Membaca Wargo Mulyo


wargo mulyo



Apakah terlalu payah membaca wargo mulyo? Yang itu jarak tahunnya berkisar antara 1930 sampai 2017; yang berstatuskan desa berusia 87 tahun. Yang mana kejadian itu, atau pembukaan desa, di era Nusantara menjelang merdeka, 1945 Masehi.

Apakah terlalu payah memahami desa wargo mulyo? Yang mana dominasi manusianya adalah rumpun keluarga. Atau atas nama keluarga besar.

Apakah terlalu payah memahami manusia wargo mulyo? Padahal itu adalah manusia, sama seperti manusia lainnya, aku bagiannya; yang mendominasi keturunan jawa, yang sedikitnya mempunyai ‘kebiasaan-kebiasaan’ masyarakat jawa.

Apakah terlalu payah memahami batas intelektual manusia wargo mulyo? Padahal telah kita ketahui, pendidikan di daerah wargo mulyo; pertama, tentang agama. Kedua, tentang pendidikan gerakan nasional.

Apakah terlalu payah memahami manusia wargo mulyo? Yang itu dominasi manusia mempunyai prinsip yang sama, yakni agama islam. yang beriman kepada allah, malaikat, kitab, hari akhir, dan qodo-dan qodar.

Apakah pikiranku terlalu sempit membaca tokoh-tokoh di wargo mulyo? Atau jangan-jangan aku tidak perduli terhadap tokoh-tokoh yang nyata, yang itu sekelas wargo mulyo dan sering membaca tokoh-tokoh yang itu bergaya nasional, yang itu berkelas internasional.

Aku agak tahu tentang kanjeng Nabi Muhammad, Siti Khatijah, nabi Ibrahim dan para ambiya, dan para shahabat, para tabi’in, para sufi. Para raja khalifah, manusia romawi, manusia yunani, gaya raja cina, tokoh-tokoh revolusi, tokoh-tokoh nasional, kiai-kiai nasional, dan aku kurang tahu, untuk tokoh yang nyata; yakni julukan orang yang disebut tokoh pada desaku?

Oh celakalah pengetahuanku, mengetahui yang jauh tanpa memahami yang dekat

Mendaya diri memahami yang jauh tanpa memahami yang dekat.

Mengkaji yang telah mati, lalai dengan yang hidup.

Karena aku tidak paham sungguh, apa itu kenyataan yang sebenarnya? Maka jadilahh aku persis anak kecil yang bertanya: apa, kenapa, siapa.

Apa tujuan dari semua ini?

Mengapa semua ini diadakan?

Untuk apa semu ini diadakan?

Lihatlah aku, saudara-saudaraku, persis seperti anak kecil yang bertanya-tanya, padahal aku adalah pelajar yang agak sibuk membaca, yang agak sibuk memahami, tapi apalah artinya ilmu kalau itu sekedar ilmu?

Apalah arti hidup kalau sekedar menjalankan hidup?

Inilah kesombonganku, dibanding orang yang dalam-dirinya sombong, tapi enggan mengaku kesombongannya; atau kesombongan sambil menggunakan topeng atas nama islam, dengan lanyah berkata:

robbi inni kunto minadholimin.

Pada akhirnya, apalah arti pembicaraanku? Adalah curahan keakuanku, yang menunjukan: begitulah aku. yang sebenarnya, sekali lagi, mencari siapa aku? ternyata; ah, aku lahir di wargo mulyo, yang hidup bersama dengan yang lain, yang di didik agama, yang agak mbeler terhadap agama, tapi manusia yang beragama.

Siapa aku? adalah putera wargo mulyo.

Ah siapa aku? sekedar menyampaikan, tentang keakuanku.

Demikian.

Belum ada Komentar untuk " Membaca Wargo Mulyo "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel