Realitas Kealaman








Taufik, engkau memang pemberani; yakni mengambil keputusan yang itu sesuai dengan kedirianmu. sekali pun engkau lebih cenderung pada dunia ilmiah, atau pada ranah-ranah akademisi, namun sikap yang engkau pilih, kembali ke alam; dengan gagah engkau berkata:

“Aku telah melihat pola-pola pemikiran besar, yang mana di era postmodern, orang-orang mulai kehilangan arah terhadap kehidupannya; bahkan para pendidikan atau yang berstatuskan di lembaga pendidikan, lebih berkesibukan terhadap teks-teks, dan itu memang sebuah pilhan. Namun aku memilih menjalani hidup yang biasa; bahagia bersama kesibukanku sebagaimana nenek-moyangku, yakni bertani.

Bagiku, tidaklah hina menjadi seperti itu. dan engkau, jangan artikan simpel dan sempit tentang ‘pertanian’. Plise jangan simpel dan padatkan ‘diksi’ itu menjadi sesuatu yang terkesan ‘kotor’, ‘jorok’, dan ‘capek’. Karena menurutku, sejauh pembacaan berkaitan dengan filsafat:

Tujuan manusia itu menyelamatkan ‘kemanusiaannya’, yang itu meliputi jasmani; kebutuhan jasmani serta rohani. Yang mana keduanya harus seimbang, selaras, barulah akan mencapai kebahagiaan. Apa itu ukuran kebahagiaan? yakni, kebahagiaan di dalam diri. Bersifat keakuan; subjektif.

Kebahagiaanku tidak mungkin dengan gampang engkau renggut.

Kebahagiaanku tidak mungkin dengan gampang engkau pungut.

Begitu juga dengan kebahagiaanmu, aku pun tidak mampu memungut. Ah berbicara tentang kebahagiaan, dengan polaku, atau kehendak pilihanku, yang kembali ke alam; sesungguhnya bukanlah tentang kespesialan, atau sesuatu yang layak dispesialkan. Sebab orang-orang mempunyai kebahagiaan.

Setiap kita mempunyai ukuran kebahagiaan.

(apakah berarti saya beragapan tentang individualis? Liberalis? Jawabku, plise, jangan gegabah mengklaim tentang hal tersebut; ingatlah, pada dasarnya, manusia itu mahluk yang individualis dan sosialis; yang dalam kediriannya, keinginanya, atau nafsu tabiat kemanusiaan; inginnya merdeka. Begitu ya. Artinya, jangan dulu gegabah menyatakan atau hal-hal tersebut, apalagi kepadaku. Ingatlah saya kuliah filsafat, yang menelusuri tentang ‘seluk-beluk kemanusiaan’ yang itu dalam rentang waktu yang panjang.)

Yang pasti, hidup itu pilihan. Dan saya pun tidak akan menyalahkan terhadap apa yang orang-orang pilihkan.

Jika banyak orang memilih menjelma ‘kekotaan’, wajar.

Jika banyak orang memilih bekerjaan yang ‘cepat’ dan instan, wajar.

Jika banyak orang yang cenderung memilih kerja yang letaknya ‘bersih’, wajar.

Zaman mengajak atau menawarkan hal-hal itu. Dan saya pun tidak ‘terkejut’ kalau orang-orang memilih hal tersebut; karena yang saya pilih adalah kembali kepada keakuanku.

Yakni tentang kealamanku.

Tentang kekayaan alamku.

Tentang kesejarahanku.

Yakni, rempah-rempah.

Bersama rempah-rempah, manusia nusantara, menjalani hidup yang seimbang—umumnya--, jika ada yang rebutan ‘kuasa’ seperti para raja di zaman hindu-budha, atau penceritaan tentang babad tanah jawi, maka sudah pasti wajar; karena tabiat manusia seperti itu: ingin berkuasa, ingin memerintah. Namun saya mengambil contoh, tentang manusia nusantara, yang kaya dengan rempah-rempahnya. Yang tanahnya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan kemanusiaannya. Yang tanahnya bisa dimanfaatkan untuk mendamaikan kemanusiaanku; yakni sinergi antara jasmani dan ruhani. Seringkas itu, pilihanku.

Dan tanah nusantara, tanah Indonesia masih luas. Masih luas. Dan aku menjalani hidup yang biasa; tidak terkejut dengan gerak-gerik zaman, tidak terkejut, karena aku tahu, kebutuhan zaman, tetap saja mengurusi keperutan dan kepemikirannya. Begitu.”

Tapi, aku melihat engkau belum sepenuhnya benar-benar menjalani hidup yang itu bertani, Taufik. Aku melihat engkau masih belajar untuk mencintai alammu, engkau berusaha menerapkan cintamu itu menjadi realistis dan menjalin hidup yang realistis.

Aku melihat, halaman rumahmu belum sepenuhnya engkau kerjakan dengan benar-benar; halamanmu belum engkau manfaatkan dengan benar. Namun setidaknya, aku bangga, melihatmu:

Yang dalam mindset pemikiranmu tertanam, menjalin kehidupan yang bahagia bersama alam. Karena memang ‘kekayaan’ terbesar kita adalah alam, dan engkau tidak begitu terpancing dengan gerak-gerik zaman, karena engkau menyadari, tidak mampu ‘menangkis gerak-gerik zaman’, namun engkau mempunyai pijakan kuat untuk menjalin realitas yang itu sarat dengan ‘kebahagiaan’, sekali pun ukuran bahagia itu subjektif. Saranku, tetap, sisihkan malasmu menjadi nyata. Jalankan hidupmu menjadi perjalanan. Melangkahlah. Kalau lelah, istirahatlah. Kalau pulih, kembalilah berjalan. Begitu ya…

Belum ada Komentar untuk "Realitas Kealaman"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel