Memahami Kehidupan




Taufik, apa yang merepotkan hidupmu? Mengapa engkau begitu tertekan dengan diksi itu? Apa jangan-jangan engkau mulai terpengaruh dengan para filsuf itu, yang mempertanyakan tentang tujuan hidup, dan engkau menyukai klaim atau dijuluki dengan filsuf exsistensialis; yakni yang mengutamakan tentang kehidupan, atau mencari makna kehidupan. 

Kataku, "Mengapa engkau mengaburkan makna tentang kehidupan, Taufik? Jalani sajalah terhadap proses-proses yang terjadi. kenalilah, kendala utamamu adalah tentang pemikiranmu dan data-data yang berada pada peta ‘penangkapan’ pada akalmu." 

Kataku, "sesungguhnya apa yang engkau kejar terhadap kehidupanmu, Taufik? Apa yang engkau hendak ingin capai; mengapa engkau tidak tingkatkan, atau pelan-pelanlah untuk mencapai apa yang hendak engkau ingin capai, atau jangan-jangan engkau tidak mempunyai sesuatu yang hendak engkau capai dalam kehidupanmu.

Kehidupanmu laksana benda yang ditiupkan oleh angin keadaan; oleh zaman, namun engkau menyangkal bahwa engkau laksana ditiupkan oleh gelombang keadaan; sehingga, engkau bertanya, apa itu keadaan, bagaimana keadaan-keadaan begini tercipta.

Kenalilah Taufik, hidup itu tidak sepayah yang ada pada pemikiranmu; hidup itu proses, dan semestinya engkau mengetahui hal tersebut. yang mana, bersamaan dengan proses itu, ada tahap demi tahap, dan manusia harus menerima tahap demi tahap tersebut. harus menerima itu; soal kebaikan dan keburukan, pasti, dalam sejarahnya, engkau mengetahui; hal itu pasti ada.

Jika manusia melanggar apa yang telah ditentukan, itu sudah wajar, Taufik.

Jika manusia enggan berbuat keadilan sesama manusia, itu sudah wajar, Taufik.

Jika manusia berpengaruh dengan manusia lainnya, itu pun sudah wajar, Taufik.

Sekarang, apa yang mengacaukanmu tentang kehidupan ini, Taufik; yakni tentang pertanyaanmu tentang kehidupan, lalu engkau mencari pada teks-teksnya para filsuf, dan engkau membaca hal-hal sederhana dari uraian para ilmuwan, atau membaca-baca sesuatu teks yang tujuannya tentang kehidupan.

Kataku, engkau memang laksana mayat atau jasad yang tidak benar-benar mengerti tentang kehidupan. Dan kepayahan terhadap apa yang disebut dengan kehidupan. Padahal, kehidupan itu praktis, lentur, dan berkondisi; seringkas itu. 

ilmu itu, adalah bekas-bekas dari apa yang telah terjadi. 

ilmu itu, kenangan yang menjadi patokan.

Ilmu itu, teks yang menjadi sandaran.

Dan kehidupan itu, tetap saja, kehidupan realistis, yang mana layaknya manusia menjalin kehidupannya.

Lantas, apa yang mengacaukan tentang kehidupanmu, Taufik?

Jawabku, tentang pemikiranmu. Tentang sesuatu yang ada pada pikiranmu, yang tidak ‘menerima’ tentang kehidupan ini, tentang karakter-karakter yang ada pada seluruh-elemen kehidupan. Lalu, engkau mengeluarkan beban-beban yang ada di dalam pemikiranmu, jadilah orang-orang mengatakanmu sebagaimana orang-orang exsistensialis. Itulah kata-kata orang yang belajar filsafat. Dan engkau, kurang suka dikatakan orang exsistensialis, karena itu berfokus pada barat, yang mana, seringkali orang mengatakan dan berefek bahwa exsistensialis melalaikan tentang esensialis. 

Padahal tujuanmu, adalah mengabarkan tentang islam, yang itu sarat dengan eksistensi dan esensi; bahwa islam, harusnya mewujudkan dan jangan lalai dengan esensi. Sebab engkau melihat, banyak orang islam, yang sibuk terhadap eksistensi namun lalai terhadap esensi. Dan engkau melihat, orang yang mengerti esensi namun lalai terhadap exsistensi, yang mana di zaman seperti ini; menekankan kesungguhan orang-orang untuk exsistensi.

Zaman, katamu, yang telah menjadi zaman hiperrealitas, dan engkau menghendaki bahwa orang-orang islam harus benar-benar mengerti tentang hiperrealitas. Setidaknya, mengerti keadaan zaman; karena engkau melihat, banyak orang islam yang tidak mengerti tentang keadaan zaman, dia menjalankan sesuatu yang seakan-akan terkesan zaman dulu, padahal berada di zaman sekarang. Dan engkau, melihat banyak orang islam yang itu mengerti tentang keadaan zaman, namun enggan mengabarkan tentang kepayahan di zaman sekarang, sehingga orang-orang tersebut mencari jalan keluar, yakni jalan keluar bersama atas nama agama islam.

Sekarang, kataku, engkau boleh berpikir seperti itu, tidak ada yang melarang terhadap apa yang engkau pikiran. Engkau bebas berpikir seperti itu, tapi, ya, tapi: engkau harus mengerti, bahwa hidupmu, hidupmu, itu juga penting, Taufik. Bukankah sejauh ini, engkau laksana tidak mementingkan tentang hidupmu: tentang materimu, tentang kejiwaanmu, tentang eksistensimu, tentang kepertahanan hidupmu, yakni hidup yang itu mempunyai status: manusia! Maka ketahuilah hal itu;

Jangan repotkan tentang kehidupanmu. Jangan repotkan tentang keilmuanmu. Jangan repotkan tentang tanggung jawab pemikiranmu. Jangan payahkan tentang sikap-sikap yang engkau putuskan. Terimalah sekali lagi tentang kenyataan. Terimalah sekali lagi tentang keberadaan. Ingat, engkau berprinsip Islam; yakni Tiada Tuhan selain Allah. pegang kuatlah prinsip itu, Taufik. Bahwa semua adalah karena-Nya. Semua itu milik-Nya. Dan engkau, sebagai hamba, hanya mampu berupaya. Begitu ya…

Jika engkau sekali lagi bertanya tentang kehidupan, dan bagaimana memahaminya: jawabku, jalanilah kehidupanmu. Jika punya masalah, laporkan kepada orang yang mampu memecahkan, jika tidak punya masalah, jangan diada-adakan masalah. Hiduplah dalam damai, Taufik. 



2017

Belum ada Komentar untuk " Memahami Kehidupan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel