Surat Buat Pak Haidar: Politik, Islam dan Aku

Sejak engkau turut serta pada perpolitikan, maka laksana (ya, seakan-akan) menyertakanku pada ‘pentas’ perpolitikan. Termasuk pemikiranku: pemikiranku yang agak bersibuk pada tema perpolitikan, dan hal itu semakin terjadi ketika aku meminta judul buat ‘skripsiku’ (bahkan untuk sekelas skripsi belum kelar-kelar bergaya--ya, bergaya. Menggayakan diri—menuju kehidupan praktis, yang mana menjumpai manusia demi manusia yang praktis. Manusia-manusia yang selesai dari system pendidikan; manusia-manusia yang berbeda-beda tangkapan pengetahuannya) dan kau menganjurkan, Analisis Kritis terhadap Pandangan Kenegaraan Sayyid Qutb, dan itu telah ketemu: ketemu yang itu telah dikaji oleh banyak orang, tinggal mencari di internet kajian itu telah ada. Hingga kemudian, aku tidak jadi mengkaji hal itu, melainkan mengkaji novel. Itulah akhirnya yang kukaji pada system pendidikanku; akhirnya mengkaji novel. Namun yang terekam adalah, agak ‘beruntung’ juga diriku berupaya menyelami pemikiran Sayyid Qutb tentang kenegaraan dan itu dengan teropong kritis, setidak-tidaknya, dengan mengkaji itu, aku persis menjadi negarawan. Orang yang sibuk memikirkan Negara, gayanya. Negara yang berkaitan dengan islam.

Sebab mau tidak mau, yang diharapkan Sayyid Qutb adalah berdirinya Negara islam. caranya bagaimana: seting orang-orangnya, seting kemasyarakatnya. Selain itu, tentu saja, aku membaca perihal politik yang terjadi. Dan menyelusuri tentang politik.

Dimaklumi, kalau pelajar filsafat (aku) ketika menyelusuri sesuatu terkesan berpatokan pada peta sejarah filsafat itu sendiri: yakni Era Kuno, Abad Pertengahan, Modern dan juga kontemporer.

Maka pembacaan politik itu, menyelusuri kesejarahan yang panjang dan dalam. Hal itu memang bagiku, yang sekelas sarjana tingkas satu, sekelas skripsi, tidak harus sibuk-sibuk sampai begitu: menyelusuri sejarah sampai ke akar-akarnya. Namun apalah daya, teks-teks yang menganjurkan tentang perpolitikan bakal menyentuh tentang sejarah yang panjang. Yakni, Yunani.


Surat Buat Pak Haidar: Politik, Islam dan Aku

Diksi yang diungkapkan berasal dari Yunani. Tentu saja, bagiku, si pelajar filsafat hal itu menjadi biasa dan sangat biasa. Malah bahkan mengingatkan bahwa aku telah terbiasa dengan kajian berderet-deret Yunani, dengan kajian dasar perihal pelajaran-pelajaran dasar (apalagi setingkat sarjana dasar) tentu saja, teks-teks yang dikaji adalah teks-teks dasar atau pengantar-pengantar, pengantar yang sekaligus menawarkan ketotalitas pemikiran. Ketotalitas kajian sejarah. Termasuk juga sejarah politik. Politik itu yang berakar dari Yunani. Suatu kaum yang cerlang dengan penggunaan akalnya, alasannya, karena keagaman di sana, waktu itu, mulai rontok. Maka tergantikanlah dengan sesuatu yang berkaitan dengan akal.

Akal atau berpikir, menjadi sesuatu yang terkesan baru buat para petinggi yunani, begitulah kalau kita membaca dasar-dasar kajian filsafat, barat khususnya, sebabnya dari sana mengunggulkan akal dan meninggalkan jejak yang sistematis, itu sebabnya kajian filsafat selalu diarahkan pada filsafat barat, bukan pada filsafat timur, sebab di timur itu lebih menekankan perihal rasa, perihal sesautu yang tidak tertampakkan.

Yang tentu, bersamaan dengan orientasi filsafatnya, di barat dan di belahan timur berbeda. Apalagi yang berkaitan dengan islam. tentu jauh dari berbeda. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan politik islam: pasti itu sangat berbeda dengan tradisi politik Barat.


Politik Islam

Ketika membicarakan politik islam, maka pastilah dibutuhkan pengetahuan sejarah tentang keislaman itu sendiri. Keislaman yang itu berakar dari era Kanjeng Nabi Muhammad dan totalitas kehidupan kanjeng nabi Muhammad, sebab mau tidak mau, gaya yang dijalankan Kanjeng Nabi Muhammad itu juga mampu disebut dengan politik. Mau tidak mau, bisa dikatakan politik. Sebab, selain menjadi Rasul atas nama agama. Kanjeng Nabi Muhammad juga menjadi pemimpin. Terlebih lagi, nyatanya, setelah Kanjeng Nabi Muhammad wafat ada penerusnya, ada penerusnya. (Dan tentu saja di dalam pikiranku, ketika aku menulis ‘ada penerusnya’ maksudnya: seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman, Sayyidina Ali, lalu dan seterusnya, dinasti-dinasti: pelajaran tentang sejarah kebudayaan islam, atau sejarah islam.) Kasus dasarnya begitu.

Hingga kemudian, di saat generasi Kiai Sayyid Qutb masuk tataran politik dan berharap untuk mengembalikan sebagaimana di era kanjeng nabi Muhammad, adalah kewajaran. Sangat wajar. Syaratnya, tentu kalau melihat kanjeng nabi Muhammad, harus memtuuskan budaya-budaya yang ada, yang ada adalah totalitas budaya islam. itulah yang sering didengungkan oleh Kiai Sayyid Qutb. Dan hal itu wajar sekali kalau Kiai Sayyid Qutb mendengungkan untuk meniru kanjeng nabi Muhammad secara totalitas dan sempurna, namun faktanya, di mesir tidka menjadi seperti itu, malah Kiai Sayyid Qutb sendiri di tangkap dan di hukum mati: begitulah Kiai Sayyid Qutb.

Tentu saja, berbeda dengan di Indonesia. Ya! Ketika saya membaca Kiai Sayyid Qutb, saya melihat tentang bagaimana di Indonesia itu berlaku. Di Indonesia, gerakan keislaman dulu, sekali pun masuk pada daerah-perpolitikan, atau kekuasaan di era kerajaan islam; selalu bergaya khas watak dari manusia Indonesia itu sendiri. terlebih lagi, ditahun 1900 masehi. Di saat era kolonialisme, di Nusantara terkesan santai-santai saja, apalagi berkaitan dengan keagamaan, islam. Masih juga ‘agak’ santai. Sebab Kiai di Indonesia, berperan layaknya kanjeng nabi di zamannya: yakni menjadi panutan orang-orang yang ada di sekitaranya dan mempunyai santri (Seperti halnya ahlu suffah di madinah), dan itu, kegiataan itu, tidak hanya satu dua Pondok Pesantren tapi banyak, itulah Indonesia. bahkan aku pun, di desaku, terkena efek semacam itu, sebab kiai desaku adalah bekas dari santri di Pondok Pesantren.

Lama-lama, barulah politik islam di Indonesia muncul, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, NU. Dan itu, sesuatu yang disebut partai keislaman, semakin menjadi setelah Indonesia merdeka. Dan kini, engkau turut serta pada perpolitikan yang juga membawa nama keislaman. artinya dirimu adalah orang yang beragama islam. lebih-lebih keikut sertaanmu menggandeng dari pondok pesantren, puteranya gurumu. Dan gurumu juga, turut serta pada perpolitikan hal tersebut.

Ah politik. Mendadak aku semakin mengkaji perihal politik. Artinya mengkaji tentu mengamati. Arti dari mengamati bagiku agak menempatkan politik di kerangkeng pemikiranku. Sekedar menempatkan. Karena aku menyadari, bukan orang yang terbiasa mengkaji politik. Kajianku tentu filsafat. Efek-efek politik adalah biasa dari kajianku, cabang dari kajianku. Yang kemudian semakin menjadi ketika semakin mematai perihal analisis kritis terhadap pandangan kenegaran Sayyid Qutb.

Hingga kemudian menyeretku, gayanya, turut serta pada perpolitik sekelas desa. Gayanya sekelas desa. Padahal statusku masih sekedar status netral. Yakni orang yang kadang-kadang berada di desa, sebabnya, jalinan perkuliahan belum usai. Itulah faktanya. Fakta dariku.


Aku Fakta

Fakta yang masih pelajar. Pelajar yang belum usai akan pelajarannya. Pelajar yang mestinya sibuk dengan pelajarannya, malah memikirkan sesuatu yang itu melampaui pelajarannya: gayanya politik, gayanya tentang manusia-manusia lain, gayanya tentang sejarah dan totalitas sejarah. Gayanya… gayanya.. padahal sejauh ini, mengurus diri saja masih kepayahan. Mengonsentrasikan diri saja masih kepayahan. Begini kok berpemikiran yang melampaui realitasnya.

“Apalagi memikirkan perihal islam,” batinku, “Islam itu luas. Penganutnya banyak, ilmunya itu banyak. Orang-orangnya itu banyak: begitu kok serakah mau memikirkan atas ‘islam’, keislamanmu sendiri saja bagaimana? Bukankah kau termasuk manusia-islam? seapun itu keadaannya, seapapun itu ukuran pengetahuanmu, tetap saja kau itu ‘islam’, sebabnya syarat itu mudah: syahadatain, maka sah kamu masuk islam.”

“Apalagi memikirkan politik,” batinku, “Apalagi memikirkan sesuatu totalitas dari politik, mengurus diri sendiri saja kerepotan, memikirkan politik. Kalau itu tugasnya menyertai keperpolitikan, ya itu kan tugasnya. Itu tugasnya.”

Namun wajar, di zaman seperti sekarang ini: zaman informasi, zaman keterbukaan pengetahuan, zaman transparan, manusia mampu melampaui statusnya (ah kok jadi status), manusia seringkali melampaui kemanusiaannya, melampaui ‘keberadaannya’, sebab keberadaan zaman memang begitu. dan manusia gampang tergoda untuk seakan-akan meraih yang sebenarnya jauh dari jangkauan peraihan. Artinya, manusia kurang memahami keakuannya.

Itu sebabnya, aku menuliskan ini: mengabarkan tentang politik, islam dan aku. Tentu saja, tujuanku adalah pelaporan atas kesadaran aku-realitas. tujuan utamanya, semakin menjadi aku. Ya! Aku Taufik. Demikian

Belum ada Komentar untuk "Surat Buat Pak Haidar: Politik, Islam dan Aku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel