan dasar di dalam pikiran atau tubuhnya belum ketemu: yakni tujuan hidup. Wal-hasil, pembacaan pun terkena efeknya.

Memang secara status, dia membaca. dan berdaya memahami. Tapi dia tidak memahami sungguh, mengapa harus membaca kecuali tuntutan. Yang ada di dalam seting pemikirannya adalah bahwa dia harus mengusai tentang sejarah, pemikiran, tokoh filsafat. bersamaan itu, maka dia harus membaca lebih ekstra. Maka pembacaannya pun banyak. Namun dari kebanyakannya itu, dia tidak memahami-sungguh apa yang sebenarnya di baca itu.

Kali ini, saat dirinya mempunyai tujuan, mendadak perlu sekali lagi membaca sesuatu yang pernah dibacainya; membongkar-bongkar ulang sesuatu yagn pernah dilaluinya. Dan ternyata, dia mengetahui kekurangan dirinya, bahwa pembacaannya dulu tidak tersistematis dan tidak secara penuh memahami.

Untuk memahaminya lebih jauh, maka yang pasti dia harus membaca sekali lagi. Soal faktanya, kejadian fakta yang menyertainya, dia menganggap bahwa ‘memahami-tepat’ tentang keilmuan, itu butuh waktu. sementara itu, kefaktaan terus saja harus dijalani. Harus dijalani. Dan proses memahami-tepat adalah efek-efek dari tujuan yang dituju. Sekarang begitulah: dengungan istilah tujuan yang dituju adalah sesuatu yang baru di dalam dirinya dan itu membongkar seluruh daya kemampuan dirinya, membongkar sekaligus mengecek perihal pengetahuan dirinya, sekaligus mendorong untuk menjalani fakta dan masa depan (yakni tujuan), visi. Begitulah.

Belum ada Komentar untuk "Taufik Hidayat (Autobiografi)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel