YANG DIMAKSUD TAHU PADA ‘PENGETAHUAN HIDUP’ PADA MASA PERNIKAHAN TINJAUAN SOSIOLOGIS-FILOSOFIS





Hipotesis saya: orang yang mengerti tentang hidup adalah mereka yang mengetahui asal-usul teradakannya barang-barang dan bagaimana proses mendapatkan barang-barang untuk memenuhi kehidupan yang itu berdua, terlepas dari dukungan orang tua, yang laksana tak ada bantuan dari orang tua; yang mana, kedua pasangan harus memikirkan tentang sesuatu pendapatan barang-barang dan prosesnya, yang berlanjut pada pengetahuan sejarah mendapatkan guna bertahan hidup, yang didesaki juga dengan kebutuhan sosial yang harus dipenuhi sebagai manusia, mahluk sosial, yang harus mengikuti gerak-gerik sosial. Yang kemudian, bersamaan dengan itu, si anak, akan menuntut untuk mengetahui tentang pergerakan tentang sosial yang bakal menuntut untuk memiliki ‘standarisasi’ sosial yang terjadi. bersamaan dengan itu, pihak orang-tua, akan terbaurkan rasa sekaligus soal yang ganda; yakni individu sekaligus sosial. Keluarga sekaligus individu. Individu sekaligus status sosial. Kebutuhan hidup sosial dan pergerakan individu di lintasan sosial. Bersamaan dengan jalinan yang ruwet sekaligus menumpuk-tumpuk tersebut, maka orang-orang yang telah menikah seringkali mengklaim atau menjustivikasi atau menghukum, bahwa orang yang belum menikah tidak mengetahui tentang pengetahuan hidup, atau kehidupan. Yang sebenarnya, tekanan yang dialami adalah rasa dari kehidupan. Ringkas kata, sebenarnya, orang-orang yang belum menikah dikatakan: bahwa engkau belum ‘menjalani’ rasa yang telah kami jalani. Yakni, rasa tumpang-tindih terhadap kehidupan yang itu jalin menjalin yang berkaitan dengan rasa.

PEMBAHASAN TENTANG RASA YANG DIALAMI OLEH ORANG-ORANG PADA PERNIKAHAN

Sebenarnya yang hendak dikatakan dengan tentang rasa, yang dalam hal ini, penguraian tentang rasa adalah:

Rasa kebersamaan yang dialmi oleh sepasang manusia yang menjadi satu, yang terikat menjadi satu, yakni suami istri; yang pada statusnya adalah hidup yang berdua, yang mempunyai pemikiran dua, namun harus dijadikan menjadi satu. Pertama, si suami mempunyai keputusan, dan si istri, penyaring keputusan, misalnya. Atau sebaliknya. Kedua, si suami tidak bekerja, lalu si istri mendorong suami untuk kebekerja. Ketiga, rasa berdua, yakni menjalin asmara; mengeluarkan nafsu berahi yang dialami oleh individu, yang itu ditautkan oleh pasangannya, yang itu mengalihkan ‘soal’ nyata kepada hiburan keberduaan, membecandakan dunia, seakan dunia terlupa kecuali kebersamaan yang dialami berdua; kebersamaan sebagai upaya-upaya untuk gembira, bersenang-senang dan bahkan berdua untuk becandaan.

Rasa kekhawatiran kehilangan yang dialami si individu kepada pasangannya, yang menjadikan si individu itu berdaya diri untuk penyelamatan dan berjuang untuk menyelamatkan keiindividiaun, karena didasari cinta atau rasa sayang diantara keduanya; rasa yang itu saling memelihara dan saling membutuhkan, bahasa lainnya, karena telah berjuang bersama, maka dijadikan dasar untuk ‘bertahan hidup’. Tujuan utama dari keberduaan itu adalah bertahan hidup di dunia, yang itu harus saling membutuhkan.

Kemudian, pembacaan terhadap rasa sayang; sebagai watak alami manusia yang berdaya diri untuk bertahan, maka dicetuskanlah upaya untuk mempertahankan kehidupan; dibutuhkan sandang, pangan, dan papan; itulah awalnya. Yang kemudian, dengan pergerakan zaman, maka pertambahan terhadap kebutuhan pun menjadi semakin nyata: yakni kebutuhan hiburan. Bersamaan dengan itu, maka si individu berdaya diri untuk menyelamatkan hal tersebut. begitulah yang terjadi, yang sebenarnya; sebagai dasar pokoknya, adalah penyelamatan terhadap kediriannya. Atau keindividuannya, yakni kebutuhan untuk menyayangi, kebutuhan untuk memelihara, kebutuhan untuk becanda, kebutuhan untuk memenuhi kediriannya. Hingga kemudian, objek yang lain menjadi sasaran dalam pembicaraan;

Yang sebenanrya, objek yang lain adalah topeng kediriannya, dalam hal ini, anak. Anak adalah topeng kebutuhan dirinya; itu sebabnya banyak anak yang durhaka, karena anak dijadikan sasaran untuk kepentingan orang tua, malah bahkan didayakan menjadi apa yang orang-tua inginkan, bukan tentang kepentingan anak seagai titipan tuhan. Seringkali, watak alami manusia menggiring anak yang itu dikuasai, bukan tentang titipan tuhan, sekali pun orang-tua memahami: diksi ‘anak titipan tuhan’ namun, realitasnya, anak dijadikan menjadi ‘ajang titipan untuk kepentingan orang tua’: untuk mewujudkan apa yang tidak orang tua capai. Mewujudkan apa yang tidak orang tua, gapai. Atau di suruh meraih apa yang orang tua tidak meraih. 

Jika kita menerapkan konsep, anak sebagai titipan tuhan, maka menurut saya, anak harus dididik sebagaimana fungsi turunya al-quran: menyampaikan yang itu tidak memaksa, memerintah yang itu tidak memaksa, mendidik yang itu meyayangi, memelihara yang itu tidak mengengkang, mengarahkan yang itu tidak memaksa harus memilih, menunjuki yang itu tidak memaksa untuk melakukan. Maka, sebagaimana konsep kanjeng nabi Muhammad; peran orang tua, adalah mendidik dengan cara akhlak atau moral, atau, sekali pun berkata-kata, namun lebih leba mendidik dengan cara menujukan apa yang hendak dididiknya. 

Dan bersamaan dengan hal itu, orang-orang yang sudah menikah, seringkali menuding orang yang belum menikah tidak mengetahui tentang kehidupan, karena alasan tidak mengalami kehidupan, ringkas kata, tidak mengalami rasa-rasa yagn dialami rasa-rasa yang dialami orang-orang menikah. Itulah titik tekannya. Demikian.



2017

Belum ada Komentar untuk "YANG DIMAKSUD TAHU PADA ‘PENGETAHUAN HIDUP’ PADA MASA PERNIKAHAN TINJAUAN SOSIOLOGIS-FILOSOFIS"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel