TRADISI LEBARAN ‘IDUL FITRI’ Study Kasus di Desa Wargo Mulyo Tinjauan Filosofis, bermetode Historis-Sosiologis study Kasus Desa Wargo Mulyo



Yang dijadikan sumber adalah sejarah; berupa tanda-tanda sejarah, serta pembacaan zaman sekarang sebagai bekas dari sejarah masa lalu, dengan referensi kalimat: sekarang adalah kejadian yang itu bertahap dari masa-lalu. Sekarang adalah kejadian yang itu menyumber dengan masa yang telah berlalu. Juga tentang orang-orang yang pernah saya ajak bincang-bincang, berserta ukuran saya sendiri sebagai bukti tentang perkembangan sejarah idul fitri.


LATAR BELAKANG

Tradisi lebaran, sumber yang dikenakan pada awalnya, tentang agama islam. agama islam menjadi kata-kunci untuk tradisi lebaran, karena hal itu terjadi, sebab orang berstatuskan agama islam; dan status idul fitri adalah kejadian yang dilakukan setelah selesainya bulan ramadhan, maka disitulah idul-fitri dilaksanakan. Yang mana kejadian itu, biasanya di sertai dengan saling-memafaakan, karena kemanusiaan distatuskan menjadi fitri, yang secara bahasa adalah suci. Orientasi suci atau syarat untuk suci adalah permintaan maaf kepada manusia lainnya.

Permintaan maaf kepada manusia lainnya, itulah inti dari kefitrian yang hendak di maksudkan. Yakni, fitrahnya manusia untuk saling memaafkan kepada manusia lainnya. Karena hendak menjadi suci, maka sudah tentu harus menjalankan kepermaafan kepada manusia lainnya.

Karena proses menjadi fitri itu terjadi secara sempurna, maka orang-orang berdaya diri untuk berbondong-bondong pulang kampung, berbondong-bodong menyiapkan diri untuk persiapan ‘permaafan’ tersebut; membuat kue, membuat makanan, memakai pakaian yang bagus, memakai dandadan yang bagus, menyangoni, membeli persiapan-persiapan, dan mendadani rumahnya, membersihkan rumahnya, mengecat rumahnya, mengindahkan rumahnya; yang bertujuan, karena bakal kedatangan orang-orang untuk tujuan permaafan, yang ending dari tujuannya adalah kembali fitri, kembali suci. Kembali selayaknya menjelma, manusia.

Sementara itu, di desa wargo mulyo, adalah desa yang berbekal dari tradisi jawa, karena memang orang-orangnya berasal dari tanah jawa yang mana telah mempunyai kebiasaan lebaran sebagiamana mestinya orang-orang jawa. Yakni, setelah shalat id, maka dilaksanakan peminta maafan satu sama lain; yang itu mendatangi sanak-keluarga, mendatangi orang-orang yang hendak di datangi.

Yang sebelum itu, telah mempersiapkan diri untuk menjalani tradisi itu, berserta dengan perabotan demi perabotannya; karena ternyata, desa wargo mulyo sarat dengan kekeluargaan, maka secara terotomatiskan, orang-orang akan mendatangi saudara-saudaranya yang lain, yang kemudian tokoh atau orang yang ditokohkan, turut serta dalam proses untuk didatangi, yang tujuan utamanya kembali menjalani fitrahnya kemanusiaan.

Sementara itu, islam, atau agama islam, yang menjadikan hal tersebut, kalau ditilik ulang, maka tidak semestinya di jalankan dengan benar: orang-orang sering melalaikan tugas sebagiamana kemuslimannya, masjid agak sering dianggurkan, masjid lebih sekedar menjadi hiasan tentang kebesaran wujudnya, mushola seringkali terabaikan, lebih disibukkan orang merapat tentang ‘baju’ kemusholahaannya; sementara kemaslahatan hidup bersama, seakan-akan tidak terabaikan. Seakan-akan tawaran tentang keagaam, tidak begitu ditekankan, namun pada saat acara keislaman, orang-orang sibuk dengan hal itu. terlebih lagi, di zaman seperti sekarang ini, orang-orang mulai kurang mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan silaturahim, malah digantikan melalui media—karena memang zamannya sudah zaman media—kehidupan menjadi sebuah jalan demi jalan yang itu sarat dengan nilai-nilai individualistic kemanusiaan, yang itu melalaikan bahwasanya manusia pun sarat dengan nilai-nilai sosialistik.

Kekontrasan tersebut, atua ketidak-jelasan hal tersebut, menjadikan saya bertanya:

RUMUSAN MASALAH

Mengapa orang-orang lebih terjebak pada tradisi lebaran dibanding tujuan dari lebaran?

PEMBAHASAN

Kalau kita membicarakan idul fitri, sudah pasti kita bakal mereferensikan pada nilai keislaman, pada sejarah keislaman, yang mana, ukuran utama, atua yang paling kongkrit dijadikan ukuran adalah sosok kanjeng nabi Muhammad, maka sudah pasti yang menjadi ukuran adalah islam pada masa kanjeng nabi Muhammad. Dengan dasar pertanyaan: bagaimana kanjeng Nabi Muhammad menjalankan ‘lebaran’ di masa itu? Apakah tradisi-tradisi kanjeng Nabi Muhammad?

(karena ini bukan keilmiahan yang pasti, maka saya tidak harus atau mengharuskan diri menyebtukan referensi demi referensil karena juga, saya tidak mengetahui, tentang bagaimana lebaran di masa kanjeng nabi muhamamad? Seingat data pengetahuan saya, bahwasanya, al-quran itu turun pada bulan ramadhon, dan kanjeng Nabi Muhammad, kayaknya, itu melaksanakan puasa dua kali pada sejarahnya; sudah begitu saja: saya enggan menguraikan yang itu tidak saya ketahui. Jika dipertanya, tidak mengetahui tapi mau memberi tahu? Jawabku, titik focus saya bukan tentang yang saya tidak ketahui. Saya memberitahu tentang yang saya tahu.)

Namun, begini saja, telah saya mulai pada latar-belakang, bahwa status idul fitri itu, atau lebaran itu terjadi setelah umat muslim menjalani puasa di bulan ramadhan, maka untuk menjadi fitri, maka manusia penting bermaaf-maafan kepada manusia lainnya. Itulah inti utama dari idul fitri.

Namun keberadaan zaman, di desa wargomulyo pada khususnya, lebih sibuk juga dengan ‘penampakan’ untuk idul fitri, dibanding dengan tujuan utama idul fitri. Yakni mengembalikan fitranya manusia untuk manusia lainnya. Maka disini adalah pembahasan; apa itu fitrahnya manusia? Apa itu fitrah?

Fitrah yaitu sifat asal. Kembali ke sifat asal manusia. Itulah yang dimaskudkan.

Dan ketika kita mengingat sifat asal manusia, maka pastilah akan ketemu pada sisi prinsip dasar islam, karena orang-orang telah berstatuskan agama islam, terlebih lagi di desa wargomulyo, mereka telah berstatuskan agama islam.

Maka harus mengingat bahwa sifat asal manusia, seabgaimana sifat-sifat yang telah termaktub atau terpublikasikan pada al-quran, sebab referensi utama umat muslim adalah al-quran.

Sekarang, apa inti dari utama dari al-quran? Saling menyayangi satu sama lain. Saling menyaling, saling mengasihi dan saling-saling yang lain.

Yang pasti,kembali lagi ke ilmuan keislaman; yakni tentang adab, perilaku, dan jalinan jalinan ilmu islam yang itu diajarkan oleh kanjeng nabi Muhammad.

TERJEBAK TRADISI LEBARAN

Mari kita telusuri factor-faktror yang menyebabkan orang-orang lebih terjebak pada tradisi lebaran yang itu berkaitan kuat dengan, penampakan atau hal-hal eksistensi.

Pertama, eksistensi pembersihan, perapian, wujud dari rumah sebagai papan manusia.

Kedua, eksistensi perjamuan, keindahan, kebersihan, wujud dari pangan manusia.

Ketiga, esksistensi pakaian, keindahan, kebagusan, wujud dari sisi luar pakaian manusia, sandangan.

Hal itu pun yang terjadi karena begitulah kebutuhan pokok dari manusia. Yang mana, di zaman seperti sekarang ini, manusia seringkali melampaui eksistensinya sebagai manusia; atau melampaui kebutuhan yang semestinya.

Maka, orang-orang lebih mengindah-indahkan tentang rumahnya.

Orang-orang lebih mengindahkan perjamuan dari dirinya.

Orang-orang lebih mengindahkan tentang pakaian dari diri manusia.

Sebabnya lagi, keberadaan zaman, atau arus zaman, mengajak manusia untuk menjadi manusia yang konsumtif, maka maka manusia menjalani hal-hal itu untuk sisi kemanusiaannya; namun ternyata, manusia, khususnya di desa wargomulyo, melampaui untuk apa yang dibutuhkan.

Tujuan utama orang mengecet atau mengindahkan rumah, baik, namun dampaknya, orang-orang geger tentang hal tersebut; alasannya, ketika orang main, maka orang tersebut akan membicarakan tentang rumahnya.

Tujuan utama orang menyediakan perjamuan, baik, namun dampaknya, orang-orang geger terhadap hal apa dari perjamuan tersebut, efeknya, geger terhadap pangan tersebut.

Tujuan utama orang berpakaian bagus, baik, namun dampaknya, orang-orang geger terhadap hal tersebut jadilah itu menjadi kebiasaan bahwa orang-orang harus berpakaian bagus.

Intinya, orang-orang, atau manusia di zaman postmodern, di zaman seperti sekarang ini, seringkali lalai dengan tujuan apa yang hendak di tujukan; lalai dengan tujuan sederhana tentang kehidupan. Bahkan, agama pun menjadi alat atau sesuatu yang ditujukan pun menjadi sukar dan bertele-tele dan bahkan terkesan kaku dan angker. Padahal, sebagiamana kita kethaui, tujuan beragama adalah menjadikan manusia baik, yakni baik bagi kemanusiaan, yang itu beralasankan atau bersandarkan utama pada hal yang gaib, yakni Tuhan sebagai yang mutlak kekuasaanya.

Begitulah.

Belum ada Komentar untuk " TRADISI LEBARAN ‘IDUL FITRI’ Study Kasus di Desa Wargo Mulyo Tinjauan Filosofis, bermetode Historis-Sosiologis study Kasus Desa Wargo Mulyo "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel