SUNGKEM




KBBI disebutkan sujud (tanda bakti dan hormat). Selanjutnya, bakti adalah bak·ti n 1 tunduk dan hormat; perbuatan yg menyatakan setia (kasih, hormat, tunduk): -- kpd Tuhan Yang Maha Esa; -- seorang anak kpd orang tuanya; 2 memperhambakan diri; setia: sbg tanda -- kpd nusa dan bangsa, ia berusaha berprestasi sebaik-baiknya;

Hormat adalah menghargai (takzim, khidmat, sopan): sepatutnyalah kita -- kpd orang tua kita; 2 n perbuatan yg menandakan rasa khidmat atau takzim (spt menyembah, menunduk): hadirin serentak berdiri memberi -- kpd tamu yg datang
;



Sekarang, saya hendak menguraikan tentang sungkem, yang itu menurut daya tangkap pengetahuan saya:

Penggunaan diksi sungkem, di zaman seperti sekarang ini, atau zaman modern ini—dimana pengaruh globalisasi atau zaman postmodern, besar sekali pengaruhnya kepada kebiasaan orang-orang terdahulu—teramat jarang digunakan kecuali pada waktu-waktu yang special layaknya pernikahan atau pada masa lebaran, yakni idul fitri.

Sepengetahuan saya—yang itu juga menurut apa-apa yang telah saya baca tentang sejarah jawa, tradisi jawa, tradisi kerajaan— wujud dari sungkem adalah mempertemukan dua manusia, yang mana satu diantaranya berkata duluan dan yang lain mendengar, lalu di jawab apa yang dikatakan. Yang titik focus dari percakapan tersebut adalah permohonan maaf sekaligus meminta restu kepada yang lebih tua. ak Yang dilakukan dengan cara, si penerima duduk lebih tinggi dibanding yang meminta (sebenarnya yang saya tuliskan ini adalah proses seseorang yang sedang ‘menghormati’ orang yang lebih tua).

Namun, seiring perjalanan waktu, tradisi atau kebiasaan sungkem, diletakkan, atau digunakan, pada saat pernikahan, atau prosesi pernikahan—seakan, pernikahan adalah sesuatu yang sangat disakralkan atau sangat diistemewakan, padahal jika menurut sejarah, kebiasaan sungkem itu dilakukan saat yang lebih mudah menemui yang tua, pada saat pertemuan baru diantara keduanya. Pada saat perjumpaan baru di hadapadannya. Yakni, saliman, yang itu sampai-sampai dikecup kaki tangannya; memang, mau tidak mau, tatkala membicarakan nusantara, pastilah bakal menjumpai tentang agama hindu budha yang itu, sarat pernghoramatan kepada yang lebih tua, atau pengangungan kepada manusia yang lebih tua; namun disini, tujuan saya menyampaikan ini, bermaksud bahwa sungkem itu tidak hanya sekedar pada batas prosesi pernikahan, melainkan kehidupan yang sebenarnya dan berwaktu-waktu, hanya saja dan sering, tidak dinyatakan sebagai sungkem. Padahal, seusai dengan maksud dari sungkem tersebut—padahal, menurut saya, penghormatan kepada yang lebih tua atau dalam hal ini, orang tua, tidak terbatas pada saat pernikahan, melainkan pada saat;

Perjumpaan baru.

Pada saat, mulai bermaaf-maafan.

Yang selanjutnya, lebih dikongkritkan—atau tepatnya, lebih mboming—pada saat islam mulai masuk di nusantara dan itu pada saat lebaran idul fitri, yakni para tetangga saling bermaaf-maafan tentang apa yang telah terjadi. disinilah peran sungkem menjadi terkesan sangat islami dan menjadi budaya-islam di nusantara. Menjadi tradisi islam di nusantara. Menjadi kebiasaan di Indonesia.

Namun, seiring perjalanan waktu; sungkem, mulai bergeser makna, menjadi sekedar perjumpaan tubuh dan tidak menemukan ‘jiwa’. Dan jarang, orang benar-benar melakukan sungkeman, yang terjadi, para keluarga mendatangi keluarga yang lain dan itu salim-saliman, dan seakan-akan semuanya telah selesai. Seakan sudah mewakili untuk bermaaf-maafan.

Keterkurangan atau pergeseran sungkem itu terjadi, karena terdukung oleh zamannya juga; yakni zaman telekomunikasi; sehingga dan seringnya, orang-orang meminta maaf itu lewat alat media, entah itu HP atau sejenisnya, dan saat pertemuan secara realitas, maka pertemuan itu menjadi simpel dan sederhana, dengan referensi, bahwa tadi telah melakukan permintaan maaf, yang itu lewat media.

Kemudian, hal itu pun terdukung dengan saliman keliling setelah shalat id bersama, atau setelah khoti turun dari mimbar, lalu berkeliling salaman; seakan salaman tersebut telah mewakili untuk permintaan maaf, jadilah, sungkem atau prosesi sungkem (yakni, pertemuan antara manusia dengan manusia yang lain, dan itu pada kenyataan, yang itu harus dikunjungi secara nyata) itu tertiadakan.

Sekarang, saya sendiri, tidak akan menyalahkan tentang gerak-gerik zaman, atau ‘keeuforiaan’ manusia terhadap tradisi lebaran tersebut. bagiku sendiri, sekarang, penting mengembalikan proses sebagiamana zaman dahulu (bukan berarti saya kembali ke zaman dulu: jangan salah pikir dan salah tanggap dengan apa yang menjadi sikap saya, maksud saya: saya akan menjadikan kehidupan di zaman sekarang ini dengan masih mengikuti kebiasaan orang-orang dulu yang itu seringkali terlalaikan atau bahkan terabaikan. Sebenarnya tidak terabaikan, namun, banyak yang kurang ‘memahami’ ulang apa-apa yang dilakukan), yakni mendatangi orang-orang yang biasa ‘seserawungan’ denganku, dengan cara meminta maaf, yang itu, harus menjalin dengan benar; bahwa permohonan maaf tersebut adalah maaf yang itu secara sungguh-sungguh dari dalam diri terhadap kesalahannya.

Dan proses itu, masih menggunakan bahasa jawa, yang mana, pada bahasa jawa tersebut terkesan ‘sopan’, sebab saya pun, sering disindir dan diejek tentang tidak sopan; yang ukuran ketidak-sopanan adalah bahasa. Maka, saya sendiri, penting membahasakan apa yang menjadi kendala tentang kesopananku.

Yang tubuhnya pun harus bergerak dan membuat tanda, bahwa itu penghormatan; sekali pun duduknya adalah duduk berjejeran, namun lekuk tubuh, atau gerakan tubuh pun menandakan bahwa adanya penghormatan kepada yang disungkemkan. Tujuannya, meminta maaf yang itu secara manusiawi; karena letak salah ada pada sisi manusiawinya. Yang kemudian, seluruh kesalahan tersebut di arahkan kepada Allah yang menguasai. Meminta maaf kepada manusia memang iya, tapi inti dari pemaafan tersebut dikembalikan kepada Gusti Pangeran, Allah, karena kita sama-sama tahu bahwa Allah adalah yang menguasai setiap kita, dan kepada-Nya kita kembali.

Dan mudah-mudahan sungkem itu, terlaksana dengan niatan lilahita’ala. Amin.

Belum ada Komentar untuk " SUNGKEM"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel