Apakah Itu Agama?






Aku tahu, engkau tahu apa itu agama, tapi aku menghendaki engkau mengatakan apa itu agama, menurut dirimu. Ya, menurut dirimu, bukan tentang kamus-kamus atau dari petikan-petikan ilmiah, tapi menurut dirimu, aku ingin mendengar apa yang engkau ketahui tentang agama; bukankah engkau mengetahui itu? Katakan kepadaku, apakah itu agama.



Aku khawatir engkau lanyah berkata tentang 'agama' tapi engkau tidak paham-benar tentang agama; aku khawatir engkau lanyah berkata-kata atau menulis agama, tapi engkau tidak paham benar tentang apa itu agama. Dan aku khawatir engkau muluk-muluk berbicara agama, tapi tidak memahami bahwa agama itu untuk dirimu, untuk tubuhmu, dan untuk kedirianmu. Dan sungguh, aku tidak akan mengatakan kepadamu tentang salah atau benar, karena tujuanku bertanya kepadamu adalah mengeluarkan pengetahuanmu atau pemahamanmu terhadap diksi yang engkau tangkap itu.



Taufik menjawab, "Sebagaimana aku membaca, juga mengamalkan, juga mempraktekan, agama adalah sebuah keyakinan dalam diri manusia yang itu ada aturan-aturannya. Pada dasarnya, agama itu adalah kepemilikan individu, karena hal itu berkaitan dengan 'yakin' atau 'percaya' sementara letak percaya atau yakin itu berada pada diri individu, begitulah pemaknaan luas tentang agama, sejauh pembacaanku; yang itu, membaca sejarah-sejarah agama, membaca tentang bagian-bagian agama, sistem-sistem agama. Pada dasarnya, agama itu adalah tentang keindividuan yang telah membaur bersama individu-individu yang lain, begitulah agama.



Pada kenyataan seperti sekarang ini, agama adalah klaim sekelompok orang kepada agama tertentu, dan ukuran kenyataanku adalah manusia-indonesia, yangmana manusia indonesia sarat dengan nilai-nilai agama, atau keberadaan agama adalah sangat aktif; namun landasan utama adalah bahwa manusia indonesia itu beragama. Seringkas itu.



Jika dibaca sejarahnya, maka orang-orang indonesia, dahulu kala, bukanlah orang yang beragama--karena status diksi agama adalah 'kelompok' yang telah disepakati-- namun hal itu tidak sepenuhnya benar, karena tatkala kita kenang sejarah nusantara, sebagaimana para sosiolog maupun antropolog, manusia nusantara telah mempercayai sesuatu yang gaib, dan itu disebut dengan animisme dan dinamisme, yang kemudian, berjalannya waktu, masuklah agama hindu di nusantara, masuklah agama budha di indonesia--dan hal itu terbukti dengan adanya kerajaan-kerjaan hindu-budha atau bangunan-bangunan yang bercorak hindu-budha-- yang selanjutnya, agama islam masuk di nusantara, diteruskan dengan masuknya agama nasrani di nusantara.



saya berpikir, awalnya tak ada diksi agama, namun diksi itu digunakan untuk mempermudahkan julukan tentang 'yakinnya', atau ikatan yang telah terbuat sistem; ketermudahan itu disesuaikan dengan keadaan yang ada, mungkin, untuk mempermudah dikatakan tentang agama.



ah saya tidak tahu, siapa yang pertama menyebutkan diksi agama; sayangnya, dalam memoriku, diksi agama itu diadakan pada masa hindu-budha, bahwa diksi agama itu berasal dari bahasa sangsekerta, artinya dari hindia juga. Berarti diksi agama pada masa hindu-budha; yang kemudian berjalannya waktu, diksi itu tetaplah ada dan digunakan. dan sekarang, banyak orang yang tetap menggunakan diski itu, yang tujuannya untuk menjadikan kata tunjuk terhadap 'keyakinan' yang telah tersistem itu.



yang pasti, tatkala orang berkata 'aku beragama islam', berarti dia berkeyakinan tentang sesuatu yang tersistem terhadap islam, dia, atau si aku percaya.



dan saya pun menegaskan-tegaskan, tentang si aku; bahwa agama kembali kepada si aku sebagai pelaku agama. Agama memang telah membuat sistem, telah tersistem, tapi fungsi agama kembali kepada si aku, yang itu beragama.



mengapa demikian, karena sekarang, aku enggan terjebak pada tema-tema besar, tapi mengembalikan kepada si aku sebagai pelaku agama. Karena saya berpikir, kekacauan yang terjadi pada kaum-kaum beragama di zaman informasi seperti sekarang ini, adalah geger-geger terhadap 'status agama orang banyak, tapi lalai dengan status agama si akunya sendiri'; seakan-akan agama adalah milik sosial, padahal menurut saya, agama itu paling kuat adalah untuk si aku sendiri.



Bila pun berhubungan dengan isu sosial, maka pastilah kena sangsi sosial; apalagi berkaitan dengan agama.



Apakah berarti saya berpikiran membebaskan orang-orang atau si aku-aku untuk keperakuan terhadap agama?



jawabku, tidak. saya tidak membebaskan tentang hal itu; namun begini, saya hendak menyampaikan bahwa yang penting kita benahi adalah 'si aku' menjalankan agama. Jika kita berada pada situasi sosial, maka 'si aku' penting mengabarkan pada 'si aku' lainnya; untuk belajar bersama, melangkah bersama, karena si aku kini telah menjadi 'Kita'. Namun kemudian, si kita, tidak boleh kaku terhadap kekitaan yang telah disepakati, karena kita itu mempunyai sumber terhadap agama.



Jika ada yang lain, yang berbeda dengan kita, maka pentingnya adanya dialog untuk menjadi kita lagi. Hal itu, bagi saya laksana teori dealektika Hegel: dari tesis ke anti-tesis maka jadilah tesis yang baru. Lalu jika ada tesis yang baru, maka jadilah tesis yang baru itu menjadi anti-tesis, maka ketemulah tesis yang baru. Begitu seterusnya.



Namun, pada akhirnya juga, kepentingan agama, bagiku, adalah teruntuk keakuanku; artinya bila pun yang berkeyakinan akan kembali kepada si aku; dan itu ukurannya 'ngibadah' individu, dan selanjutnya, tatkala bertemu dengan 'si aku' yang lain, akan menjadi 'ngibadah' umum.



Akhirnya, agama adalah untuk si aku, yang membutuhkan aku yang lain untuk menguatkan tentang eksistensi si aku; karena hidup itu jalinan manusia dengan yang lainnya.



Dan engkau bertanya apakah itu agama?



jawabku, agama itu nama untuk wadah individu yang mempunyai keyakinan. Itulah jawabanku, Pak Haidar.

Belum ada Komentar untuk " Apakah Itu Agama? "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel