Ulama Dan Umara: Yang Terikat Tapi Tidak Mengikat: Study Kasus di Desa Wargo Mulyo
Selasa, 18 Juli 2017
Tambah Komentar
Kejadian yang teramat nyata bagi desa wargo mulyo, adalah tentang ikatan yang tidak mengikat, ikatan tersebut adalah tentang umara dan ulama, yang pada sejarahnya telah menjadi ikatan; hanya saja kurang diteguhkan tentang apa yang dimaksud dengan ikatan tersebut.
LATAR BELAKANG
Desa wargo mulyo, yang lahir sejak 1930 Masehi, bersamaan dengan prosesnya, kemudian mengikatkan diri dengan ulama. Yakni, mencari ulama untuk distatuskan menjadi ulama, yang mana dalam hal ini dituntut untuk mengurusi masjid yang berstatuskan masjid sentral di desa wargo mulyo, yakni masjid Agung Wargo Mulyo. Maksud dari masjid sentral adalah bahwa masjid itu berada pada lokasi yang stategis dari pemerintahan desa –hal seperti ini, di jawa juga biasanya teradakan, yakni bahwa lokasi masjid, pastilah dekat dengan lokasi pusat keramaian, misalnya, di semarang, di pekalongan, di wonosobo, di temanggung, dan lain sebagainya; namun saya tidak mampu menjamin bahwa ada ikatan antara ulama dan umara pada di daerah lain kecuali desa wargo mulyo-- ; yang di maksud pusat stategis di sini adalah bahwa masjid agung wargo mulyo berdekatan dengan balai-desa, berdekatan dengan lapangan (tanah yang lapang, yang itu adalah milik desa wargo mulyo), berdekatan dengan pasar (yakni, tempat yang menjadi ajang perputaran ekonomi; sebagai laju gerakan penghidupan kemanusiaan) dan lebih-lebih lagi, pengambilan ulama (Mbah Kiai Ibnu Qosim) untuk di stop mengurusi hal-hal yang berkaitan agama di desa wargo mulyo (yang mana mbah Ibnu Qosim juga mengulang ngaji, mengajari alip-bak-tak, dan hal-hal yang berkaitan dengan agama), bukan berarti orang yang terpandai atau orang yang ‘tahu’ agama hanya mbah ‘ibnu qosim’ melainkan, keunggulannya, bahwa beliau di jadikan status menjadi ‘kiai’ untuk mengurusi ‘agama’ di desa wargo mulyo dengan cara, memangku masjid dan itu di cari oleh Lurah (atau jangan-jangan keputusan dari sekelompok orang yang ada; atau para penggede di desa wargo mulyo) yang bersaman dengan katanya, bahwa akan dicukupkan ekonominya. Maka hasilnya, mbah ibnu qosim di garapi ‘sawah’ untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Yang kemudian, berjalannya waktu, keterikatan tersebut, maksudnya, setelah lengsernya mbah Nawawi sebagai lurah, dan digantikan kepada Mbah Sanusi, maka status mbah ibnu qosim masih menjadi kiai desa dengan maksud: kiai yang memangku masjid agung wargo mulyo, yang mana status nama masjid pun tidak bernada islami, namun bernada nasional; karena pada sejarahnya, ada organisasi masyakat islam yang nyata di desa wargo mulyo, yakni muhamdiyah dan Nahdatul ulama; dan untuk membedakan persepsi tentang hal tersebut, maka nama masjid di jadikan nama yang itu tidak membedakan status muhammadiyah dan masjid; karena masjid tersebut adalah masjid pusat di desa wargo mulyo.
Bersamaan berjalannya waktu, sepeninggalan mbah ibnu Qosim, maka di lanjutkan kepada puteranya, yakni Pak Muhdi Bakri; puteranya untuk memangku masjid; dan meringkas waktu—karena sebenarnya saya juga kurang mengetahui jalinan untuh di masa Pak Muhdi Bakri dengan pemerintahan; kecuali, keterikatan yang itu telah terjadi pada masa mbah ibnu qosim dan Pak Muhdi meneruskan apa yang menjadi keterikatan tersebut) tibalah sampai sekarang, yang mana, status-keberagamaan tidak sederas arus seperti dulu.
Gelombang zaman, menjadikan manusia mulai lalai dengan kegamaan dan bahkan tokoh-tokoh agama; gelombang zaman menjadikan manusia-manusia menjelma manusia yang berpengetahuan agama, sehingga orang-orang mulai kurang tidak membutuhkan peran langsung dari kiai. Gelombang zaman menjadikan manusia semakin tahu tentang agama, dan lalai dengan kiai-yang-distatuskan. Gelombang zaman, menjadikan manusia lalai dengan keagamaan. Di saat inilah, krisis keterikatan antara ulama dan umara semakin menipis. Di saat seperti inilah, jalinan di antara keduanya semakin menipis.
Maka yang menjadi soal: sesungguhnya apa yang di maksud dengan ikatan ulama dan umara untuk kesejahteraan masyarakat wargo mulyo? Perlukah ditegaskan sekali lagi bahwa ada ikatan ulama dan umara untuk kesejahteraan masyarakat wargo mulyo
PEMBAHASAN
Sebelum lebih lanjut menjawab, saya akan menyatakan tentang kesejahteraan:
Apa yang dimaksud dengan kesejahteraan pada kehidupan, khususnya di desa wargo wargo mulyo? Dan pentingkah peran pemerintahan dan ulama untuk menciptakan hal tersebut? dan pentingkah pemerintahan dan ulama untuk berperan menciptakan kesejahteraan?
Saya berpikir, pada dasarnya kehidupan adalah kehidupan individu yang itu berdaya diri untuk menyelamatkan keindividuannya, karena manusia tidak mungkin menjalani hidup yang itu mandiri, maka harus bertemu dengan manusia-manusia yang lain, karena manusia pun pada akhirnya adalah mahluk yang individu sekaligus mahluk yang sosial. Sementara ini, titik tekan kesejahteraan berorientasikan pada nilai-nilai eksistensi atau hal-hal yang wujud atau hal-hal material (hal itu terjadi sebagaimana kegerakan dunia, yang mengajak untuk kesejahteraan yang ukurannya adalah materi; seperti mempunyai ini, mempunyai itu, ini, itu dan seterusnya) maka sebenarnya di sinilah tugasnya pemerintah untuk mencukupi hal itu. yakni hal-hal yang berkaitan dengan penampakan demi penampakan, dan itu disebut dengan kemajuan. Sebab ukuran kemajuan adalah sejahtera secara materi; di sinilah peran pemerintah untuk mewujudkan itu. kesejahteraan secara jasad. Kesejahteraan secara materi.
Namun, sebagaimana telah kita ketahui, sejarah manusia nusantara, yang itu dibekali dengan kekuatan alamnya, maka membutuhkan keseimbangan; sejahtera tidak sekedar berukuran materi, melainkan sejahtera pun harus dikuati dengan ruhani. Maka di sinilah peran ulama. Ulama menyokong tentang sisi ruhani; sehingga terjadi keseimbangan hidup antara materi dan ruhani.
Ukuran ruhani untuk menyatakan kesejahteraan adalah damai bersama hatinya, damai bersama lingkungannya, damai bersama sanak-keluarganya, dan damai kepada semuanya; damai dalam arti masih mempertahaankan kesadarannya. Damai masih berakal. Damai tanpa meninggalkan rasionya. Karena pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang dikenai pikiran dan mempunyai pikiran. Maka sudah pasti, manusia adalah mahluk yang berpikir.
Selanjutnya, menjawab tentang pertanyaan pokok pada pembahasaan kali ini:
apa yang di maksud dengan ikatan ulama dan umara untuk kesejahteraan masyarakat wargo mulyo? Perlukah ditegaskan sekali lagi bahwa ada ikatan ulama dan umara untuk kesejahteraan masyarakat wargo mulyo.
Ikatan ulama dan umara sebenarnya adalah ikatan untuk menjadikan prinsip kepada manusia di desa wargo mulyo. umara atau pemerintahan, mempunyai kuasa untuk berbicara yang bernada umum, kesejahteraan umum, maka penting berkonsultasi dengan ulama untuk mendapatkan kesejahteraan yang sempurna; yakni kesejahteraan materi dan ruhani.
Keterpatan atau jalinan di antara keduanya, tentunya berorientasikan pada nilai-nilai kesadaran tentang kepentingan individu yang itu penting mendorong satu sama lain untuk menyelamatkan individu.
(dan saya berdaya diri untuk menjalin teks yang realitastis; bahwa teks ini sebenarnya adalah pengantar untuk merealitaskan jalinan tersebut; kalau dikatakan, mungkin teramat gampang, kalau sekedar kata-kata, mungkin sangat gampang; namun kenyataannya, saya berpikir tidak seringkas apa yang saya katakan)
Dan kembali ke tema dasar: ikatan yang tidak mengikat.
Bahwa untuk mengikatkan, maka penting dikumpulkan tentang ulama dan umara yang menyediakan tempat untuk perkumpulan tersebut; dan tempat tentu, terserah kepada umara, itukah di masjid atau itukah dib alai desa, yang pasti ada duduk bersama di antara keduanya. Maka sudah tentu, kalau sudah duduk bersama, maka tentu adalah kedudukan yang itu statuskan kebersamaan.
Yang itu, penting di kumpulkan tentang siapa-siapa ulama itu. Dan itulah tugas umara, yang mengindentifikasi tentang ulama-ulama tersebut. Yang selanjutnya, adalah tugas umara untuk menentukan arah yang hendak dibicarakan. Sehingga, duduk bukan sekedar duduk bersama, namun benar-benar membahas tentang hal-hal bersama, yakni tentang masalah-masalah yang ada di desa dan bagaimana memecahkannya bersama. Dan tentu, ketika duduk bersama dengan ulama; orientasi yang berperan di sini adalah hati atau yakin.
Namun, sesungguhnya, akhir dari solusi ini adalah tentang bagaimana upaya untuk menyegerakan masalah; atau jangan-jangan orang-orang tidak mengetahui masalah, sehingga tidak mengetahui jalan keluarnya. Atau terlalu terbelit kepada suatu keadaan lalai dengan sesuatu yang sebenarnya mudah untuk dileraikan.
Bagi saya, untuk hal ini, kasus desa wargo mulyo, telah jelas: tinggal penyelesaian. Masalah utama, ketidak akuran di antara kedua hal tersebut, dan cara mengakurkan, yakni mengumpulkan semua element dengan mengkaji ulang tentang masalah yang dihadapi oleh tiap-tiap keduanya.
Artinya, ulama harus mengindentifikasikan tentang masalah keislaman di era terbaru. Dan begitu juga dengan umara, harus mengindentifikasikan tentang masalah yang di hadapinya; sebab, jangan-jangan kurang berani mencari masalah yang terjadi, dan atau telah mendapati masalah yang terjadi, namun lalai mendialogkan tentang masalah yang terjadi.
2017
Belum ada Komentar untuk "Ulama Dan Umara: Yang Terikat Tapi Tidak Mengikat: Study Kasus di Desa Wargo Mulyo"
Posting Komentar