Sekolah di Era Keterbukaan (Ilmu Pengetahuan)



Sekolah di Era Keterbukaan (Ilmu Pengetahuan)





Dunia diwarnai oleh dua hal, filsafat dan agama, kata professor Ahmad Tafsir. Sebelum lebih jauh, tulisan ini bertujuan membicarakan tentang sekolah di era keterbukaan, yakni suatu keadaan dimana masyarakat Indonesia mengalami (merasakan) hal itu, dan bagaimana ‘seharusnya’ itu dilangsungkan? Maksudnya, tulisan ini bertujuan untuk berdialog: agar kita sekali lagi terbelalak perihal kepentingan ilmu-pengetahuan (Sekolah atau pendidikan) untuk mencapai apa yang disasarkan. Ya! Tujuan tulisan ini adalah mengajak dialog tentang ‘kemanusiaan’ bagi manusia Indonesia.



Pertanyaannya: apakah kita benar-benar siap menghadapi zaman yang telah begini? Tentu bisa dijawab dengan mudah, siap-siap harus siap. Harus dihadapi. Karena beginilah zamannya. Apakah sumber-daya-manusia kita sudah benar-benar siap terhadap apa-apa yang terjadi pada zaman ini?



Jika dikenang, Nusantara pastilah bakal diwarnai oleh filsafat dan agama. Agama yang itu mula-mula dari Hindu-Budha (Sekalipun sebelumnya manusia nusantara telah mengenal model-model kepercayaan), dan filsafat yang itu dari penggunaan manusia secara akalnya, yang tentu saja, menghendaki manusia untuk memudahkan kemanusiaannya. Hingga akhirnya, ketika mesin-mesin bersemarak, teknologi mulai menyambah di Indonesia: kasus-kasus pun terjadi. 



Okelah kalau dibandingkan dengan Negara-negara lain, mungkin ada yang lebih tertinggal, ada yang jauh lebih kacau. Tapi saya tidak membicarakan tentang hal itu. Saya membicarakan tentang Negara Indonesia, yang itu didasari kuat oleh agama dan filsafat. Yang sekarang kita yakini bahwa filsafat yang kita anut ialah filsafat pancasila, dan agama yang dianut ialah agama yang telah disepakati.



Terlebih khusus Agama Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia; Agama Islam pun semakin marak karena dulu, agama islam menjadi agama bagi penguasa yang ada di Nusantara, yakni duduk pada singgasana kekuasaan, singgasana kekerajaan. Dan ini potret sejarah yang ada di Nusantara, yang tentu ada pada pelajaran sejak SD sampai SMA, tentu saja ada juga pada perguruan tinggi. Namun hal itu (kekuasaan agama islam) tidak selamanya bertahan, di era kolonialisme, sebagaimana kita ketahui, lama-lama mengusai nusantara. Artinya mengusai gerak-gerik nusantara, dan bersamaan dengan itu juga, menambahkan ‘warna’ yang berbeda dari backgrone nusantara sebelumnya. Jika dikatakan, nusantara terlandasi dari pihak ketimuran, yakni hindia, kemudian kemasukan agama dari timur-tengah, arab: agama islam, lalu bertemu dengan barat (yang pada sejarahnya: barat senantiasa dirujukkan pada tali sejarah Yunani. Dan sebagaimana diketahui, Yunani kuat dengan rasio, atau penggunaan akalnya). Maka disanalah mulai terjadi perubahan gaya pendidikan.



Semula pendidikan di nusantara, sarat dengan padepokan yang kemudian beralih menjadi kepesantrenan, saat orang eropa datang, maka terwarnai oleh pendidikan yang tersistematis dan sangat bertingkat. Sebabnya, di era 1800 masehian, bangsa eropa telah melesat dengan kencangnya: apalagi berkaitan dengan pendidikan: itu sebabnya, mereka membawa pendidikan yang itu untuk kepentingan mereka, yang lama-lama berkepentingan juga dengan manusia-pribumi; awalnya ialah orang-orang bangsawan, lama-lama totalitas pribumi. Hingga kemudian, saat didekralariskan kemerdekaan, di saat itu Indonesia mulai menyebarkan gagasan untuk adanya sekolah.



Sementara itu, kebiasaan manusia nusantara, yang itu sarat akan kaya dengan alamnya. Yang tentu dituntut untuk ‘mengolah’ alam: beternak, berkebun, nelayan, dan bertani, serta tukang-tukang. Diarahkan pada model sekolahan. Sebagaimana diketahui, sekolahan ialah membaurkan pelajaran umum tentang keadaan sosial yang kemudian dianjurkan menggunakan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. karena tujuannya, tentu untuk mengokohkan kebangsaan yang berbhineka itu. tujuannya, mengkohkan kesatuan untuk Negara Indonesia yang pada waktu itu, belum sepenuhnya nyaman. Artinya masih ada terror, dari negeri penjajah, seperti halnya Netherland, atau bahkan kemudian Jepang. Ancaman terror itu memaksa Indonesia semampu daya bersaing untuk mengambil alih, atau bahkan menyesuaikan perihal kemajuan bangsa.



Ukuran kemajuan ialah tentang modern. Dan syarat untuk modern ialah pembangunan. Itulah yang kemudian diancang-acang oleh presiden Soeharto. Yakni keberadaan pembangunan, yang itujuannya ialah menciptakan manusia yang sejahtera. Selain itu, bersmaaan dengan keberadaan modern itu, tentu saja menawarkan budaya-modern itu sendiri (hal seperti ini, bisa dibaca dimana pun, apalagi di zaman ini: ketik saja, modern. Pastilah muncul artikel tentang modern). Dan kebudayaan modern, mau tidak mau, harus dilaksanakan, pasti terlaksana. Dan Indonesia tentunya bersaing dengan hal itu.



Saingan utama atau kaca utamanya mana? Yakni bangsa eropa. Yang mana di era 1900 masehi, eropa telah sangat mapan perihal keilmuan, malah bahkan obejektifitas ilmiah sudah dipertanyakan sementara itu bangsa Indonesia masih ‘geger’ perihal kesejahteraan dari cengkraman penjajahan. Artinya, keadaan jiwa-raganya tidak nyaman; bagaimana hendak mendapatkan totalitas obejtifitas, kecuali struktur keilmuan yang diwarisi oleh kejadian sebelumnya: yakni model padepokan atau pesanteren. Yang itu menitik tekankan para moral atau tata-perilaku. Sebagaimana diketahui, bahwa hindu itu mempunyai tingkat bertingkat; sangat penghoramtai pertingkatan (perkelasan), hingga kemudian menjadi watak utama dari manusia nusantara yang itu sarat dengan toto-kromo (penataan yang suci: tata dan krama), yang kemudian islam masuk tidak merubah wadah namun merubah isi, yakni keimanannya, sebab banyak yang menyatakan bahwa islam di nusantara dibawa dari aliran tasawuf, yakni ilmu yang sarat dengan rasa. Hal itu sesuai dengan backgrone agama hindu-budha yang sarat dengan kelembutan dan perasaan, malah bahkan tidak muluk-muluk mendapatkan keinginan dunia (zuhud: akeistik), sementara itu agama islam, sekalipun bersikap zuhud tetap saja mementingkan dunia: dengan itu, maka penyebaran agama islam semakin meluas bagi kalangan nusantara, yang tentu saja tidak akan terlepas dari adanya agama hindu-budha.



Professor Amin Abdulah mengatakan, yang membedakan keislaman di Indonesia adalah berbackgrone agama hindu-budha sehingga berbeda dengan islam yang ada di timur tengah atau pun eropa.



Bersamaan dengan itu, tentu saja, kependidikan yang ada di Indonesia, sarat dengan keagamana yang itu bermental zuhud, dan ketika dihadapkan pada koloni yang mengarahkan pada filsafat materilisme (kepentingan materi), maka secara manusiawi, yang tipis imannya, tergoda perihal kemudahaan itu: selain itu, di dalam diri manusia nusantara tergoda perihal sesuatu yang itu menjadi istimewa, yakni harta. Lama-lama tujuan manusia mengarahkan pada keduniaan (kehartaan) dan disatu sisi menjalankan tentang keagamaan. Namun bersamaan dengan itu, sumber-daya-manusia, untuk hal-hal yang itu mengacu pada pragmatism belum siap, karena seting dasar sumber dari manusia berasal dari keagamaan. Lebih-lebih penekanan system sekolah lebih mendukung perihal objektifivitas, dan godaan dunia yang semakin ‘membutuhkan’ tentang teknologi dan lain sebagainya. Sementara itu, masih banyak yang berkutat pada system pengolah alam; dan orang-orang diwajibkan menuntut untuk sekolah.



Sekolah



Kepentingan sekolah yang lebih mengarahkan pada nilai-obejektivitas, dan mementingkan nilai-kerja, menjadikan para pelajar terpengaruh pada keuangan dan kehartaan. Di dalam pemikiran pendidikan tercium aroma keungan, dalam arti, mencari ilmu demi kepentingan kerja, sebab keadaan kemajuan menuntut orang untuk kemapanan materi, yang dengan itu bisa berpetualangan dan memiliki, serta unjuk diri. 



Hal itu, telah terkaca sebelumnya pada efek-efek yang terjadi pada gerakan filsafat modern yang dicetuskan Rene Descartes, tentang keunggulan akal. lama-lama orang modern, semakin ‘mendewakan’ akal, hingga akhirnya, terjadilah kritik terhdap orang modern. Kritik karena manusia modern melampaui sesuatu yang tidak diharapkan. Harapan awalnya, memanusiakan manusia, malah lama-lama sangat menjadi manusiawi. itulah sebabnya, di era kontemporer ramai filsafat eksistensialme. Dan bahkan saking manusiawinya, manusia itu ‘membunuh Tuhan,’ kata Nietzche, seorang filsuf jerman, yang sering digadang-gadang menjadi ‘Nabi’nya Postmodern. (alasan pengungkapan nabi, karena beliau memerankan dirinya pada karyanya Sabda Zarathustra. Zarathustra dikenal sebagai nabi dari agama Zoroaster yang ada di Persia).



Kasus ‘Membunuh Tuhan’, agaknya juga layak disandangkan sebagian manusia Indonesia, yang dengan ‘enteng’ meninggalkan hukum-hukum Tuhan, atau bahkan meniadakan hukum Tuhan. Alasan meniadakan, karena melanggar apa yang menjadi hukum dari Tuhan. Sudah tahu salah, diterjang saja, begitulah korupsi. 



Namun di Indonesia masih ada pesantren-pesantren yang dengan itu, masih ada upaya untuk menjernihkan tentang gelegat pendidikan nasional yang semakin terarah pada nilai-materi. Sayangnya, kasus tentang pendidikan nasional bukan tentang sistemnya yang salah, melainkan sistemnya yang kurang menyesuaikan perihal sumber daya manusia yang ada di Indonesia: atau, gurunya yang kurang professional sebagai guru, yakni orang yang ‘digugu dan ditiru’. Mengapa demikian? Sebab tawaran keagamaan, senantiasa mengajarkan tentang kebaikan, yang itu berasal dari ‘tokoh utamanya’; penyebar keagamaan. 





Mari kita kenang, status pendidikan yang ada di nusantara: bukankah banyak pendidikan dan mblarah di nusantara, namun apakah semua itu mencapai sumber daya manusia yang diharapkan? Ataukah para pelajar itu, yang mendominasi, belajar karena ‘kewajiban’ yang itu harus belajar? bukan tentang ‘kebutuhan diri’ untuk mencari ilmu? Atau, bagaimana bisa seorang pelajar malah bersikap melanggar sesuatu yang jelas-jelas dilarang: Maling, judi, mabok, zina dll? Sesungguhnya apa yang terjadi pada totalitas bangsa ini? apa yang diharapkan dengan masa-lalu yang telah berlalu bagi Indonesia ini?

Belum ada Komentar untuk " Sekolah di Era Keterbukaan (Ilmu Pengetahuan)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel