Etika Kepada Kiai di Dunia-Maya

Etika Kepada Kiai di Dunia-Maya - Kiai pun menggunakan internet. Kiai pun menikmati fasilitas internet. Kiai pun membuat akun sosial. Murid-murid dengan mudah menambahkan Kiai-nya sebagai teman.

Ahaha kiai ditambahkan teman. Kiai kok ditambahkan teman: ehmm.. Apakah itu kalimat yang sopan? Saya berkata, “Boy, kemarin saya menambahkan Kiai Haidar, misalnya, sebagai teman saya, jadi saya dengan mudah bisa berhubungan dengan beliau. Sekarang, beliau menjadi teman-facebookku.”

“Kiaimu ditambahkan teman,” jawabnya.

“Lho beliau menyempatkan diri, untuk dijadikan teman,” jawabku.

“Sebenarnya dia, Kiai atau temanmu?”

Jawabku, “Lha tentu beliau, Kiai-ku, dan sekarang beliau temanku.”

Setelah saya dikonfirmasi menjadi temannya. Dengan mudah, saya masuk ke rumahnya. Saya menimbrung dawuhannya—kalau saya tidak malu; tapi apalah artinya malu, toh dia tidak melihatku, beliau sekedar melihat wajah profilku—

“Seharusnya kamu tidak layak nimbrung saat kiai sedang berkomunikasi dengan temannya?” katanya,

Jawabku, “Lha aku juga temannya, kan? Apa salahnya kalau saya nimbrung, niat saya baik, supaya saya turut cerdas saat nimbrung atau turut serta bersama orang-orang cerdas!”

“Kamu salah! Harusnya kamu tidak boleh menimbrung dengan kiai. Tidak boleh nimbrung. Bahkan kamu lupa mengucapkan salam, atau tata-bahasa yang baik dan benar,” katanya.

Jawabku, “Lha banyak orang lain yang melakukan itu. Banyak orang (murid) yang ndongol kepada kiai-kiainya, entah cari perhatian, atau entah apalah, yang pasti, katanya tujuannya silaturahim. Aku pun begitu.”


Etika Kepada Kiai di Dunia-Maya

Jadi pada era ini, bagaimana menyikapi kiai pada dunia kata-kata, di dunia-maya? Ternyata, sikap pun telah bergeser maknanya. Bertambah maknanya, sikap tidak hanya pada wujud-kenyataan, bahkan sikap pun penting dalam dunia-kata-kata, duniamaya.

“Aduh Taufik, sebenarnya apa yang kau ingin sampaikan? Kau ingin mengatakan bagaimana kau beretika kepada Kiaimu? Sejauh ini bagaimana, sebelum lebih jauh, aku katakan bagaimana sejauh ini kau beretika dengan Kiaimu:

Kau masuk pada halamannya, tanpa permisi. Kau mengawasi rumahnya, saben-hari. Sesekali kamu menyukai. Lalu kau kirimkan kata-kata di halamannya, tanpa mengucapkan salam. Kau jarang mengucapkan salam kepadanya. Bahkan saat kau menelphon, jarang sekali, kau mengucapkan salam kepadanya.

Kau akan bertanya: apakah ucapan salam itu senantiasa penting untuk diucapkan tatkala bertemu (berjumpa: berjumpa pada WA, Telphon) dengan orang muslim di era sekarang ini? Era koneksi. Era melejitnya teknologi. Atau bahkan, saat komentar pada status media-sosial, penting juga untuk mengucapkan salam?

Jawabku, lebih baik jangan banyak bicara. Kamu ingat ada hadist yang menyiratkan akan hal itu. Menjaga kata-kata itu penting. Sangat penting. Penting sekali.

Dan selanjutnya kau akan bertanya: Apa itu bicara? Apakah setiap deretan kata-kata yang bahkan berbentuk teks untuk zaman sekarang dapat dikatakan bicara: bukankah kata-kata atau teks adalah mewakili apa yang hendak disampaikan oleh manusia? Proses sumber keluarnya teks dan bicara tidak jauh berbeda, yakni, sesuatu yang diproses oleh akal lalu dikeluarkan.

Jawabku, teks lebih baik dibanding bicara. Karena teks bisa dikoreksi terlebih dulu, sementara bicara, tidak bisa dikoreksi tatkala sudah bicara. Akhirnya, saran saya:

Sebelum engkau berkomunikasi dengan Kiai, alangkah baiknya, dipikirkan dulu, jangan gegabah mau berdialog dengan kiai, apalagi becandaan dengan kiai, kecuali mempunyai masalah yang jelas, dan layak benar untuk disampaikan kepada Kiai. Kata kuncinya, dipikirkan, direnungkan: ini tanda penghormatan kepada gurumu. Ingat, Kiai memang temanmu, tapi beliau juga gurumu!

Belum ada Komentar untuk "Etika Kepada Kiai di Dunia-Maya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel